Bunyi mesin cuci menyadarkanku dari lamunan. Entah sudah berapa lama aku duduk terpaku mengingat wajah Bunda dan malam lalu. Pagiku hampa. Sama hampanya dengan hati dan hari-hariku kemarin. Aku seperti sendiri. Tak berkawan dan tak memiliki harapan.
Malam lalu, saat kami sampai di rumah sakit, aku dan Haikal berjalan cepat menuju ruang ICU, tempat Bunda berbaring. Haikal menemui Mbak Beti dan menanyakan apa yang terjadi pada Bunda dengan detail. Mbak Beti hanya menceritakan kronologi hingga Bunda berada di sini, lalu kami terdiam masing-masing sampai seorang perawat memanggilku untuk bertemu dokter.
Kanker paru stadium lanjut. Vonis itu terdengar mengerikan bagiku. Meski aku tak begitu menyukai Bunda, nyatanya hatiku seperti pecah saat memindai wajahnya dengan ventilator di hidung.
Tanpa terasa mataku berembun saat mendengar Bunda menyebut lirih namaku dalam tidurnya. Seharunya Bunda istirahat saja. Jangan sebut namaku dan membuatku linglung tanpa alasan.
Dokter merekomendasikan agar Bunda melakukan beberapa sesi kemoterapi. Aku menuruti saja setiap arahan dokter, hingga tentang aku yang diminta terus berada di samping Bunda selama masa itu. Hanya aku satu-satunya keluarga Bunda yang otomatis menjadi walinya selama masa perawatan ini.
"Aku tidak tahu jika Bunda menyimpan penyakit semenyeramkan ini," ucapku pada Haikal usai keluar dari ruang dokter. "Aku bahkan tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Bunda nanti."
Haikal merengkuh pundakku penuh perlindungan dan mengusap tangannya di lenganku. "Jangan khawatir. Allah Maha Menyembuhkan segala penyakit. Ini ujian kita untuk membuktikan bakti kita sebagai anak pada Bunda."
Aku tak menjawab lagi ucapan Haikal. Terlalu banyak pikiran yang menumpuk di kepala, hingga membuatku tak bisa berucap, bahkan sekadar mengungkap rasa. Kami menunggu Bunda hingga dini hari dan pamit pulang untuk beristirahat sebentar karena Haikal harus pergi ke kantor paginya.
Cucianku selesai. Aku akan meminta tolong Bik Muna menjemur di belakang. Entahlah, jiwaku rasanya kosong. Tak ada gairah untuk melakukan sesuatu bahkan sekadar tersenyum. Aku seperti seonggok jasad tanpa sabunari yang menyinari.
Ponselku berdering. Aku menoleh pada gawai yang terletak di meja dapur dan seketika jantungku berdegup kencang. Mbak Beti kah yang menghubungi?
Kakiku bergerak cepat menuju meja dan mengambil ponsel. Wajahku seketika masam dengan senyum segaris samar. Misha akan menyuruhku apa lagi saat ini?
"Ya, Mish?" sapaku datar tanpa semangat.
"Gimana Haikal?" Misha selalu begini. Langsung pada inti, tanpa basa basi.
Aku menghela napas panjang dan menahan selama beberapa detik. Berharap cara ini mampu membuatku tetap tenang dan tak termakan amarah. "Dia baik-baik saja," balasku mencoba santai.
Terhengar embusan napas dari tempat Misha. "Gue tau dia baik-baik saja. Maksud gue, hubungan kalian."
Aku tak mengerti mengapa sampai Misha sebegini intensnya dengan hubunganku dan Haikal. Aku tahu dia menginginkan hartaku jika aku dan Haikal bercerai kelak. Namun, sikapnya yang seperti ini lama kelamaan membuatku jengah juga.
"Cha!" Suara Misha tegas memanggilku. "Hubungan kalian gimana? Haikal udah demen lo atau belom?"
"Gak tahu," jawabku asal.
"Perlu kita ke orang pinter untuk bikin dia klepek-klepek?"
"Gue rasa gak perlu. Segala hal butuh proses untuk menjadi sempurna, bukan? Dan gue sedang berusaha melalui setiap prosesnya."
Hening menjeda diantara kami. Entah mengapa, ketegangan serta merta melingkupiku dan Misha. Seingatku, tadi aku bicara dengan nada biasa saja.
"Tumben lo begini? Biasanya gak sabaran pengen semua proses ini cepat selesai." Suara Misha terdengar rendah. Runguku menangkap kecuragaan Misha padaku saat ini. "Lo kenapa? Jangan bilang justru lo yang jatuh cinta sama Haikal."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Till Jannah (Proses Terbit)
SpiritualAnnisa Fauzia menginginkan seluruh harta warisan mendiang Ayah. Ia ingin hidup bebas dan bersenang-senang bersama dua sahabatnya, dengan harta peninggalan yang Annisa yakini tak akan habis hingga ia mati. Namun, Bunda tak memuluskan keinginannya. Wa...