“Mas, apa anggaran untuk parcel karyawan selalu segini?” Aku menyodorkan lembar pengajuan anggaran yang baru dikirim oleh bagian keuangan. Katanya, setiap mendekati bulan Ramadhan, perusahaan ini akan memberi bingkisan pada seluruh karyawan. Hal ini juga akan dilakukan lagi saat mereka hendak libur lebaran. Jadi, dalam satu bulan, mereka akan mendapatkan dua bingkisan dari perusahaan. Baik sekali perusahaan ini pada mereka.
Haikal terlihat memperhatikan dengan detail angka yang tertera pada laporan itu. “Iya, segini. Biasanya bunda memberikan jatah sepuluh persen dari total keuntungan per tahun untuk pembelian bingkisan. Bagian keuangan mengajukan sekitar empat persen dulu pada laporan ini.”
Aku terdiam dan mencoba memahami. Sepuluh persen dari puluhan miliar keuntungan per tahun. Pantas saja karyawan Ayah selalu memberikan loyalitasnya.
“Ini belum termasuk dana sosial yang kemarin mereka ajukan?” tanyaku lagi. “Kenapa Bunda selalu menghambur-hamburkan uang untuk orang lain, sih?”
Senyum Haikal terbit dengan mata yang teduh menatapku. “Bunda hanya menjalankan kewajibannya sebagai muslim, dengan membersihkan penghasilan sebanyak 2,5% saja. Jika menurut kamu jumlahnya banyak, berarti kita harus banyak bersyukur karena Allah melimpahkan banyak kenikmatan padamu, Sayang.”
Aku mencebik namun entah mengapa pipiku terasa menghangat.
“Soal bingkisan. Seperti karyawan yang selalu memberikan dedikasi dan loyalitasnya, begitu pun Bunda yang mengucapkan terima kasih dengan cara royal pada mereka.”
Mendengkus pasrah, aku membubuhkan tanda tanganku di lembar itu. “Semoga berkah dan mereka senang,” ucapku saat menutup map lembaran pengajuan.
“Amin,” balas Haikal khusyuk sebelum tersenyum padaku lalu melanjutkan kerjanya.
Sudah dua minggu berjalan aku bekerja. Seperti yang kuminta, Haikal menyiapkan meja kerjaku nyaman di ruangannya, bersanding dengan meja kerjanya. Sesekali, Haikal akan menggodaku dengan pujian bahwa aku terlihat cantik saat bekerja, padahal wajahku selalu tegang saat membaca laporan.
Kami juga selalu salat berdua di ruangan ini. Saat makan siang, Haikal akan meminta sekretarisnya untuk menyiapkan menu dan ia akan mengajakku mengaji bersama selama menunggu makan siang kami siap.
Dan selama dua minggu berjalan ini, entah mengapa aku mulai nyaman dengan ritme hidupku sekarang ini. Berangkat kerja dengan Haikal, makan siang dan mengaji bersama, sore mengunjungi Bunda di rumah, lalu malam kami akan beristirahat berdua dalam pelukan.
Ternyata bekerja tak selelah yang kubayangkan. Tak sesulit yang orang-orang katakan. Terkadang memang aku dihadapkan pada posisi harus berpikir matang saat memutuskan. Namun Haikal dan Ilham selalu kompak memberiku dukungan. Terutama pria pemilik rahang tegas dan rambut klimis yang tengah ku lirik saat ini.
“Saya sulit konsentrasi jika kamu pandangi seperti itu, Annisa.” Mata Haikal tak membalas lirikanku. Ia tetap fokus pada layar komputer jinjingnya namun aku bisa melihat jelas ada senyum yang terpatri di wajahnya.
Aku meringis geli lalu kembali menekuri surel-surel dari bagian pemasaran. Aku tidak pandai tentang dunia ini, namun aku menikmati setiap kali Haikal memberikan informasi padaku agar tak kesulitan saat bekerja. Haikal juga selalu mengapresiasi jika aku mampu membalas atau setidaknya memberi komentar atas usul, masukan, atau pertanyaan para karyawan terhadap suatu hal.
“Nanti sore ke rumah Bunda lagi?” tanyaku saat bayang wajah Bunda tiba-tiba terlintas di benak.
Suara ketikan jemari Haikal berhenti. Ia menoleh padaku lalu mengangguk. “Tentu saja. Kita harus melaporkan pada Bunda tentang anggaran bingkisan karyawan dan bagaimana rencanamu tentang skema libur lebaran nanti. Kamu bilang, kamu ada usulan, kan, tadi?”
Aku mengangguk. “Tapi aku ragu apakah Bunda akan setuju.”
“Setuju atau tidak, saat ini Bunda adalah pimpinan utama dan kita harus patuh pada apapun putusannya. Namun sebagai bagian dari perusahaan ini, kita berhak untuk menyuarakan pendapat dan masukan baik untuk perusahaan.”
“Aku takut nanti bertengkar sama Bunda.”
Tangan Haikal mendekat lalu menggenggam tanganku. “Kamu putri yang baik, Annisa. Kamu akan berhasil menjadi anak yang baik untuk Bunda. Sabar dan kendalikan emosimu saat bicara dengan Bunda.”
Aku tersenyum seraya mengembuskan napas panjang.
Satu minggu lalu Bunda mulai menjalani kemoterapi. Pulang dari rumah sakit, kondisi badan Bunda drop akibat sulit makan, muntah-muntah, dan keluhan badan lemas.
Aku yang saat itu masih canggung dalam bekerja, selalu melaporkan apapun pada Bunda namun beliau tak terlalu menanggapi. Aku bertanya, namun Bunda tak menjawab. Sekalinya menjawab, terdengar seperti perintah, bukan masukan.
Tentu saja hal itu membuat emosiku memuncak. Aku membentak Bunda dan kami bertengkar kecil hingga Bunda menangis. Haikal melerai perdebatan kami dan memintaku untuk mengerti kondisi Bunda yang tengah menghadapi efek kemoterapi. Tiga hari pertama, aku stress berat. Namun Haikal dan dukungan pria itu, mampu membuatku berangsur kuat dan paham caranya bekerja.
Dan mulai sekarang, aku harus bersikap baik pada Bunda, selama masa kemoterapi yang dijadwalkan berjalan selama sembilan bulan. Setelah itu, tepat satu tahun perjanjian kami, aku akan menagih semua hakku dan hidup mapan.
Aku tak masalah mengunjungi Bunda setiap hari. Toh, makin ke sini aku makin menikmati. Haikal tak pernah putus mendampingi dan membimbingku. Ia pun tak memahami jika aku akan merasa lelah sekali saat malam hari hingga sampai saat ini, kami belum juga berhubungan suami istri. Untuk perasaan, aku pun belum tahu bagaimana rasaku pada Haikal.***
“Itu saja laporan kerja Icha hari ini, Bunda.”
Bunda mengerjap seperti orang mabuk. Aku tahu Bunda habis muntah-muntah lagi. Rambut bunda mulai rontok dan tubuhnya pucat. Haikal membeberkan laporannya dengan bentuk sebuah cerita. Meski memejamkan mata saat Haikal bicara panjang lebar, wajah Bunda tampak serius mendengar dan sesekali mengangguk pelan.
“Annisa, sepertinya Bunda sudah lelah. Biarkan Bunda istirahat dan kita bisa kembali lagi besok.”
“Tapi Bunda belum menjawab usulanku,” keluhku masam.
“Ramadhan masih dua bulan lagi. Bunda memiliki banyak waktu untuk mempertimbangan usulan kamu.”
Mendengkus pasrah, aku beranjak dari dudukku lantas bersiap pulang bersama Haikal. Namun tiba-tiba Beti datang dan memintaku membantu Bunda berganti pakaian.
“Saya tunggu di ruang tamu, ya,” pamit Haikal sebelum mencium punggung tangan Bunda dan beranjak meninggalkan kamar ini.
Aku dan Mbak Beti membantu Bunda agar duduk di ranjangnya. Lalu kami melepas pakaian bunda perlahan hingga Bunda hanya mengenakan pakaian dalam saja.
Tatapanku terpaku pada bekas luka bakar yang ada di lengan atas dan perut Bunda. Menatap Bunda yang meringis kesakitan, entah mengapa ada sudut hatiku yang merasa iba hingga air mataku merebak ingin tumpah.
Bekas luka bakar itu adalah bukti nyata bahwa bunda pernah menyelamatkanku dulu. Saat aku pertama kali belajar memasak dan membuat dapur rumah kami terbakar. Kelalaianku membuat Bunda harus berada dua minggu di rumah sakit dengan banyak luka bakar di sekujur tubuhnya.
Sejak saat itu, Ayah memintaku untuk tidak memasak lagi.
“Mbak Icha.” Panggilan Beti menyadarkanku dari lamunan ini. Aku mengusap mataku cepat lantas membantu Beti memasang baju Bunda dan mengancing bajunya.
Beti memberikan air putih untuk Bunda yang hanya diteguk sedikit saja. Mata Bunda terpejam dengan wajah yang kentara tampak lelah. Aku pamit pada Beti dan berjanji akan kembali esok hari. Saat berbalik hendak pergi, langkahku terkunci. Bunda menyebut namaku lirih. Aku menoleh dan kulihat Bunda tertidur dengan air mata yang mengalir dari mata terpejamnya.
****
Genks, ada promo bundling hanya di Sabtu dan Minggu sekarang.Pemesanan bundling ini hanya via admin penjualan ya ... cuss yuk! Kapan lagi 139ribu dapet dua buku religi wkwkwk ...
LopLop
Hapsari
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Till Jannah (Proses Terbit)
SpiritualAnnisa Fauzia menginginkan seluruh harta warisan mendiang Ayah. Ia ingin hidup bebas dan bersenang-senang bersama dua sahabatnya, dengan harta peninggalan yang Annisa yakini tak akan habis hingga ia mati. Namun, Bunda tak memuluskan keinginannya. Wa...