21

353 15 3
                                    

"Aku yang membantu mu bangkit dari keterpurukan, tapi kenapa dia yang kamu jadikan tempat berlabuh?"

"Sya?"

Meisya menoleh, "hm?"

Bibirnya mengerucut, tangannya memeluk tubuh sang istri dari belakang. "Mau ma'em."

Meisya berusaha melepaskan diri dari pelukan Angkasa, "tunggu disana." Tangannya menunjuk meja makan.

Angkasa mulai menciumi leher Meisya mencari aroma menenangkan yang entah kapan menjadi candu baginya.

Meisya diam saja, matanya terpejam. Hatinya terasa hangat dan nyaman jika dekat dengan Angkasa.

Kegiatannya terhenti saat Zahra berdehem, Angkasa mulai melepaskan diri.

"Pagi."

Meisya tersenyum ogah-ogahan, bibirnya mencibir. Hilang niatnya untuk memasak.

"Aku bantu, ya?"

Meisya melotot, "enggak!"

Meisya berbalik, memeluk Angkasa dari depan dan berkata manja, "aku pengen masak sendiri, pengen makan yang asem-asem."

"Yaa bikin."

"Muka dia asem banget, aku jadi ilang selera." Meisya mengaduh saat Angkasa menepuk dahinya sedikit keras.

Angkasa memperhatikan Meisya lekat-lekat. Tangannya menarik Meisya menjauh. Perkiraan nya pasti tidak salah.

Meisya memasang wajah bingung saat Angkasa membawa nya kekamar dan mengunci pintu. Ia mesam-mesem membayangkan adegan selanjutnya.

Angkasa memegang pundak Meisya, cengkraman nya menguat, "jujur sama gue, kapan terakhir kali lo menstruasi?"

Meisya mendadak diam membisu, Meisya bergeming wajahnya pucat pasi. "Apa maksudnya?" ia masih berpura-pura baik-baik saja.

"Lo aneh."

"Gak boleh kalo gue manja sama suami sendiri?"

"Gak gini caranya!" nada Angkasa sedikit naik. Helaan frustasi dikeluarkan oleh Angkasa. "Kasian Zahra."

Meisya tersenyum masam, "Zahra terus, perduliin gue kapan?"

"Jangan ngalahin pembicaraan."

"Gak ada yang perlu dibicarain."

Angkasa menghela nafas, memegang pundak Meisya kemudian tersenyum manis. "Maaf."

"Apa disini dia hadir?"

Meisya menggeleng, menepis tangan Angkasa.

Angkasa sedikit tersenyum lega. Meisya menangkap semua ekspresi yang dikeluarkan oleh Angkasa.

"Bukan gue gak mau, tapi kalo bisa nanti dulu."

"Apa maksudnya?"

Angkasa duduk, menyugarkan rambutnya kebelakang. "Gue belum siap."

"Dengan tanggung jawab buat anaknya Zahra, itu yang namanya belum siap?"

Meisya terkekeh miris melihat takdirnya sendiri.

"Kenapa Aksa, kenapa?—"

Meisya mencengkeram erat kerah baju Angkasa, "gue yang bantu lo disaat terpuruk, kenapa dia yang dijadiin tempat berlabuh?"

Angkasa terdiam, menunduk sesal. "Maaf."

"Berhenti minta maaf, gak guna!" Meisya menampar pipi Angkasa.

Angkasa mengangkat wajahnya, tamparannya bahkan tidak terasa namun kenapa hatinya begitu teriris.

Meisya menangis sesenggukan, hidupnya kenapa selalu nelangsa seperti ini. Bukannya tidak bersyukur tapi ia kenyataannya masalah datang dengan bertubi-tubi.

Angkasa meraup wajahnya kasar, wanitanya menangis dihadapannya sendiri bahkan alasannya menangis adalah karena dirinya.

Angkasa menarik Meisya kedalam dekapannya, "maaf."

"Lo selalu bikin gue putus aja, Sya."

Meisya masih menangis, bahkan dekapan Angkasa tidak lagi menguatkannya.

Dalam hati terus berteriak meminta maaf pada calon buah hatinya, bahwa kehadirannya tidak diharapkan oleh orang tuanya.

Tapi Meisya tidak menyesal telah mengandung, menyentuh perutnya hati-hati, "maaf sayang." Ia bergumam pelan.

"Angkasa tolong." Pintunya diketuk kencang. Suara itu milik Zahra.

Meisya melepaskan diri, bergulung dengan selimut.

Angkasa membuka pintu, mengangkat sebelah alisnya tak paham.

"Mau rujak."

"Ayo."

"Gue tinggal dulu ya, Sya?"

Meisya mengangguk dalam diam, "aku juga bakal pergi dari kehidupan kamu, Aksa..." Meisya bergumam saat Angkasa mulai melangkah keluar.

*****

ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang