8. Kecewa

5.4K 571 31
                                    

“Kamu cantik.”

Haikal mengusap pipiku yang berbalut hijab syar’i. Aku hanya tersenyum membalas pujian tulusnya dengan binar mata lembut terpancar dari netra pria itu.

“Maaf untuk semalam. Bukannya saya—“

“Aku paham, Mas. Tidak masalah ditunda, karena Ibu memang membutuhkan bantuan Mas. Wajar jika Ibu bingung cara menyesuaikan suhu pendingin ruangan dan menggunakan tombol siram kloset. Aku juga paham jika Ibu tidak familier dengan shower dan jet washer.”

Haikal mengembuskan napas, dengan senyum lega yang terpatri jelas. “Terima kasih untuk mau memahami situasi semalam, Annisaku.”

Senyumku tercetak sempurna. Annisaku. Panggilan itu membuatku merasa menang di atas Haikal. Semoga perkiraanku benar, jika Haikal sudah mulai luluh dan jatuh cinta sedalam-dalamnya padaku. Meski malam pertama kami harus gagal karena Ibu mengetuk pintu ditengah ciuman dalam kami, aku tak merasa jengah.

Saat Haikal membuka pintu dan mendapati Ibu mengeluhkan suhu kamar yang kurang membuatnya nyaman, suamiku meninggalkanku untuk mengurus Ibu. Sebelum mereka beranjak menuju kamar Ibu, mertuaku sempat melirikku yang menggunakan daster pemberiannya dan aku bisa melihat jelas binar bahagia yang tak bisa beliau sembunyikan.

“Nisa cantiknya, Masyaallah,” puji Ibu sebelum Haikal menggiring beliau kembali ke kamar.

Aku hanya tersenyum dan mengangguk dari ranjang, karena degup jantungku saat itu belum berangsur normal. Hingga saat keheningan menemaniku, rasa lega seketika hadir dan entah mengapa membuatku mengantuk. Hingga bisikan Haikal membuatku tersadar bahwa aku telah tertidur hingga pagi menjelang.

“Ash-Shalatu khairum minan naum, Zawjaty.” Suara Haikal lembut memasuki runguku dengan usapan tangannya di kepalaku.

Ia memintaku bersiap salat bersama Ibu, lalu kami bercengkrama di dapur sambil membuat sarapan kesukaan Haikal. Bubur sum-sum dan jagung rebus.

“Maaf karena tidak bisa menemani kalian belanja.” Haikal tampak menyesal. “Ada meeting yang harus saya hadiri dan tak boleh alpa.”

“Iya, tidak apa-apa. Mas jangan khawatir. Ibu akan aman bersamaku. Yang penting, tolong jangan batasi jumlah belanja kami dan segera mengirimiku uang jika aku meminta.”

Haikal mengangguk. Tangannya kini menggenggam lembut kedua tanganku lalu mencium sepenuh hati. Wahai dunia, aku memiliki budak cintaku sendiri saat ini. Bolehkah aku tertawa atas kemenanganku? “Saya rasa lima belas juta cukup untuk kalian belanja berdua,” ucap Haikal setelah melepas kecupan panjangnya di tanganku. “Sudah saya transfer tadi, saat kamu dan Ibu memasak sarapan.”

Aku berdecak kecewa. “Tiga puluh, lah, Mas,” tawarku. “Aku tidak mungkin membatasi Ibu jika nantinya beliau menginkan sesuatu.” Lagipula, jatahku sendiri harus dua puluh juta. Sisanya, baru untuk Ibu belanja.

Kami saling tatap beberapa saat, karena Haikal tak langsung menjawab permintaanku. Namun akhirnya, Haikal mengangguk setelah mengerjap seakan berpikir, lalu menghela napas panjang. Yes! Jika perkara kecil ini saja dia sudah luluh, aku akan bersiap untuk tahun depan yang akan menjadi masa gemilangku.

“Pakai ini, ya.” Haikal mengambil cadar dan mencium bibirku sepintas sebelum memasang benda itu di wajahku. “Saya tenang lihat kamu seperti ini,” ucapnya lirih penuh sayang. “Terima kasih, Annisa.”

Aku tersenyum di balik cadar, namun hatiku tertawa penuh dendam. Saat ini Haikal menang, namun nanti, tak akan ada yang bisa mengaturku seenaknya.

Sebenarnya Ibu memintaku mengantarkan beliau ke Thamrin City. Namun seleraku bukan di sana. Aku berhasil membujuk Ibu untuk masuk Plaza Indonesia, alih-alih mall sejuta umat yang Ibu pinta.

“Baju ini memang mahal, Bu. Namun kualitas tidak menipu harga. Ibu akan cantik jika mengenakan ini. Karena bagi saya, lebih baik tampil berkelas dari pada hanya menumpuk baju murahan di rumah.”

Ibu yang gamang setelah melihat label harga, akhirnya menggeleng dan mengajakku keluar gerai. Aku mendengkus lirih. Orang kampung memang sulit diajak hidup mewah.

Gawaiku berbunyi saat kami tengah duduk di sebuah coffee shop untuk beristirahat. Mas Haikal mengingatkanku untuk tidak membatasi Ibu berbelanja. Bahkan sampai tiga jam kami di Plaza Indonesia, tak satupun Ibu membeli barang. Berbeda dengan aku yang sudah memiliki tiga kantung belanja. Saat kutanya mengapa Ibu enggan membeli barang di tempat ini, beliau menjawab ingin mengunjungi Thamrin City dan belanja di Pasar Tasik.

Menggaruk kepalaku yang tak gatal, aku akhirnya menuruti pinta Ibu untuk cuci mata dan belanja di tempat impiannya. Well, dari pada nanti Haikal marah dan aku gagal bahagia.

“Allah itu Maha Besar dan Maha Penyanyang. Maha Kaya dan Maha Pemberi Rezeki.” Senyum Ibu tak sedikitpun hilang dari wajahnya. Aku melirik tak minat pada banyak kantung belanja berisi gamis, koko, dan perlengkapan salat. “Memiliki Haikal dan Nak Nisa, seperti anugrah dan berkah untuk Ibu. Kalian baik, sayang Ibu, perhatian, sampai ...,” suara Ibu mulai parau. “tak perhitungan membelikan Ibu ini dan itu.”

Tentu saja tidak perhitungan! Satu barang yang kubeli di Plaza Indonesia tadi, setara dengan lima belas barang yang Ibu beli di pasar ini. Begitu saja kok mudah terenyuh.

“Ibu mau kemana lagi?” tawarku dengan senyum seanggun dan sesopan mungkin. Aku harus berlaku sebagai menantu paling salihah se jagad raya.

“Pasar. Ibu mau belanja untuk mengisi dapur kalian. Tadi pagi, Ibu lihat hanya ada telur dan sosis di kulkas. Kasihan Nak Nisa kalau tidak makan ayam atau sapi.”

Aku mengulum senyum. Bukan aku tak sempat belanja. Masalahnya, hanya telur dan sosis yang bisa kumasak saat ini. Segala bentuk daging dan ikan, akan berakhir mengenaskan di tempat sampah karena aku selalu gagal dalam mengolah.

“Boleh ya, kita ke pasar,” pinta Ibu penuh permohonan.

Aku tersenyum dan mengangguk. “Ke swalayan, ya, Bu. Saya tidak biasa ke pasar.”

“Iya, gak apa, kok, Nak,” jawab Ibu dengan binar mata antusias.

Kami menaiki mobil dan bergerak menuju swalayan yang biasa kudatangi bersama Kiki dan Misha. Sampai tempat ini, aku mengambil troli dan mengikuti saja ke mana Ibu melangkah. Apapun yang Ibu ambil, aku tak menyanggah. Toh, jika tak kupakai nantinya, bisa kuberikan pada Bik Muna.

“Bu, bisa tunggu Nisa di sini saja? Saya mau ke rak perlengkapan perawatan tubuh sebentar. Ibu tunggu di sini sampai saya kembali lagi, bisa?”

Ibu mengangguk dan berkata memang akan sedikit lama di rak buah. Beliau berkata ingin membungkus beberapa buah dan harus memilih dengan teliti agar mendapat yang terbaik.

Aku berjalan menuju rak yang kumaksud dan fokus memilih beberapa lulur dan hand body yang kuingat tinggal sedikit.

“Kita harus sabar nungguin Icha dapetin warisan bokapnya.”

Tubuhku terpaku mendapati suara Misha di belakang. Aku bergerak sedikit dan melirik, ternyata benar ada Kiki dan Misha, tengah mendorong satu troli berdua.

“Kalau dia udah kaya raya, kita tinggal suruh-suruh dia penuhin kebutuhan hidup kita. Dia kepengen bebas, katanya. Jadi, setelah dia cerai dari suaminya nanti, kita ikutin aja dia kemanapun. Untuk sekarang, sabar aja jadi simpanan Om Broto dan Mas Seno.”

Tanganku gemetar. Napasku naik turun dengan cepat dan mati-matian kutahan emosi. Aku melirik tajam pada Misha dan Kiki yang melewatiku tanpa sadar, karena cadar yang kugunakan saat ini. Mereka santai sekali berbelanja seraya membicarakanku. Aku tak menyangka, mereka memiliki rencana “indah” yang akan mereka realisasikan setelah aku kaya nantinya. Bukannya bekerja, dua cecunguk itu justru rela menjadi simpanan. Dasar murah!

Aku mengambil apa yang kubutuhkan dari rak lalu segera kembali ke tempat Ibu mengambil buah. Ibu bertanya mengapa aku tampak terdiam setelah kembali dari rak perlengkapan perawatan tubuh. Aku menggeleng dan beralasan tak enak badan.

Mendengar itu, Ibu mengajakku pulang secepatnya, setelah memenuhi troli dengan aneka belanjaan yang menurut Ibu akan kami butuhkan di rumah.

***

Rahman, ya Rahman sa'idni Ya Rahman
Israh Shodri Qur'an
Imlak Qolbi Qur'an
Wasqi Hayati Qur'an

Aku terdiam di meja makan sendiri. Sedang Haikal dan Ibu tengan berjibaku dengan bahan makanan dan memasak bersama. Ibu mengatakan pada Haikal agar tak menggangguku beberapa saat karena wajahku tampak pucat. Saat Haikal bertanya, aku beralasan tak enak badan.

Ponsel Ibu memutar lagu ini dan mertuaku mengikuti sambil memotong daging. Haikal pun sama. Ikut menyanyikan seraya memotong sayur.

“Jangan putus tadarusnya, ya, Le.” Ibu bersuara di sela nyanyian dari ponselnya. “Al-qur’an pedoman hidup kita. Kitab suci yang mengarahkan hamba Allah agar tidak memasuki jalan yang salah.”

“Iya, Bu.” Haikal tersenyum seraya menjawab. “Sekarang malah enak, ngajinya ada yang menemani.”

Ibu terkekeh lirih lalu melirikku dengan tatapan menggoda. Aku hanya tersenyum saat kami bersitatap beberapa saat. “Jangan hanya membaca Al-qur’an. Pahami juga artinya dan amalkan. Sebarkan agar umat islam juga tahu betapa pentingnya Al-qur’an bagi kita, Nak.”

Haikal mengangguk seraya menyelesaikan potongan sayurnya yang hampir habis. “Iya, Bu. Saat ini Haikal mengaji bersama Nisa dulu. Kami akan belajar bersama agar memiliki pondasi yang kuat membangun rumah tangga sakinah, mawadah, dan warahmah.”

Dari tempatku duduk, aku hanya bisa tersenyum lemas. Betapa hangatnya interaksi antara Ibu dan Haikal. Aku sampai heran, mengapa mereka hanya fokus membahas agama alih-alih bertanya berapa jumlah tabungan yang Haikal miliki sejak kami menikah. Ibu seperti tak peduli dengan pencapaian karir dan kekayaan anaknya. Sepanjang obrolan, hanya Allah, islam, Al-qur’an dan berbagai nasihat kehidupan yang beliau bicarakan.

Ponselku berdenting tanda notifikasi masuk. Misha mengirimiku pesan.
“Cha, bagaimana progress misi kita? Kalau ada apa-apa, kita siap bantu.”

Tak lama, pesan dari Kiki menyusul.
“Lo jangan lupa, kalau ada kita di belakang lo dan akan selalu mendukung kebebasan lo. Bilang-bilang kalau butuh bantuan. Gue udah ada channel orang pinter kalo lo butuh pelet buat lancarin misi kita.”

Hatiku mencelus. Bagaimana bisa aku berhasil mereka bodohi mentah-mentah selama ini. Merekalah gold digger yang sebenernya. Beda dengan Haikal yang masih mau memberiku uang untuk belanja. Aku akan melanjutkan misi ini, sendiri. Karena saat semua harta Ayah pada akhirnya jatuh padaku, aku akan menyimpan semua untukku. Tidak untuk Misha, Kiki, juga Haikal.

Menggerakkan jemariku di atas gawai, aku membalas pesan mereka di aplikasi perpesanan.

“Jangan khawatir. Gue aman dan semua berjalan sesuai yang gue rencanakan.”

Karena rencana selanjutnya, tak akan ada Misha dan Kiki dalam misi ini.

****

Pre order masih dibuka ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pre order masih dibuka ya ... bisa pesan via shopee Detailstore suapaya dapat gift dompet koin lucu.

Silakan dipesan Kakak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Silakan dipesan Kakak .. muaacchh

LopLop
Hapsari

I Love You Till Jannah (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang