12

427 19 0
                                    

Angkasa kecil menunduk dalam saat melihat ada banyak anak yang bermain dengan orang tuanya.

Mendongak saat sang omah mengelusi rambutnya. "Aksa—"

"Aku gapapa, Omah."

Lisa tersenyum kecil, cucunya mendapatkan perlukan buruk sekali. Sesekali dia juga bersedih melihat Angkasa menampilkan ekspresi terpukul.

Namun jika terus-menerus tinggal bersama orang tua nya, masalah apa yang akan Angkasa ciptakan?

Mata Angkasa berkaca-kaca, tangannya gemetaran. Kenapa, kenapa saat dia mengajak orang tua nya untuk bermain tapi mereka menolak. Dan, sekarang kenapa mereka sedang bercanda gurau dengan sang Kakak.

Mengapa mereka melupakan anak yang lainnya?

Dulu....

"Mah..."

Ami menahan nafas saat melihat sang bungsu dihadapannya. "Mama sibuk, Aksa."

Angkasa menunduk, "ijinin aku buat bacain puisi—"

"Mamah sibuk, Aksa!" nadanya sedikit meninggi.

Angkasa ketakutan, mundur menjauh dari sang Mama.

Berlari, terus melangkah saat merasa air matanya mulai mengalir.

Padahal, padahal Angkasa hanya ingin mengucapkan nya-- "Selamat hari ibu, Mama."

Angkasa bergumam pelan, isakannya semakin terdengar menyayat hati.

Berjongkok didekat kamar orang tuanya, menangis terisak saat Papanya datang menghampiri nya.

Aldebaran berjongkok dihadapannya, menghela nafas. "Papa capek, kenapa kamu disini?"

Tangisan Angkasa spontan berhenti, maniknya masih berkaca-kaca, "maaf, Papa."

Mengelap sisa-sisa air matanya sendiri, Angkasa tersenyum lebar. "Pah, ayo kita main."

"Papa capek, kamu main sama bibi dulu."

Senyum Angkasa meredup.

Angkasa tersentak kaget saat Ami memeluknya. Tapi air matanya tetap mengalir, dia iri.

Jika dengan sakit, Angkasa dapat dekat dengan orang tuanya dia tidak masalah.

Dia juga ingin.

Sangat ingin.

Angkasa terengah-engah, mimpinya datang lagi. Kenangan pahit nya terkumpul lagi. Mendesis saat terbayang muka bahagia orang tuanya tanpa dirinya.

Dia mendapatkan luka, namun mengapa mereka seolah-olah bahagia?

Menoleh saat pelipisnya diusap dengan lembut, Meisya tersenyum kecil.

Meisya tau ada yang tidak beres dengan mimpi sang suami, Angkasa bahkan mengigau dengan gumaman tidak jelas. Keringat dingin mulai mengucur. Meisya juga sama paniknya.

"Gue juga bakal buat hidup mereka menderita." Dendamnya terlalu dalam, kebenciannya murni tidak dibuat-buat.

Lukanya terlalu dalam, aura menyakitkan menguar terlalu pekat, ia lupa cara untuk menyembuhkan. Ada luka yang tidak bisa diucapkan. Angkasa tetap menutup rapat-rapat kesedihan yang menggerogoti tubuhnya seolah mengizinkannya agar cepat lenyap termakan oleh kepedihan.

"Angkasa, obsesi dan balas dendam tidak akan mengurangi rasa sakit mu,  karena kesedihan akan membawa mu dalam keterpurukan." Meisya menahan nafas saat Angkasa justru mencengkeram erat pundaknya.

"Gue yang ngerasain!"

"Gue yang ngalamin!"

"Gue yang tau rasa sakitnya, Mei." Suaranya melemah, badannya bergetar.

Meisya merengkuh tubuh Angkasa, membiarkan Angkasa menenangkan diri nya.

Panas, matanya memanas.

Angkasa merasa sakit, tapi Meisya juga merasakan kepedihan.

Meisya menangis, terisak saat pundaknya basah. "Aksa—"

"Kenapa harus gue?" Angkasa bertanya parau.

Meisya menangkup kedua pipi Angkasa, mengelusi air mata yang keluar. Dia dititik lemahnya sampai tidak sungkan menunjukkan air matanya.

Meisya sesegukan saat Angkasa mulai linglung.

Meisya mendekatkan wajahnya, bibirnya menempel demi menahan isakan.

Angkasa tersentak kaget, bibirnya hangat.

Awalnya hanya lumatan namun menjadi semakin dalam saat Angkasa mulai memasukkan lidahnya mengabsen satu persatu gigi Meisya.

Meisya melenguh, pinggangnya ditarik mendekati sang suami. Angkasa menaruh Meisya dipanggukuan nya.

Terengah-engah, Angkasa mengelap keringat yang mengucur dari dahi Meisya. Membiarkan sang istri bersandar dipundaknya.

Meisya mendongak, iris nya bertubrukan dengan netra Angkasa.

Mata layu, bibir basah, nafas yang terengah-engah. Meisya terlihat sangat—

Menggoda.

Angkasa tidak bisa berhenti, mana tahan melihat santapan lezat yang ada dihadapannya.

Tidak akan Angkasa lewatkan, kebetulan diluar sedang hujan. Angkasa butuh kehangatan.

Angkasa mulai mendekatkan bibirnya lagi.

Persetan dengan statusnya yang masih sekolah, toh mereka sudah sah 'kan?

Apa salahnya?

Mereka terlibat ciuman hangat, begitu memabukkan. Keduanya terpejam menikmati kenikmatan yang mungkin akan mereka mulai.

Angkasa menangkup kedua pipi Meisya dengan tangan besarnya. mengecup bibir Meisya sebelum melepaskan ciumannya. Angkasa menempelkan keningnya berdua.

Meisya dibaringkan ditempat tidur, ia mencoba mendorong-dorong dada bidang milik Angkasa, namun perbedaan postur badan yang membuat Meisya kewalahan.

"Boleh?" Tanya Angkasa serak, matanya memancarkan aura yang berbeda.

Meisya mengangguk membiarkan.

Selamat makan!

*****

HAHAHAHAHAHAHAHAHHAAHA, adult content ni.

Di chapter selanjutnya, ada yang lebih hot.

Sengaja, kalian butuh hiburan kan? saya mah baik, baik sekali.

ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang