“Gue minta maaf.” Aku menunduk memperhatikan uap kopi dari cangkir yang kugenggam. Kopi yang kupesan berwarna gelap, segelap bayangan masa depanku setelah pernikahan ini.
Kudengar Kiki menghela napas jengah. “Lo itu gimana, sih, Cha? Kita udah janji mau jalan ke Maldives tiga bulan lagi. Gue udah daftarin kita bertiga ke agen travel dan tinggal bagian lo yang lunasin sisa tagihan kita. Kalau udah begini, gimana? Kacau!”
Aku mendongak melihat wajah Kiki yang tampak jelas kecewa. Lalu netraku berpindah pada Misha yang hanya diam saja, kentara jika sedang mati-matian menahan emosinya.
“Gue tau, ini salah gue. Udah janji traktir lo pada liburan ke Maldives, malah kejadiannya begini.”
Kiki menggeleng. Wajahnya tampak tak habis pikir dengan segala hal yang kuceritakan tentang hari ini. “Nyokap lo beneran sadis. Udah nikahin paksa anak tunggalnya, sekarang memperlakukan lo seperti tahanan.”
Aku mengangguk. Kiki benar. “Gue bahkan sempat berpikir kalau Bunda gue itu titisan Hitler atau ada keturunan sama Lucifer,” tukasku lemah. “Sialnya, gue gak punya cara untuk cepat menyelesaikan ini semua.”
“Ada.” Misha tiba-tiba bersuara.
Aku menoleh padanya dengan raut penuh tanya. Misha memang perempuan paling pintar diantara kami. Dia mampu mencari celah agar keinginannya bisa tergapai. Dalam kasus ini, semoga kecerdasan Misha dapat membantuku.
Misha menatapku lekat dan tajam. Seakan membaca sesuatu dalam diriku dan memperhitungkan pikirannya sebelum berucap, “Tadi lo bilang, ada klausa yang tertulis kalau penggunaan harta waris lo, harus seijin suami?”
Aku mengangguk. “Dan itu berlaku sampai umur gue 25,” tambahku.
Misha mengangguk. “Gue gak peduli berapa lama kondisi itu akan berlaku. Lo bisa menjual semua aset bokap lo atau menghabiskan satu-satu sesuai mau lo, langsung ketika lo sudah sah menjadi pemiliknya.”
“Tapi harus seijin dan menggunakan persetujuan Mas Haikal, Misha.”
“Iya, gue tau.” Misha mengangguk. “Nah, supaya langkah lo bisa berjalan tanpa hambatan, lo harus bisa menaklukan suami lo.”
Aku menyernyit tak paham. “Maksudnya?”
“Buat dia jatuh cinta dan takluk sama pesona lo.”
“Heh?” Aku membeliak tak terima. “Enggak! Gue gak cinta Haikal dan dia sama jahatnya dengan Bunda.”
“Tapi lo harus berjuang, Cha.” Kiki bersuara tegas. “Lo bilang mau memperjuangkan hak lo sampai mati. Ya ini salah satu bentuk perjuangannya!”
“Anjir, berat banget jadi istri, tuh! Gue gak mau harus bangun pagi setiap hari dan melakukan hal-hal memuakkan seperti apa yang pembokat gue lakukan setiap hari.”
Misha mendengkus cepat. “Lo itu sayang sama persahabatan kita gak, sih?” Matanya bahkan terlihat menuntutku. Seketika aku mengangguk cepat sebelum ia marah. “Kita akan selalu ada untuk memberikan lo semangat. Kalau perlu, kita bantu lo supaya bisa menjerat Haikal agar cepat takluk di bawah kaki lo.”
“Bener, ya?” tanyaku memastikan.
Kiki memajukan tubuhnya hingga menempel pada meja cafe yang kami singgahi petang ini. “Tapi lo harus janji. Gak akan lupain kita dan selalu ajak kita saat lo bersenang-senang nantinya.”
Aku mengangguk mantap. Tentu saja aku akan selalu membawa mereka serta, setiap melakukan hal menyenangkan dalam hidupku kelak. Misha dan Kiki adalah sahabatku sejak kuliah hingga sekarang dan kami akan selalu bersama.
Sepanjang perjalanan pulang, ponselku tak henti berdering. Haikal menghubungiku tanpa henti. Aku tak menjawab sekali pun panggilannya dan fokus mengemudi menuju rumah kami. Usai pertemuanku dengan Kiki dan Misha tadi, aku tak langsung pulang. Aku terdiam sendiri dalam mobil di parkiran mall tempat kami bertemu tadi.
Aku berpikir sendiri tentang pernikahan ini. Menyiapkan mental dan batin agar kuat menjalani serangkaian taktik yang Misha rencakan untuk kulakukan agar semua bisa berjalan lancar. Membuat Haikal jatuh cinta dengan berlaku seperti istri sesungguhnya.
Mobil yang kukendarai sudah memasuki pekarangan hunian ini. Aku menginjak pedal rem, lantas mengusap kasar wajahku yang entah sejak kapan sudah basah.
Haikal terlihat berdiri di depan pintu utama kediaman ini. Wajahnya tampak tegang menahan emosi. Aku hanya menyeringai kecut mendapati beginilah hidup sebagai seorang istri. Kamu akan diperlakukan seperti tahanan dan siap dihukum karena pulang hampir larut malam.
“Aku berkemas dan membutuhkan waktu lama,” ucapku saat mendekatinya seraya menggeret koper.
“Mbak Beti bilang kamu sudah keluar rumah Bunda sebelum petang,” jawabnya dengan wajah menuntut penjelasanku.
Aku berhenti tepat di depannya dan tersenyum simpul. “Assalamualaikum,” ucapku lembut. “Maaf aku pulang telat karena harus membeli beberapa barang di mall, sekalian bertemu Kiki dan Misha.”
Haikal terdiam dengan tatapan lekat padaku.
“Mas belum jawab salamku.”
“Waalaikumsalam,” jawabnya cepat. “Lekas masuk,” perintahnya seraya berbalik dan berjalan menduluiku.
“Mas, aku ingin bicara, boleh?” Suaraku menghentikan langkah Haikal menuju kamarnya. Ia berbalik menghadapku dengan wajah penuh tanya.
Mataku mengarah pada sofa ruang tivi. Membuat gestur memintanya duduk berdua di sana.
Dan inilah saatnya. Jantungku berdegup kencang dengan hati yang terasa teremas perih. Aku harus rela menjalani ini demi impianku menguasai harta Ayah.
“Aku ingin menjalani pernikahan ini. Maksudku, menjalani pernihakan yang sesungguhnya.”
Kedua alis Haikal bertaut. Wajahnya kentara terkejut mendengar permintaanku.
Aku menggaruk pelipisku yang tak gatal. “Aku bingung harus menjelaskan dari mana. Yang pasti, aku menarik ucapanku tentang hidup masing-masing dalam pernikahan. Aku akan menjalani peranku sebagai istri Mas sesungguhnya, bahkan untuk ...,” aku menelah ludah cekat, “urusan yang satu itu.” Dan jantungku semakin memukul tak karuan.
Haikal membuka mulut tampak ingin bersuara namun tangaku lebih dulu mengudara, memintanya menungguku selesai bicara.
“Tapi aku ingin melakukannya pelan-pelan. Maksudku, untuk urusan yang satu itu, aku ingin kita melakukannya perlahan. Kita menikah bukan atas dasar suka sama suka. Aku perlu waktu untuk membuka hati dan menyatukan rasa kita nantinya. Jadi, untuk langkah awal, aku akan menuruti pinta Mas Haikal dan menyiapkan kebutuhan harian Mas.” Mencelus hatiku saat mengatakan ini. Hancur sudah hidupku demi perjuangan ini.
“Aku ingin kamu menggunakan baju yang Mbak Beti siapkan. Buang semua pakaian yang kamu kemas dari rumah. Itu permintaanku jika kamu yakin ingin menjalani peran sebagai istriku.”
Aku mengangguk meski hatiku meronta tak terima.
“Kita tidak tidur di kamar terpisah, meski aku menyetujui permohonanmu untuk jalan perlahan tentang yang satu itu.”
Aku mengangguk dan tersenyum simpul. “Ada lagi?”
Haikal menggeleng. “Selama kamu janji akan mendengar semua ucapan saya, saya rasa tak akan ada masalah.”
Senyumku semakin lebar karena sepertinya Haikal bukan tipe manusia yang ribet seperti Bunda. Mengerjap pelan dengan gaya yang kubuat semanis mungkin, aku menggeser dudukku hingga tubuh kami tak berjarak. “Kalau begitu, aku berterima kasih pada Mas dan ...” secepat kilat kucium pipi Haikal dan bersorak dalam hati karena sepertinya, pria itu terkejut bukan main. “Ini sebagai tanda persetujuan atas diskusi kita malam ini.”
Haikal tercenung. Matanya menatapku dengan binar yang tak bisa kubaca. Seperti ada banyak rasa dan tanya yang tersirat dari manik kelamnya.
Aku beranjak dari dudukku, lantas membawa koperku ke dalam kamar Haikal. “Aku fix tidur sama Mas ya, mulai sekarang,” ucapku di ambang pintu kamarnya. “Besok semua bajuku akan kutata di lemari kamar Mas. Sekarang aku lelah dan ingin segera tidur.”
Tak menghiraukan bagaimana reaksi wajah dan tubuh Haikal yang masih di sofa, aku bergegas membersihkan diri dan tidur mendului Haikal. Aku harus bisa melewati ini. Membuat Haikal bertekuk lutut demi warisan dan hidup nyaman setelahnya.
***Versi lengkap cerita ini ada di grup facebook Lovrinzandfriend ya... kalian tinggal search Till Jannah. Karena di sana, kisah ini judulnya Till Jannah.
Yang nunggu open PO versi cetak, (Mudah-mudahan ada yang nunggu yaa wkwkwk) Inshaallah minggu depan ... Bismillah ...
Disini, tetap update 2 hari sekali. Muach!
LopLop
Hapsari
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Till Jannah (Proses Terbit)
SpiritualAnnisa Fauzia menginginkan seluruh harta warisan mendiang Ayah. Ia ingin hidup bebas dan bersenang-senang bersama dua sahabatnya, dengan harta peninggalan yang Annisa yakini tak akan habis hingga ia mati. Namun, Bunda tak memuluskan keinginannya. Wa...