12. Mengapa Cinta?

5.1K 609 24
                                    

"Mas." Aku memanggil Haikal lirih, di tengah malam ini. Seingatku, aku tertidur setelah kami salat Isya bersama. Namun entah mengapa mataku tiba-tiba terbuka dan menyadari bahwa saat ini masih tengah malam.

Tubuhku gelisah. Seakan ada banyak pikiran yang menyergap isi kepala namun aku tak tahu itu apa. Ada debar di hati yang membuatku merasa khawatir. Namun aku tak mengerti apa yang harus kukhawatirkan.

Menoleh pada Haikal yang tampak pulas di sampingku, aku menggoyang tubuhnya pelan. "Mas Haikal," panggilku sedikit lebih keras.

Haikal bergerak dan matanya perlahan terbuka. Ia menoleh padaku dengan kening berkerut. "Kamu bangunin saya, Annisa?"

Aku mengangguk dan tiba-tiba air mataku turun. Haikal terkesiap melihatku menangis tengah malam buta begini. "Aku kenapa ya, Mas?" tanyaku seraya meredam isak yang mulai menyerang. "Tiba-tiba terbangun dan hatiku rasanya gelisah."

"Sudah baca doa sebelum tidur?"

"Sudah," jawabku seraya mengangguk dan mengusap air mata di pipi. "Tiba-tiba kepikiran Bunda. Aku seperti tidak terima melihat Bunda menderita akibat kemoterapinya."

Haikal menghela napas panjang lalu merengkuhku dalam pelukannya. "Banyak berdoa untuk Bunda, Annisa. Jika besok perasaanmu masih gelisah, bagaimana jika kita menginap di rumah Bunda saja? Agar kamu juga bisa membantu Mbak Beti merawat Bunda. Saya pikir, memang lebih baik jika Bunda tinggal dengan putrinya."

Aku ragu. Jujur Bunda belum pernah terlihat lembut padaku meski tubuhnya mulai lemah seperti ini. Jika aku menuruti Haikal untuk tinggal di rumah Bunda, apa Bunda akan terbuka padaku?

"Annisa." Panggilan Haikal membuatku menatap matanya. "Salat?"

"Salat? Tengah malam buta begini? Subuh masih lama, Mas."

Haikal tersenyum lalu beranjak turun dari ranjang kami. "Tahajud, Sayang. Mari Tahajud bersama."

"Tapi aku tidak tahu bacaannya," tolakku gamang.

"Saya ajari sebelum kita memulai nanti."

Biasanya aku akan malas bermain air di tengah malam atau dini hari. Namun entah mengapa, semakin lama aku tinggal bersama Haikal, semakin aku merasa nyaman dengan pola hidup yang pria itu terapkan padaku. Awalnya memang membuatku kesal, namun sikapnya yang tak pernah mengecewakan, tanpa sadar menggiringku pada sesuatu yang perlahan membuat hatiku nyaman.

Kami berzikir dan merapalkan banyak istigfar setelah salat. Haikal berkata bahwa aku boleh meminta apapun pada Allah. Jujur aku tak tahu ingin minta apa. Jika harta, aku sudah punya dan hanya menunggu waktu untuk sah menjadi milikku sepenuhnya. Begitupun pendamping. Meski aku belum tahu apa yang membuat Haikal mau menerima pernikahan ini, namun sikapnya membuatku merasa rumah tangga ini tak seberat yang kukira pada awalnya.

Aku memejamkan mata dan meminta pada Allah agar hatiku diberi ketrentaman. Aku tak tahu mengapa aku segelisah ini. Tak ada masalah berarti namun aku seperti memiliki beban tak kasat mata yang membuatku sesak.

"Kamu tadi berdoa, meminta apa?" Haikal bertanya padaku saat kami sudah kembali menaiki ranjang.

"Entahlah," jawabku seraya mengedikkan bahu. "Aku hanya meminta agar hatiku tak lagi gelisah. Karena memang aku tak tahu harus meminta apa. Aku merasa memiliki segalanya dan ... harus minta apa lagi pada Tuhan?"

Haikal tersenyum simpul. "Minta syurga untuk Ayah dan keselamatan untuk Bunda," jawabnya yang berhasil membuat keningku menyernyit. "Kenapa? Allah Maha Memiliki Segalanya, Annisa. Mintalah apapun pada-Nya."

"Memangnya, aku masih bisa meminta syurga untuk Ayah? Bukankah Ayah memang sudah di syurga? Beliau orang yang sangat baik, kalau Mas lupa, ya."

"Iya," jawab Haikal mengamini. "Namun apa salah meminta pada Allah agar Ayah diberi syurga terbaik? Juga ... Bunda. Allah Maha Menyembuhkan. Mintalah agar Allah memberi kelancaran proses pengobatan Bunda dan diberi kesembuhan."

I Love You Till Jannah (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang