04

476 22 0
                                    

"Mereka terlalu baik padanya, aku iri."
-
-

Askara -kak Aska
•Angkasa -Aksa
awas ketuker....

"Mah aku dapet rank 1 lagi." Askara berseru semangat, memperhatikan rapot yang baru saja diambil oleh papanya.

"Pinternya anak mama."

Di atas tangga Angkasa memandang keluarga nya semangat, ia turun tak lupa dengan rapotnya yang diambilkan langsung oleh pekerja dirumah nya.

"Ma Pa..."

Ucapannya terhenti saat Askara memekik kesakitan, ia kambuh lagi. Aldebaran segera menggendong anaknya menuju mobilnya, Mia-istrinya mengikuti dengan raut wajah panik.

Keduanya pergi tanpa memperdulikan Angkasa, padahal ia sudah berusaha sekeras mungkin agar mendapatkan ranking yang bisa membuat orang tua nya bangga.

Usianya bahkan baru menginjak angka 4, namun sudah fasih berbahasa Inggris. Ia berusaha mati matian agar terlihat sama seperti kakaknya.

"Gapapa nanti setelah mereka pulang baru aku kasih tau." Ia berusaha menguatkan hatinya agar tidak menangis.

"Bibi."

Wanita paruh baya berjalan cepat saat anak majikannya memanggil dirinya, "iya den?"

"Aku anak pinter 'kan?  apa kata mrs tadi? aku ga ada yang kurang kan?"

"Engga, Angkasa anak pinter."

Angkasa mengangguk senang, "iya biar kaya kak Askara."

6 jam Angkasa menunggu diruang tv hanya untuk memperlihatkan nilainya, ia juga ingin dibanggakan, ia juga ingin diberi ucapan selamat dari orang tua nya, sesekali Angkasa ingin mendapatkan hadiah dari pencapaian nya.

Angkasa tetap setia menunggu mereka, tidak mengeluh karena mereka terlalu lama.

Ia berdiri saat mereka sudah kembali, atensinya jatuh kepada mainan kakaknya. "Kak Aska..." Angkasa kecil memanggil kakaknya dengan antusias, berharap sebagian mainannya mau dipinjamkan untuk dirinya.

"Buat aku?" ia bertanya dengan wajah polos, ia tersenyum lugu.

Askara menggeleng, ia menyembunyikan mainan pemberian orang tua nya.

"Udah Aksa, kakak kamu mau tidur."

Angkasa mengganguk lemas. "Iya." Berkata cepat agar tidak diomeli lagi oleh sang mama.

Ia teringat sesuatu, segera mengambil selembar kertas yang ada di sofa kemudian mengikuti langkah orang tua nya. Ia berjalan cepat berusaha menyamai langkah mereka.

"Ma Pa....." ia mendongak menatap wajah orang tua nya, tersenyum manis.

"Aku dapet nilai A+ kata Mrs juga aku anak pinter, baik."

Mia tersenyum kemudian mengangguk.

"Apa aku dapet hadiah kaya kak Askara?"

Mia membawa Askara masuk ke kamar, saat anaknya mulai mengeluh ngantuk. Aldebaran memandang Angkasa."Kamu minta sama bibi, besok papa kasih uang nya."

Angkasa menggeleng, "aku mau minta kita ngumpul ngumpul aja umm piknik maksud aku."

Aldebaran menggeleng tegas, "pikirin Kakak kamu, dia lagi sakit. Kamu ga boleh egois, kamu ga boleh kekanakan."

Angkasa hanya mengangguk kecil, ia memandang sendu punggung papa nya. Ia masih kecil namun sudah dipaksa untuk tidak bersikap egois.

Angkasa masuk ke kamar nya membuang selembar kertas yang berisi tentang nilai nilai nya selama bersekolah di play group.

Ia menangis terisak saat tau setiap usaha nya tidak pernah berarti apapun untuk mereka.

Angkasa terjaga dari tidurnya, ia kembali mengingat masa kelamnya. Ia menghirup nafas saat dirinya mulai sesak, menutup matanya mencoba meredam emosi tertahan didalam dada.

"Brengsek!" teriaknya menggila, ia menarik rambutnya kasar.

Sakit, matanya memanas.

"Gue ga akan maafin kalian." Ia bergumam tegas.

Angkasa sudah membekukan hatinya pada keluarga yang dianggap telah membuang nya.

Luka basah masih tertanam dihatinya akibat pilih kasih itu tidak akan pernah terobati sekalipun detik, menit kian berganti.

Kesedihan yang ditorehkan keluarganya tidak dapat ditoleransi, Angkasa mengukuhkan hatinya agar tak lagi goyah seperti dulu, matanya selalu menyorot tajam agar tak lagi ada yang berani mengusik hidupnya.

Ia terbiasa sendiri.

Kesedihan.

Kepedihan.

Kesendirian.

Semuanya terkurung di hidupnya, tidak membiarkan siapapun masuk kedalam hidupnya dan menghapus kenangan kelamnya.

Ia sudah nyaman seperti ini, dekat dengan orang lain sama saja seperti menaruh garam di luka basahnya. Angkasa tidak ingin lagi.

Angkasa sadar, amat sangat sadar tidak akan ada yang mencintai nya seperti omahnya, tidak ada yang akan memperdulikan nya seperti omahnya.

Kenapa? kenapa orang tua nya hanya memikirkan kakaknya?

Kenapa? kenapa mereka memperhatikan kakaknya saja?

Kenapa? kenapa semua orang hanya memandang takjub kakaknya?

Ia meraup wajahnya kasar, semakin benci saja pada dunia.

Ia seperti ini pun hanya untuk berusaha agar tidak kehilangan jati dirinya, agar ia diterima sebagai Angkasa bukan pengganti kakanya.

Dulu nakal pun hanya untuk diperhatikan, ia ingin dicintai oleh orang tuanya, walau sedikit setidaknya ia mendapatkan apa yang ingin ia harapkan.

Sayangnya, itu dulu. Sekarang Angkasa sudah tidak butuh, ia dipanggil pun karena mamanya yang hampir depresi saat kehilangan si sulung.

"Sya..."

"Apa?" Meisya menjawab kalem saat melihat wajah sedikit murung milik Angkasa.

"Manusia.. kecuali gue, itu menjijikkan ya?" Angkasa bertanya parau, pandangannya kosong.

"Gue benci, apapun itu yang ada di dunia gue benci, semesta ga pernah berhenti ngasih ujian buat seseorang lemah kaya lo contohnya." Angkasa terkekeh pelan, ia tetap gengsi untuk mengatakan bahwa ia yang selalu tersakiti.

Meisya meringis, Angkasa terlihat lempeng walau mengucap sedemikian pilu.

Angkasa merasa dirinya yang paling tersakiti namun tetap memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja, ia memakai topeng agar duka nya tidak terlihat.

Seseorang sering menutupi lukanya dengan senyum mengejek nya, Angkasa seolah menunjukkan wajah bahagianya walau mata tak dapat dibohongi memancarkan kepedihan.

Seseorang sering memaksakan untuk kuat walau kakinya sudah tak mampu untuk berpijak.

Karena, bagi manusia memakai topeng lebih baik daripada harus mengakui kepada dunia bahwa ia tidak baik-baik saja.

*******

Hikss.....

Keyboard nya lagi ngambek, susah buat ngetik. Rese. Kalo ada yang typo harap dimaklumi ya:(

ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang