Aku berlari masuk ke dalam rumah. Haikal pergi begitu saja tanpa sempat ke kamar rawat Bunda. Sialnya, Beti belum juga datang hingga aku harus menunggunya untuk bergantian jaga. Tepat saat asisten Bunda sampai, aku langsung memesan taksi dan menuju kediaman Bunda untuk bertemu dengan Haikal.
Sayang, tak ada Haikal di rumah Bunda.
Kesal akibat salah paham sore ini, aku mencoba menghubungi nomor Haikal namun ponselnya tak aktif. Aku mengambil mobilku, lantas bergerak menuju kediaman kami.
Napasku terasa lega saat mendapati kendaraan Haikal terparkir di rumah kami. Aku bergegas masuk dan menuju kamar kami. Aku yakin, Haikal berada di dalamnya.
Tanganku memutar handle pintu kamar namun lembaran kayu itu tak bisa terbuka. Baiklah, aku terkunci di luar sedang suamiku berada di dalam dalam kondisi merajuk.
"Mas," panggilku seraya mengetuk pintu tanpa ampun. "Mas tolong buka pintunya. Kita harus bicara."
Tak ada sahutan dari dalam. Aku terus memanggil Haikal dan mengetuk pintu hingga jemariku terasa kebas.
Pintu terbuka dah Haikal muncul dengan baju koko lengkap dengan peci dan sarung. Matanya merah dan wajahnya tampak tak memiliki gairah. Kami terdiam di ambang pintu dengan aku yang terus menunduk. Seketika dilanda bingung harus memulai dari mana.
"Mas," cicitku memanggil Haikal. Meski jantungku memukul keras di dalam dan hatiku berdebar akibat rasa takut akan emosi Haikal, aku tetap harus menghadapi ini semua. "Aku mau—"
"Saya hanya akan tanya satu hal."
Aku mendongak, menatap Haikal. Suaranya dingin dan terdengar menakutkan. Wajahnya saat ini, entah mengapa berhasil membuatku merinding ketakutan. Haikal yang kukenal hilang. Tak ada hangat dan teduh yang selalu terpancar dari senyumnya untukku.
"Saat kamu mengajakku melakukan itu, apa yang ada di pikiranmu?"
Napasku terhenti sesaat. Aku terperanjat mendengar Haikal menanyakan alasanku mengajaknya bercinta malam itu. "Tentu ... karena aku ingin seperti Usna. Menjadi orang tua."
Haikal menatapku dengan binar mata yang tak bisa kubaca artinya. Ia tetap terdiam menatapku yang bergerak tak nyaman akibat tak memahami maksud pertanyaannya. Lalu saat aku ingin berucap, pintu kamar kami tertutup lagi dan kudengar suara kunci berputar.
"Mas!" Aku berteriak memanggil namanya seraya memukul pintu sekuat tenaga. Tak peduli dengan telapak tanganku yang terasa panas dan perih. Haikal tak boleh memperlakukanku seperti ini.
Aku terus memukul pintu dan memanggil Haikal hingga pintu itu terbuka lagi. Kali ini, Haikal menatapku dengan koper yang ia genggam.
"Mas mau kemana?" Seketika aku linglung mendapati Haikal sudah membawa koper dan tas kerjanya.
"Pergi," jawab Haikal dingin.
"Jangan," larangku dengan gelengan lemah, penuh permohonan. "Kita harus bicara. Aku minta maaf soal surat—"
"Bahkan rumah tangga kita tak lebih berharga dari harta yang kamu minta di surat perjanjian itu."
Aku menggeleng tegas. "Bukan begitu! Itu karena aku—"
"Karena kamu ingin hidup bebas dan menikmati semua kekayaan Ayah. Setelah ini, misimu mungkin saja berhasil karena rumah tangga kita sepertinya mulai retak."
Haikal melewatiku yang tiba-tiba menangis kencang. Tubuhku gemetar mendengar semua kalimatnya yang tak bisa kubantah. Aku memang menginginkan smeua harta Ayah, namun juga menginginkan Haikal ada di hidupku sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Till Jannah (Proses Terbit)
SpiritualAnnisa Fauzia menginginkan seluruh harta warisan mendiang Ayah. Ia ingin hidup bebas dan bersenang-senang bersama dua sahabatnya, dengan harta peninggalan yang Annisa yakini tak akan habis hingga ia mati. Namun, Bunda tak memuluskan keinginannya. Wa...