19

327 15 0
                                    

Netra nya tidak bisa terpejam saat waktu sudah menunjukkan pukul dua malam.

Pikirannya melayang, yang terbesit hanya satu. Takoyaki.

Menghela nafas gusar, dirinya ingin sekali.

"Angkasa." Meisya mengguncang bahu Angkasa pelan.

Angkasa melenguh. Dirinya duduk dengan mata terpejam.

"Takoyaki."

Meisya memeluk Angkasa erat, menggesekkan hidung nya pada punggung telanjang Angkasa. "Aku mau takoyaki."

Angkasa menoleh, "sekarang?"

Meisya mengangguk.

Angkasa terbelalak saat melihat jam dinding, dirinya masih mengantuk namun tak tega membiarkan Meisya memasang wajah nelangsa seperti itu.

Angkasa mengangguk, kembali memakai baju kemudian mulai berjalan mengambil kunci motornya diatas nakas.

"Hati-hati." Meisya mengikuti langkah Angkasa, menarik-narik baju Angkasa dengan sebelah tangan memeluk guling.

"Hati-hati, Aksa. Jangan ngebut, jangan lupa takoyaki nya, jang-" ucapannya terhenti saat bibirnya bertemu dengan bibir tebal milik suaminya. Jantungnya seolah terlepas.

"Iya sayang."

Meisya masih linglung saat Angkasa mengelusi rambutnya. Mukanya memerah menahan malu. Meisya menghela nafas saat Angkasa mulai pergi.

Menopang pipi, mengelus-elus pipinya yang terasa panas, "rasanya seperti anda menjadi ironmen." Ucapnya setengah bergumam.

Meisya meloncat kegirangan, terus memegangi bibirnya. Guling nya ia tinggalkan dilantai sendirian. Ciumannya seolah masih menempel erat dibibir nya. Meisya menggeleng sambil tersenyum.

"Senengnya-senengnya-senengnya."

Meisya tertawa terbahak-bahak, ciuman membuatnya gila. Bahkan mereka sudah lebih dari sekedar ciuman, namun rasanya seperti pertama kali. Meisya semakin tertawa saat pipinya mulai memanas lagi.

Meisya duduk bersila sambil menonton tv, ia masih cungar-cungir sendirian.

Senyumnya memudar saat melihat wanita yang tidak ingin dilihatnya.

"Boleh duduk?"

"Kalo gue bilang gak boleh gimana?" Meisya tersenyum culas.

Zahra terkekeh pelan. Dirinya duduk sedikit menjaga jarak. "Lagi ngapain?"

"Sekeliatannya aja lah." Ia tidak sedikit pun bersikap sok baik, ia dengan senang hati menunjukkan ketidaksukaan nya.

"Kenapa belum tidur?"

Mereka berdua menengok, ada Angkasa disana.

"Nunggu kamu." Meisya menjawab dengan nada manja.

"Zahra?"

Meisya tersenyum kecut, berdecih sinis.

Zahra hanya menggeleng, Angkasa berjalan membawa kantong plastik dihadapan Zahra.

"Sya?"

Meisya berdehem ogah-ogahan.

"Makannya berdua, ya?" Angkasa bertanya saat Zahra terus memperhatikan makanannya.

"Bagi sedikit, ya?"

Meisya menggeleng pelan, "buat lo aja semuanya, gue kenyang." Pergi meninggalkan mereka berdua begitu saja.

Meisya berjalan cepat, menghalau air mata yang mulai menumpuk. Memegang perutnya yang rata, "kamu bisa makan besok, ya." Meisya menutup mulutnya menahan isakan.

"Gapapa-gapapa bisa besok." Tuturnya mencoba menguatkan, Meisya terus menangis. Menutupi wajahnya dengan selimut, terisak-isak saat keinginannya semakin kuat.

Mencengkeram erat selimut nya saat Angkasa mulai menarik pelan.

"Maaf, Sya." Angkasa memeluk Meisya dari belakang.

Meisya masih terus menangis, "pahdhal gu-gue phengen."

Angkasa menarik sedikit selimutnya, mengelus pipi basah Meisya, "iya, tapi dia juga pengen. Ngertiin, ya?"

Meisya duduk, menarik kerah baju Angkasa, "gue terus yang diminta buat ngertiin apa mau lo. Sekali aja, sekali aja coba denger gue. Sesekali gue cemburu, sesekali gue iri."

Angkasa menarik Meisya kedalam dekapannya, "maaf, maaf, maaf."

Angkasa berkali-kali mengulang kata maaf dan mengecup pelipis Meisya. "Maaf."

"Gue juga bingung, Sya."

*****

Saya mah sebel.

Sebel banget sumpah ga boong. Angkasa brengsek amat sih. Iiiiiiiiiiiiiiiiiiii

ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang