Muhammad Haikal beruntung mendapat perlakuan spesial dari Ayah. Pria yang menjadi suamiku ini, adalah anak dari supir pribadi Ayah saat mulai merintis usaha propertinya. Ayah seorang tuan tanah. Beliau anak tunggal yang mewarisi ratusan hektar tanah milik orang tua dan kakeknya.
Ayah mulai merintis bisnis properti sebelum aku lahir. Entah kapan. Seingatku, saat aku berusia tujuh tahun, Ayah meminta Haikal yang baru lulus SMP, menemuinya. Sejak saat itu aku tak pernah lagi melihat sosok Haikal hingga tiba-tiba pria itu sudah hadir saja di perusahaan Ayah.
Lucunya lagi, setelah bertahun-tahun Haikal mengabdi pada Ayah sebagai asisten pribadi, sekaligus orang kepercayaan, kini pria itu resmi menjadi suamiku. Betapa keberuntungan selalu berpihak pada Haikal. Berbeda dengan aku yang hanya mendapatkan kesialan melalui wanita yang harus kupanggil Bunda.
Gawaiku berbunyi. Haikal menghubungi.
“Ya, Mas?” sapaku tanpa basa-basi. “Ya, Waalaikumsalam.” Haikal selalu memaksaku menjawab salamnya di mana pun. Orang ini kurang efisien, kupikir-pikir. Setiap siang dan sore, ia akan meneleponku hanya untuk bertanya apa aku sudah melaksanakan ibadah. “Sudah shalat, Mas. Kamu kok bawel banget, sih? Ngatur aku sampe segitunya. Kaya aku itu anak kecil saja,” gerutuku dengan nada kesal yang kentara.
Aku melirik alat shalatku yang masih teronggok di sofa. Terkahir kupakai saat shalat subuh tadi pagi. Aku malas melaksanakan shalat di siang hari karena fokusku pada drama korea sangat tinggi. Hingga tak terasa, Haikal menghubungi di sore hari dan berkata sudah hendak pulang. Biasanya ia akan bertanya apa yang kumasak untuk makan malam nanti.
Aku menghela napas lelah. Menjadi babu memang memuakkan. “Aku tidak tahu akan masak apa. Nanti kulihat saja apa yang ada di kulkas. Toh, kamu pemakan apapun, kan? Jadi tak perlu menghubungiku setiap sore hanya untuk bertanya apa aku sudah menyiapkan makan malammu.”
Seharusnya aku bersikap manis agar misiku berjalan lancar. Namun pada kenyataannya, sulit bagiku untuk mengalah dan rela diatur melakukan hal yang tak kusuka.
Pernikahanku sudah berjalan dua minggu. Selama itu, aku sulit untuk tersenyum tulus pada Haikal. Setiap pagi, Haikal akan mengguncang tubuhku sampai terbangun dan memaksaku beribadah. Begitupun siang dan sore hari seperti saat ini. Jika sudah kesal sendiri, aku melampiaskan dengan berbelanja sepatu di mall atau membuka laman belanja kosmetik daring.
Suara mobil Haikal terdengar saat aku baru saja selesai memasak. Sudah lewat maghrib dan Haikal tadi sempat menghubungi jika mampir sebentar ke masjid untuk shalat.
“Assalamualaikum,” Tubuh tinggi suamiku mendekat lalu mengecup singkat kepalaku. Hubungan kami masih begini saja, namun Haikal perlahan mulai melakukan kontak fisik kecil di antara kami. Aku tak menolak. Karena memang sejak awal, aku setuju untuk menjadi istrinya, termasuk urusan yang satu itu. Bagusnya, Haikal belum pernah meminta hak pria itu sebagai suami, padaku. “Saya menunggu jawaban salam kamu, Annisa,” bisiknya lembut di telingaku.
Aku berdeham malas. “Waalaikumsalam.” Tak menghiraukan kehadiarannya yang masih di sampingku, aku menata piring berisi lauk makan malam kami. “Aku hanya membuat ini,” ucapku seraya melirik pada sayur sop dan telur ceplok.
“Sudah shalat?”
Pertanyaan itu lagi. Aku memutar bola mataku jengah dan mengangguk tak semangat. “Mau minum apa?”
“Air putih saja,” jawabnya seraya memperhatikan masakanku yang terhidang di atas meja makan. “Telurnya terlihat enak,” pujinya dengan mata yang tampak geli dan bibir menahan tawa. Aku tahu, telur goreng buatanku berantakan karena pinggirnya gosong dan tengahnya masih mentah. Siapa suruh memintaku masak?
Aku berdecak tak suka seraya meletakkan dua gelas air putih ke atas meja makan. “Kalau tidak suka, pesan saja makanan di restaurant. Aku akan lebih bahagia jika Mas melakukan itu.” Meski menggunakan bumbu instan untuk sup, tubuhku tetap saja pegal harus memotong sayuran dan bermain dengan air panas. Apalagi, saat menggoreng telur yang kadang membuatku kaget karena minyaknya meletup.
Haikal tersenyum manis, sebelum terkekeh kecil. “Tapi justru ini yang membuat saya bahagia,” ucapnya dengan telunjuk mengarah pada masakanku. “Saya ganti baju dulu. Kita makan bersama, ya.”
Mengedikkan bahu asal, aku tak merespon ucapannya. Yang jelas, tugasku memasak sudah selesai dan aku akan membuka paketan maskara dan eye shadow baru yang kubeli di laman belanja tiga hari lalu.
Langkah Haikal terdengar saat aku tengah bermain dengan maskara baru. Pergerakanku mengusap cairan hitam itu ke bulu mata terhenti saat tubuhnya ternyata berdiri tepat di hadapanku. Aku mendongak, hendak bertanya mengapa tidak langsung menuju meja makan saja. Namun kalimat tanya itu urung terucap karena keningku berkerut mendapati wajahnya tampak marah.
“Apa lagi? Berubah pikiran dan ingin pesan menu restaurant saja?” tanyaku pelan. “Aku tak masalah jika membuang masakanku meski tubuhku lelah membuat semua itu.”
Haikal masih terdiam. Ia tak menjawab pertanyaan basa-basiku. Ini membuat hatiku seketika disergap rasa khawatir dan takut. Ada apa lagi, sih, dengan pria ini?
“Kamu kapan shalat?”
Astaga! “Tadi,” jawabku asal.
“Tadi, kapan?”
“Sebelum menggoreng telur!” Emosiku mulai naik lagi.
Wajah Haikal semakin mengeras mendengar jawabanku. Demi muka bumi yang indah, mengapa aku ditakdirkan menikahi pria ini, sih?
“Annisa,” desisnya tajam, memanggilku. “Saya tidak akan semarah ini jika kamu berbohong demi belanja barang-barang tak penting hingga uang bulananmu menipis. Tapi tolong, untuk urusanmu dengan Allah, jangan coba-coba berdusta!”
“Mas bilang apa, sih?” Nada suaraku meninggi. Meski jantungku memukul keras dan keringat mulai membasahi tengkuk, aku tak boleh sampai ketahuan jika selama ini tak pernah melaksanakan perintahnya untuk ibadah. Aku malas diperintah dan malas ibadah sebanyak itu dalam satu hari.
Haikal memejamkan mata seraya mengembuskan napas panjang. Aku tahu jelas jika pria itu tengah menahan emosinya. “Mukena kamu tidak berubah sedikitpun, letak dan lipatannya sejak Subuh tadi. Saya yakin kami kamu tidak shalat hari ini bahkan hingga mendekati Isya.”
Untuk pertama kalinya selama hidup dengan Haikal, aku dibentak.
Menelan ludah cekat, aku mengerjap pelan dan membiarkan tetesan air mata jatuh. Aku tak bisa diperlakukan begini. Haikal jahat, memperlakukanku seperti budaknya, tanpa mau tahu masalahku apa.
“Aku tak bisa shalat,” akuku jujur seraya terbata di sela isak. Selama menangis beberapa saat, wajah Haikal tak sedikitpun melembut mendapatiku berurai air mata. Kini, matanya tampak sedikit membola mendengarkan pengakuanku. “Aku lupa apa yang harus kuucapkan dan bagaimana gerakan yang benar. Jadi tolong, jangan paksa aku hingga Mas membentak hanya karena aku melewatkan itu.”
“Astagfirullah.” Haikal mengusap wajahnya dengan tangkupan tangan. Gerakannya lebih mirip pria yang frustasi. “Ada lagi yang kamu sembunyikan selain ini?” tanyanya dengan nada putus asa.
Aku menunduk dengan tangis yang masih mengaliri wajah. “Uang ... uangnya ... habis. Aku bingung harus bagaimana. Aku belum mengirim baju kotor ke binatu. Ingin minta Bunda, pasti tak diberi. Aku tertekan hidup seperti ini, Mas.” Tangisku mengucur deras. “Bahan masakan yang Mas beli, beberapa sulit kuolah. Seringkali gagal dan kubuang sia-sia. Bahan-bahannya sudah habis dan aku hanya bisa memasak yang tersisa.”
Dadaku naik turun akibat isak. “Jika Mas membentakku juga karena ini, lebih baik aku pergi dan bunuh diri.”
Haikal mendengkus panjang. Ia mendekat dan memelukku pelan. Aku menangis dan mengeluarkan segala emosi yang menumpuk di batin selama ini. Tak peduli dengan kausnya yang basah dengan air mataku.
“Ayo makan sekarang. Kita bahas semuanya setelah makan malam,” ajaknya seraya menggiringku menuju meja makan.
Kami makan dalam diam. Aku mendesis malu saat lidahku mendapati telur gosong setengah matang ini terlampau asin dan rasa supnya tidak karuan. Kupikir, bumbu instan mampu menyihir seluruh masakan jadi seenak standar restaurant. Ternyata tidak. Selama ini diam-diam aku memesan makanan untuk kami makan malam, karena bahan yang Haikal beli, sudah kubuang karena gagal masak.
Aku menatap Haikal. Nafsu makanku sudah tiada. Dari pada mual, lebih baik aku memotong buah saja setelah ini. Haikal tampak fokus memakan masakanku. Wajahnya datar seakan tak ada yang salah sari sajian makan malamnya.
“Mas,” panggilku dengan wajah heran. Haikal menatapku dengan raut tanya. “Rasanya tidak enak,” ucapku seraya melirik piring makan Haikal yang berisi sup dan telur ceplok.
Haikal tak menjawab. Ia terus menyuap makanannya hingga semua tandas. Aku terkesima dengan kekuatan lidahnya yang tahan dengan masakanku saat ini.
“Memang tidak seenak masakan yang sebelumnya. Namun aku mensyukuri apa yang aku makan saat ini, karena aku tahu ini buatan istriku,” jawabnya santai setelah meneguk air putih di gelas hingga tandas tak bersisa. “Menu yang kemarin-kemarin, siapa yang masak?”
“Aku membeli di restaurant. Bahan yang Mas beli kubuang karena tak layak makan.”
Haikal tersenyum simpul lalu mengusap sekitar bibirnya dengan tisu. “Saya tunggu kamu menghabiskan makanmu.”
Aku menggeleng. “Aku tidak suka. Rasanya tidak enak,” tukasku jujur.
“Kalau gitu, ayo ikut aku.” Haikal beranjak dari duduknya lalu bergerak cepat membereskan meja makan. Aku ikut membantu tanpa berani bertanya apa yang akan ia lakukan padaku setelah ini.
Usai mencuci piring dibantu Haikal, pria itu menggandeng tanganku lembut dan membawaku ke ruang cuci. Aku menghela napas pasrah. Nyatanya, aku memang harus mau menerima takdir hiduo baruku ini meski berat.
“Detergentnya ada di situ. Kamu buka pintu mesin cuci, lalu masukkan pakaian kotor ke dalam.” Haikal menjelaskan cara mengoperasikan mesin cuci padaku.
Rasanya ingin tertawa. Aku seperti pembantu dari kampung yang belum pernah bertemu dengan kecanggihan elektronik. Meski rasanya sakit diperlakukan begini, aku tetap mendengarkan semua arahannya.
“Mas,” panggilku menyela penjelasannya. “Mengapa kita tidak menyuruh Bik Muna saja untuk mencuci baju, jika Mas tidak mengijinkanku membawa baju ke binatu?”
Haikal menatapku dalam selama beberapa saat, sebelum senyumnya tersungging hangat. “Saya hanya mengijinkan istri saya untuk mengurus seluruh kebutuhan pribadi saya,” jawabnya diplomatis dengan mata tak putus menatapku. “Pakaian dalam, menu makan malam, hingga ...,” matanya mengerjap pelan dan binar matanya, entah mengapa membuat hatiku seketika berdebar. “... kebutuhan biologis saya, nantinya.”
Bagai ditampar sesuatu tak kasat mata, tubuhku meremang mendengar ucapannya yang terakhir. Entahlah, mendengar alasannya tak mengijinkan orang lain menyentuh perlengkapan pribadinya, membuatku merasa ... sedikit berbunga.
Harusnya aku marah. Harusnya aku tak terima dipaksa melayani dirinya seperti ini. Namun mengapa perlakuannya padaku terasa hangat dan menenangkan?
Aku berdeham demi menetralkan degup jantungku. “Kalau begitu, jangan marah jika nanti hasil cuciku tidak sebagus binatu.”
“Saya akan membantu. Kita bisa mencuci bersama, sepulang saya bekerja atau selepas kita shalat subuh berjamaah.”
Mendengar kata shalat, seketika aku mundur menjauh dan mencoba melepas kaitan tangan kami. Namun Haikal mengeratkan genggaman tangan kami sebelum kulepas.
“Aku ....”
“Saya akan membantu, Annisa. Kamu istri saya, tanggung jawab saya. Bagi saya tak masalah jika kamu belum bisa masak atau mencuci. Namun satu yang selalu saya takutkan.” Matanya tajam menatapku dan wajahnya kian mendekat. Membuatku bergerak tak nyaman, akibat rasa yang tak bisa kujelaskan. “Saya takut istri saya tidak termasuk hamba Allah yang bertakwa.”
Entah apa yang terjadi pada semesta saat ini. Posisi kami yang berdekatan, ucapan lembutnya yang menusuk kalbu, juga ... tatapan matanya yang terasa hangat meski menyengat, membuatku merasa tak perpijak di bumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Till Jannah (Proses Terbit)
SpiritualAnnisa Fauzia menginginkan seluruh harta warisan mendiang Ayah. Ia ingin hidup bebas dan bersenang-senang bersama dua sahabatnya, dengan harta peninggalan yang Annisa yakini tak akan habis hingga ia mati. Namun, Bunda tak memuluskan keinginannya. Wa...