Aku tak sempat berhias diri, saking sibuknya menyiapkan nasi kotak berisi lauk akikah serta piring-piring kue untuk para tamu undangan. Tanpa sadar, tiba-tiba jam acara sudah dekat dan aku hanya sempat mengganti pakaian saja.
Acara akikah berjalan lancar. Uwak tampak bahagia memperkenalkan cucu pertamanya ke para tamu undangan pengajian. Uwak juga semangat menyipkan segala hal berkaitan dengan acara ini. sedang Usna dan suaminya, jangan ditanya. Binar mata bahagia tak pernah redup dari netra keduanya.
Bahkan, Haikal yang hanya tamu, juga terus tersenyum. Meski hanya senyum samar, namun aku bisa melihat jika ia juga bahagia atas kelahiran keponakannya. Jika aku dan Haikal memiliki anak, apa kami akan sebahagia ini?
Ibu mengucapkan banyak terima kasih. Begitu pun Uwak yang membawakan kami bekal lontong dan sate kambing akikah. Buat bekal perjalanan, katanya. Padahal, aku dan Haikal bisa saja berhenti di restoran manapun untuk mengisi perut.
Keningku menyernyit saat Haikal mengarahkan mobil kami semakin nanjak, bukan turun kenuju kembali ke Setiabudi dan masuk tol arah Jakarta. “Mas, mau kemana?”
“Masih jam dua siang, masih sempat main sebentar.” Haikal terus mengarahkan mobilnya hingga aku sadar ia membawa kami ke kawasan wisata Tangkuban Parahu. “Akhir minggu selalu ramai,” gumamnya seraya mencari slot parkir.
“Ngapain, sih, ke gunung?” tanyaku dengan tawa setengah mengejek. “Aku bukan anak sekolah yang wisatanya belajar dongeng Sangkuriang.”
Haikal tertawa seraya mendekat dan melepas sabuk pengamanku. “Kita refreshing sebentar, yuk. Mumpung lagi ke sini.”
Meski dengan gelengan kepala, aku akhirnya menuruti ajakan Haikal dan turun mobil. Kami berjangan bergandengan tangan melihat keindahan alam Tangkuban Parahu.
Tangan Haikal merengkuh pundakku sedang aku berpegangan pada pagar kayu yang melingkari gunung berbentuk perahu terbalik itu.
“Mas,” panggilku memulai obrolan kami. “Keluargamu, ramai ya? Maksudku, mereka tampak bahagia membantu dan mengikuti setiap acara tadi.”
“Alhamdulillah,” jawab Haikal seraya mempererat rengkuhannya. “Uwak bahagia punya cucu. Akhirnya, setelah lama hanya berdua dengan Usna, mereka memiliki teman selain suami Usna.”
Aku menoleh pada Haikal. Pria itu tengah memperhatikan pemandangan alam dengan senyum smar terkembang. “Mas ... gak iri sama mereka? Maksudku, Usna.”
Haikal menoleh padaku dengan kening yang sedikit kerut. “Tidak,” jawabnya seraya menggeleng singkat. “Kenapa harus iri?”
“Usna sudah punya anak, Mas belum.”
“Kamu—mau?” tanya Haikal dengan mata yang lamat menatapku.
Aku terdiam. Tak menjawab pertanyaan Haikal. Apa aku mau memiliki anak bersama dia? Entahlah. Aku nyaman, terus terang. Apa lagi, aku mendapatkan hal yang pernah kudapat sebelumnya, dari keluarga besar Haikal sesaat lalu. Namun untuk benar-benar membangun keluarga bersama Haikal?
“Tuh, kan, belum bisa jawab.” Haikal tertawa lirih. Tangannya lantas beralih dari pundakku menuju kepala dan mengusap lembut bagian itu. “Semua takdir hidup kita sudah digariskan oleh Allah. Termasuk anak yang akan menjadi rezeki kita. Jujur saya ingin. Ingin sekali, bahkan. Namun jika Annisa belum mau, saya tidak mungkin memaksa. Biarlah saya terus berdoa menyebut nama Annisa hingga Allah mengetuk pintu hatinya untuk mau melangkah membangun keluarga.”
Aku menunduk dan terdiam. Selembut ini cara Haikal memperlakukanku. Tak sekalipun ia memaksakan haknya atasku. Bahkan, ia tak pernah mencaci hasil masakanku yang masih berantakan hingga saat ini. Bahkan, saat mandi di rumah Uwak, Haikal menjagaku di depan pintu kamar mandi. Jaga-jaga aku membutuhkan sesuatu dan takut meminta tolong keluarganya.
Pria ini baik. Sangat baik hingga tanpa sadar aku merasa nyaman dibuatnya. Dia bukan hanya sekedar tangan kanan Ayah yang dinikahkan denganku. Ia adalah pengganti Ayah bagiku, meski Ayah tak pernah bisa benar-benar tergantikan. Ia kakak dan sahabat yang memberiku dukungan kala aku sedih bertengkar dengan Bunda. Ia rekan kerja yang tak pernah berlaku culas dan menghianatiku. Ia suami yang ... seharusnya aku cintai sejak dulu.
“Annisa,” panggilan Haikal membuatku mendongak, menatap wajahnya. “Mau beli souvenir untuk Bunda? Ada penjaja topi rajut di sana.”
Aku menoleh ke arah yang Haikal maksud. “Memangnya Bunda mau?”
“Dicoba saja. Bunda butuh topi rajut untuk menghangatkan kepalanya. Syal juga. Kita belikan satu atau dua pasang untuk Bunda.” Haikal mengambil tanganku dan menggiringku menuju penjaja itu.
Diam-diam aku tersenyum. Aku bahkan tak pernah ingat Bunda tiap kali aku berlibur atau jalan ke Mall. Bagiku, Bunda bisa membeli semuanya sendiri. Beliau jauh lebih kaya dariku, dulu.
Dua pasang topi dan syal kami bungkus untuk Bunda. Haikal mengajakku kembali ke mobil, namun kami tak segera beranjak pergi. Perutku berbunyi tanda lapar. Haikal tertawa lantas menawarkan untuk membuka bekal. Kami makan lontong dan sate yang tersaji dalam kotak makan, berdua. Rasanya menyenangkan, padahal hanya kegiatan sederhana begini.
“Mas.” Aku memanggil Haikal di sela makan bekal kami. Haikal menyuapiku lontong dan sate, sedang aku memegang botol air mineral. “Tadi saat pengajian akikah, penceramahnya bilang seorang ibu sangat mulia dan anak wajib berbakti. Maksudnya apa?”
“Seperti yang pernah kubilang dulu, bahwa Nabi Muhammad pernah menjawab pertanyaan sahabatnya. Siapa manusia di bumi ini yang harus dimuliakan. Nabi menjawab kata ibu sebanyak tiga kali, sebelum ayah. Itu membuktikan bahwa Ibu sangat amat wajib kita hormati. Posisi seorang ibu sangat mulia di mata Allah. Bahkan, sampai ada kiasan syurga di telapak kaki ibu. Sebegitu berharga seorang ibu bagi anaknya.”
“Tapi Bunda begitu,” cicitku dengan hati miris. “Bunda tidak pernah sayang padaku. Bagaimana aku bisa menghormati dia?”
“Sabar,” tukas Haikal seraya menyodorkanku tusuk sate beserta lontongnya. “Saat ini adalah waktu yang tepat untuk kamu berbakti dan mendekati Bunda lagi. Bunda membutuhkan kamu, Annisa. Jika Bunda bersikap dingin, anggap saja karena beliau tengah menyimpan duka seorang diri. Bantu Bunda untuk bahagia dan sembuh.”
“Bagaimana caranya?”
“Cukup terus berada di samping Bunda selama masa kemoterapi beliau. Saya yakin Bunda bahagia ada kamu di sampingnya. Jangan lupa, shalat dan lantunkan ayat suci di samping beliau.”
“Mengajiku, kan, belum pintar.”
Haikal tersenyum maklum dengan senyum teduh padaku. “Baca surat-surat yang sudah kita pelajari saja.”
Aku mengangguk lantas menyelesaikan makan kami dengan cepat. Haikal menjalankan kemudi menuju ke Jakarta lagi dan aku hanya terdiam selama perjalanan itu. Obrolan kami hanya seputar lalu lintas dan hal-hal remeh terkait kondisi alam selama perjalanan.
Sampai rumah, kami langusng menuju kamar kami. Beti berkata Bunda sudah pulas sejak petang datang. Aku tak mau mengganggu Bunda. Jadi, besok saja memberikan oleh-oleh topi rajut itu pada Bunda.
Haikal masih di kamar mandi membersihkan diri saat aku melanjutkan pertimbanganku sejak perjalanan pulang tadi. Malam ini aku harus segera memutuskan kemana arah hidupku akan berjalan. Cukup sudah raguku. Benar kata Haikal, ada Allah yang selalu mendengar doa dan permohonanku. Aku bisa meminta Allah untuk terus memberikanku petunjuk arah hidup yang baik. Entah jalan mana yang harus kutempuh nantinya.
Pintu kamar mandi terbuka. Haikal keluar dengan bokser dan kaus oblong. Ia mengusap kepalanya dengan handuk. Kami saling tatap. Ia menatapku dengan tanda tanya, sedang aku tersenyum simpul menyambutnya.
“Kenapa?” tanya Haikal saat mendapatiku beranjak dari ranjang dan menghampirinya. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Ada,” jawabku dengan hati yang mantap melangkah pada jenjang ini. Aku melingkarkan tanganku di pundaknya dan berjinjit.
Haikal menyernyit seraya menundukkan wajahnya agar bisa menatap wajahku yang kini lekat dengan tubuhnya. “Apa?”
Tubuh Haikal menegang kaget saat tiba-tiba aku mencium bibirnya lembut. “Ayo kita membangun keluarga. Seperti Usna, kita juga bisa menjadi orang tua.”
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Till Jannah (Proses Terbit)
Tâm linhAnnisa Fauzia menginginkan seluruh harta warisan mendiang Ayah. Ia ingin hidup bebas dan bersenang-senang bersama dua sahabatnya, dengan harta peninggalan yang Annisa yakini tak akan habis hingga ia mati. Namun, Bunda tak memuluskan keinginannya. Wa...