"Asholatu kharium minannaum, Annisa." Bisikan Haikal membelai telingaku. Mataku terasa berat sekali. Tubuhku terasa remuk redam dan aku masih ingin menikmati tidur lelap. Aku baru tahu, melakukan hubungan suami istri bisa semelelahkan ini.
Aku enggan merespon panggilan Haikal. Tetap menutup mata dan tertidur adalah yang terbaik, kurasa. Satu kali absen salat subuh, masih boleh, kan?
"Annisa, ya zawjaty," panggil Haikal lagi seraya mengguncang tubuhku lebih kencang. "Subuh, Sayang."
Mataku terbuka sedikit. Sedikit sekali karena rasanya perih. "Aku ijin absen salat satu kali ini. Mataku berat untuk terbuka, Mas," gumamku lirih.
Haikal tak lagi bersuara atau mengguncang tubuhku. Baguslah, sepertinya ia tahu jika tubuhku membutuhkan lebih banyak waktu untuk kembali segar. Pikiranku sudah hendak kembali ke alam mimpi sebelum tiba-tiba tubuhku terasa melayang.
"Mas!" Aku memberontak lemah mendapati Haikal menggendongku.
"Saya sudah siapkan air hangat di bath tub. Saya mandikan lalu kita salat bersama."
Mataku seketika membelalak. "Mandikan? Aku bisa mandi sendiri! Lepas!" Hei, apa maksudnya ingin memandikanku di bath tub? Dia ingin memainkan fantasi seksual di sana? Sepagi buta ini? No way!
Haikal tertawa lalu mengecup bibirku sekilas. "Akhirnya bangun juga, istri saya."
Aku memberengut kesal dalam gendongannya. Ya Allah, baru kali ini seumur hidup mengalami ini. Haikal menggendongku dan meletakkanku ke dalam bath tub yang sudah ia siapkan dengan air hangat dan foam beraroma menenangkan. Aku berendam agar tubuhku relaks, sedang ia membershkan diri di bawah kucuran shower.
Setelah mandi besar, dengan arahan Haikal saat aku berendam dan dia mencuci rambutku dengan pijatan lembut, kami menjalankan salat bersama. Rasa kantuk menyerang lagi usai salat. Haikal membaca surat Ar-rahman dan aku tidur dipangkuannya. Rasanya nyaman. Aku seperti menemukan tempatku bersandar.
Pukul tujuh pagi aku membuatkan Haikal kopi dan roti dengan selai nanas, kesukaannya. Entah mengapa, sejak kejadian tadi malam itu, gugup kerap melandaku. Bagaimana tidak, Haikal terus menatapku dengan binar yang ... entahlah. Mungkin bisa kugambarkan sebagai binar mata lelaki penggoda? Atau binar mata penuh perasaan ala budak cinta? Aku tak tahu mana yang benar.
Yang jelas, senyum sama-sama terus tersungging di bibir kami, sejak bersiap sarapan. Apalagi, Haikal memelukku dari belakang saat aku tengah menyisir rambut dan bersiap menuju ruang makan. Suamiku mengatakan, "Terima kasih. Terima kasih banyak untuk yang semalam." Dengan nada yang teramat sangat lembut. Praktis membuat hatiku berdesir hangat dan jantung berdegup kencang.
"Mbak Icha. Beti ijin ke swalayan, ya. Mau beli buah bit untuk Bunda."
Aku menoleh pada Beti yang baru hadir di meja makan. Sejak Ayah tiada dan Bunda tinggal sendiri di sini, Beti berlaku seperti keluarga sendiri. Ia tak sungkan lagi duduk di meja makan bersama kami dan menikmati sajian bersama.
"Bunda butuh apa lagi?" tanyaku seraya membereskan sisa sarapan Haikal.
Beti menggeleng. "Masih susah makan, Mbak. Ini saja yang buah bit, Beti mau coba beli supaya trombosit Bunda membaik"
Haikal menatapku dan aku menghela napas seraya membalas tatapannya. "Bantu Beti, Annisa. Saya rasa kamu yang paling bisa mendampingi Bunda."
"Tapi aku—"
"Bisa jadi, Mbak." Beti menyela. "Bunda kalau tidur, suka sebut nama Mbak Icha. Ngigoin Mbak Icha."
Aku dan Haikal menoleh pada beti bersamaan. Apa tadi dia bilang? Bunda sering menyebut namaku?
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Till Jannah (Proses Terbit)
SpiritualAnnisa Fauzia menginginkan seluruh harta warisan mendiang Ayah. Ia ingin hidup bebas dan bersenang-senang bersama dua sahabatnya, dengan harta peninggalan yang Annisa yakini tak akan habis hingga ia mati. Namun, Bunda tak memuluskan keinginannya. Wa...