22

381 21 0
                                    

Meisya bercanda bersama keluarga besar dari Angkasa.

"Kamu udah ngisi, Sya?"

Meisya tersenyum kikuk mendengar pertanyaan dari Tante nya Angkasa.

Ami tertawa menutupi kegugupannya, "masih proses ya, Sya?" tangannya mengelusi punggung Meisya.

"Masih pengantin baru, menikmati masa-masa pacaran."

Suara Angkasa yang menjawab.

Meisya menengok menemukan sang suami bersama wanita lain. Mereka bergandengan mesra. Tidak merasa terusik saat Meisya memandang nya sendu.

Omah menghela nafas, "habis dari mana?"

"Beli rujak, Omah." Zahra tersenyum mengangkat plastiknya tinggi-tinggi.

Pundaknya mulai bergetar, kenapa harus setega ini. Meisya menahan tangis. Hari-harinya penuh dengan air mata.

Meisya berdehem, "Angkasa"

"Ya?" Angkasa menghampiri, ia jongkok dihadapan Meisya agar tinggi mereka sejajar.

"Boleh bicara sebentar?"

Angkasa mengangguk, menarik tangan Meisya membawa nya ke lantai atas.

"Aku mau pulang."

"Ini rumah lo."

Meisya menggeleng, "aku mau kerumah Ayah."

"Gue antar."

Meisya menggeleng lagi, "nginep."

"Satu hari?" Angkasa bertanya ragu-ragu, pikirannya mulai kacau saat Meisya menggeleng.

"Mau tinggal lebih lama."

"Apa maksudnya?" Angkasa mulai bertanya serius.

Meisya mengerutkan dahinya, tertawa kecil. "Apa maksud dari pertanyaan?"

Angkasa diam membisu.

"Lo ga sadar sama sikap lo selama ini?"

Angkasa tetap diam, ia tau apa yang dibicarakan oleh Meisya. Keluh kesahnya yang ia pendam mungkin akan ia bicarakan hari ini.

"Sakit, Aksa."

"Lepasin gue dari pernikahan gila ini."

Angkasa tertegun, matanya menyorot dalam wajah sembab sang istri.

"Kita bicarain ini baik-baik." Angkasa memegang tangan Meisya.

Meisya engan menjawab, hatinya sudah separah ini tidak mungkin ia tetap memilih bertahan.

Untuk apa berjalan diatas kerikil yang kita tahu bahwa didepan sana jalan buntu.

Meisya perlahan melepaskan tangannya, "kalo kamu cinta sama dia seenggaknya tolong bilang aku. Aku terlalu sering berharap kamu balik mencintai ku. Padahal aku tau bahwa berharap adalah cara menyakiti diri dengan sengaja."

"Sya-"

"Aku mengalah bukan saja untuk aku tapi untuk kita dan mereka. Kamu punya tanggung jawab, aku lepas tangan digenggaman kita."

"Dengerin gue baik-baik." Angkasa memegang baju Meisya, mengangkat dagu sang istri sedikit tinggi. Matanya saling bertatapan, "kasih gue waktu, jangan bikin gue putus asa. Kita pasti bisa."

"Kita ada dijalan buntu!" Meisya berteriak marah, kenapa hanya dia yang mau dimengerti? ia juga ingin, "sekali aja, tolong ngertiin gue." Meisya tersenyum miris.

"Maaf."

"BRENGSEK!" Meisya terduduk, berteriak sambil terus-menerus menarik rambutnya. Meisya menangis sesenggukan ia memeluk dirinya sendiri.

*****

ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang