18. Musibah

6.5K 675 32
                                    

Hari ini adalah jadwal kemoterapi Bunda. Aku mendorong kursi roda Bunda menuju ruang kemoterapi yang sudah dokter siapkan. Bunda cantik. Ia mengenakan topi rajut yang kubelikan serta syalnya. Bunda bahkan memintaku mencari pakaian yang warnanya cocok dengan topi rajut itu.

Haikal mengantar kami ke rumah sakit pagi ini. senyum Bunda terpatri meski samar. Aku menebak, Bunda pasti bahagia melihatku berubah demi dirinya. Apalagi, semalam Haikal tak menutupi kemesraan kami di depan Bunda. Suamiku memegang tanganku dan sesekali menciumnya saat kami tengah menemani Bunda berbincang tentang rencana paskakemoterapi.

"Kalau Bunda sudah kuat, kami berencana mengajak Bunda menghabiskan beberapa hari di villa Bogor. Sekalian meninjau pembangunan wakaf masjid Ayah," ucap Haikal seraya merengkuhku malam lalu.

Bunda tak menjawab, hanya tersenyum kecil dengan sorot mata teduh menatap kami. Sedang aku, bergerak gelisah karena malu dilihat bermesraan dengan Haikal.

"Saya dan Annisa, akan selalu berusaha membuat Bunda bahagia." Dan saat Haikal mengucap kalimat ini, ia mengecup keningku di depan Bunda.

Mengingat malam lalu, membuatku kerap mengulum bibir menahan senyum. Haikal baik sekali dan Bunda tak lagi berlaku dingin padaku.

"Annisa." Aku menoleh pada Haikal yang memanggilku. "Saya perhatikan dari tadi kamu senyum-senyum sendiri. Ada apa?"

Masa iya? Aku menggeleng. "Tidak," kilahku. "Aku—hanya bahagia melihat Bunda. Meski ada khawatir yang terselip karena Bunda harus melakukan transfusi darah dulu sebelum kemo nanti."

"Berdoa, Sayang." Haikal merengkuh pundakku. Kami tengah memperhatikan Bunda yang memasuki ruang khusus kemoterapi bersama perawat, dari balik kaca. "Inshaallah Bunda kuat melalui proses ini."

Aku mengangguk. Kami menatap Bunda sekali lagi, sebelum berbalik menuju parkiran karena aku harus mengantar Haikal yang hendak pergi ke kantor.

"Jangan lupa salat," pesan Haikal saat kami sudah di parkiran. Aku mengangguk. "Baca Al-qur'an meski terbata. Baca saat Bunda sedang istirahat. Baca dengan pelan dan hati-hati."

"Iya," jawabku menuruti titahnya.

"Saya usahakan pulang secepatnya agar bisa menemanimu."

"Besok Bunda sudah boleh pulang. Mas tunggu aku di rumah saja. Nanti malam, kan, jadwal Beti yang menjaga Bunda. Kita besok saja ke sini lagi menjemput Bunda."

"Saya pikirkan nanti. Kabari saya jika ada apa-apa." Haikal mengecup keningku sebelum membuka pintu kemudi. "Minggu depan acara peletakkan batu pertama pembangunan masjid. Semuga Bunda sudah kuat untuk menghadiri seremoni itu."

Aku mengaminkan harapan Haikal, lalu melambaikan tangan kala mobil suamiku beranjak pergi dari parkiran ini.

Ketika aku memasuki ruang rawat Bunda, ibuku tengah tertidur. Selang dengan cairam merah pekat mengalir memasuki tubuhnya. Wajah Bunda tirus dan berat badannya turun drastis dari mulai awal kemo beberapa minggu lalu.

Aku menghela napas, mencoba tegar dan kuat menghadapi ini semua. Tekadku bulat. Aku ingin mendampingi Bunda di saat-saat sulitnya menghadapi penyakit ini. Apapun yang terjadi, aku akan terus berada di sisi Bunda.

Mulutku mengucap basmalah. Mengawali lantunan ayat suciku untuk Bunda. Meski terbata, namun aku sudah mampu membaca Al-qur'an. Haikal mengajariku dengan tegas dan keras. Tingkat disiplin suamiku, kuacungi jempol. Selama kami berada di kantor dulu, ia kerap mengisi waktu luang bersamaku untuk belajar Iqra dan surat pendek.

Semua menghasilkan manfaat yang baik untukku. Aku bisa membaca kitab suciku meski bacaanku belum sempurna. Kata Haikal, tak apa meski terbata.Yang penting, aku harus mulai membiasakan diri membaca meski hanya satu ayat.

I Love You Till Jannah (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang