08

435 18 0
                                    

"Angkasa." Meisya merangkak duduk dipangkuan Angkasa, menyandarkan kening nya di dada bidang milik sang suami.

Angkasa menghela nafas, "ada apa, hmm?" ia mengelusi surai coklat panjang milik Meisya, menghirup aroma vanilla yang terlalu pekat.

"G-gue emang sedikit manja kalo lagi sakit, maklumin ya."

"Lo suka sama gue ya?" Angkasa bertanya sambil mengedipkan sebelah matanya.

Meisya melotot, "Mana ada?!" Ia berkata senewen.

Angkasa mencibir. Membiarkan Meisya bersandar pada dadanya.

"Lo lagi apa sih?" Meisya memperhatikan laptop yang masih menyala disebelahnya, "gue aja yang berprofesi sebagai penulis ga pernah tuh sesibuk lo."

"Jangan samain kerjaan gue sama karya sampah lo ya."

Meisya berdecih sinis, "yang penting gue punya bakat."

"Bakat segede upil aja bangga." Angkasa berkomentar sinis.

Meisya berguling ke sisi kiri, menarik selimut hingga ke leher, menyembulkan kepalanya dan melotot.

"Astaga, lo serem banget ya Tuhan." Angkasa tertawa kecil.

"Berisik!"

Angkasa melanjutkan pekerjaannya yang tertunda, mengetik dengan menggunakan kesepuluh jarinya dengan lincah.

Meisya memperhatikan jari-jarinya sendiri, walau mengaku penulis tapi tetap saja ia tidak bisa mengetik dengan sepuluh jari. Meisya biasa mengetik dengan dua jari saja, ia meringis dalam hati.

"Masih ada yang sakit?" Angkasa bertanya namun matanya tetap fokus pada laptop yang ada di pangkuannya.

Meisya terlentang memandang langit-langit kamarnya, "ga ada, cuma nanti pasti kerasa lagi seandainya ayah marah sama gue."

Sejenak Angkasa menahan nafas, meletakkan laptop dinakas dan melihat netra Meisya yang sedikit meredup. Ayah mertuanya memang sosok ayah terbaik tetapi seringkali termakan hasutan anak tirinya membuat Arfan sesekali kehilangan kontrol dalam berbicara pada anak kandung sematawayangnya.

"Sya-" Ucapan Angkasa terpotong saat mendengar teriakan dari lantai bawah.

Meisya terkekeh miris, "Udah saatnya deh." Ia turun dengan tergesa saat Ayahnya kembali meneriaki namanya.

Benar dugaannya, dibawah ada Ayahnya yang sedang diselimuti murka, Kaka tirinya menangis tersedu-sedu seolah hanya ia yang tersakiti.

Meisya tersenyum manis, "Kakak gapapa?"

Arfan menghampirinya dengan langkah lebar, menampar kencang pipi Meisya sampai membuat sang anak terbanting sampai sofa. "Ayah gak nyangka kalo kamu bertindak sejahat ini, Raya selalu bersikap baik sama kamu ini dan balesan kamu?"

Meisya berdecih, tetap tersenyum manis seolah menantang sang Ayah. "Berantem dirumah orang, apa ga malu?" Meisya memperhatikan mertuanya yang sedang menatapnya dengan tatapan iba, "ayo kita selesaiin semuanya dirumah Ayah." Meisya hampir mencapai tangan besar sang ayah, namun Ayahnya menepis.

"Ayah, tadi kak Raya yang nampar Sya. Tangan Sya juga patah. Sakit." Meisya menggumam pelan, menatap sendu wajah sang ayah.

"Berhenti bohong—"

"Aku gak bohong....."

"Kamu ga akan pernah bisa dipercaya." Arfan hampir menampar pipi Meisya sebelum tangan Aldebaran yang menahannya.

Air mata mengucur deras, ayahnya sendiri tidak mempercayainya. "Bunda aja gak pernah sekasar ini."  Meisya tampak linglung, Mama mertua mendekapnya.

ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang