05

483 21 0
                                    

Aldebaran berkali kali menghela nafas, ia kembali dipanggil lagi kesekolah karena ulah si bungsu. Sesekali ia merasa lelah karena sikap Angkasa, namun bagaimana lagi? Angkasa seperti ini juga karena salahnya 'kan?

Mata yang selalu berkilat mengobarkan api terlihat amat jelas dari netra coklat nya. Ia tidak berani melarang karena jelas ia sadar siapa yang menyalakan kobarannya.

Aldebaran masih menjadi orang yang akan bersikap tegas, pasrah dengan perilaku buruk  sang bungsu hanya akan memperdalam kehancuran masa depannya sendiri. Tidak menyerah walau sering kali mendapat kesinisan dari si bungsu dan memilih mengalah.

Aldebaran menyesal, namun tak sekalipun ia mengeluh. Mengeluh tidak akan merubah apapun.

"Kamu jangan buat masalah lagi." Aldebaran menghela nafas berat, walau dulu menjadi orang tua yang buruk namun ia ingin anaknya tumbuh menjadi orang sukses.

"Apa hadirnya saya cuma jadi masalah buat anda?" Sarkas Angkasa.

Aldebaran terdiam, bicara dengan Angkasa membuat kepalanya pening. Bungsunya pintar membalikkan pertanyaan.

"Sekali kamu nurut sama orang tua apa salahnya?" sang kepala keluarga bertanya parau, sudah kehabisan cara agar anaknya kembali ke jalan yang benar.

"Saya ga akan mau dijadikan robot lagi." Angkasa mencibir, "sudah cukup dulu saya menuruti semua kemauan anda, saya dibuat dewasa sebelum waktunya saya terima, saya tidak boleh bersikap kekanak-kanakan bahkan disaat umur saya belum mencapai angka 5 saya terima."

Angkasa menahan nafas, "saya tidak ingin lagi melakukan hal sebodoh itu."

"Ka-mi." Aldebaran kehilangan kata-kata, jika Angkasa membahas tentang bodohnya ia dimasa dulu, maka ia akan mengaku kalah.

"Nak~" panggilan merdu dari sang mama Angkasa hiraukan.

"Kalo kamu kesel, kamu boleh pukul mama, kamu boleh caci maki mama, tapi jangan mukul orang sembarangan kaya gini lagi." Mia terisak, luka akibat kehilangan Askara masih basah, ia tidak sanggup jika putra yang lainnya ikut meninggalkan nya.

"Kalo aja dengan mukul orang bisa nyembuhin luka saya, akan saya bunuh semua orang yang ada di dunia buat nutup luka yang anda toreh."

"Cih!" Angkasa berdecih sinis.

Dadanya bergemuruh, ingin mengeluarkan semua emosinya. Angkasa memejamkan matanya erat, ia kesal setengah mati oleh orang tua nya.

Meisya mengelusi punggung Angkasa, membantu menenangkan. Takut Angkasa hilang kendali.

Angkasa berbalik, mencengkeram erat tangan kecil Meisya. "Sssh." Meisya meringis, tangannya sakit. Namun Meisya tidak mengeluh, tetap mengikuti bungsu Aldebaran yang dilanda kemarahan.

Angkasa menendang pintu rumahnya sampai engsel pintunya terlepas, ia sulit mengatur emosinya. Menutup mata dengan punggung tangan, ia berusaha mengatur nafas. Dadanya naik turun, ia bersandar di dahan pintu.

"Kenapa?" ia bertanya parau. Sedikit kehilangan cahayanya lagi.

Meisya membeku, ia takut menjawab, sekali saja salah menjawab Angkasa akan dibuat meradang.

"Angkasa~" Ia memanggil merdu, senyum kecil diperlihatkannya pada laki-laki yang sedang merasa hancur.

Meisya menuntun Angkasa untuk duduk di bangku yang berada dihalaman. Ia mengelusi rambut coklat gelap milik Angkasa, "aku ga akan nyuruh kamu buat maafin mereka jika seandainya luka yang kamu dapet terlalu sakit, tapi Sa apa salahnya buat Mandang mereka dengan hormat sedikit?"

"Mereka- emang pantes dapet hal kaya tadi." Angkasa menjawab dengan tegas, tidak ada keraguan untuk bencinya.

"Ang-"

"Jangan lagi, jangan ada benci gue lagi. Jangan tinggalin gue, jangan buang gue, jangan buat gue sendirian." Ia melirih, menyandarkan keningnya pada bahu sang istri.

Meisya meringis, berusaha tersenyum untuk menguatkan Angkasa.

"Aku gak akan ninggalin kamu, Angkasa~" Meisya meringkih, sedikit tidak yakin. Namun ia tetap berusaha.

Angkasa terkekeh, tidak ingin terbual lagi oleh ucapan yang dijanjikan orang lain. Berusaha menguatkan bentengnya agar tidak ada orang lain yang menyakiti.

Ia takut disakiti namun sering menorehkan luka ke orang lain. Ia takut untuk sendirian namun enggan jika harus berkumpul atau sekedar bertegur sapa dengan yang lain.

"Angkasa."

Angkasa tersentak kaget, ia melotot. "Jangan ngomong apapun lagi, muak gue!"

Meisya mendadak bungkam, Angkasa memang tidak tau diri. Yasudahla.

Angkasa selalu bisa merubah sikapnya dengan cepat, apa itu tidak akan menjadi masalah? Walau bagaimanapun juga trauma masa kecil dapat merusak masa depan seseorang, itu sebabnya 'kan orang tua maupun orang lain tidak boleh bersikap terlalu keras pada anak?

Angkasa mendapat perhatian yang buruk, perlakuan yang sesekali kasar, Apa tidak akan merusak mentalnya?

Parahnya, ia memilih bungkam. Tidak sanggup menceritakan kepedihan yang membuatnya terjebak dalam keputusasaan.

Meisya mengelusi kepala Angkasa, memperhatikan netra coklatnya. "Gapapa, sesekali cerita bisa kadang-kadang bisa bikin beban kamu hilang." Netra Angkasa memancarkan kepedihan yang amat menyakitkan, terjebak kesepian yang membuat si pemilik putus asa.

Angkasa diam saja memperhatikan, ada yang mau menangis untuk nya.

Untuk apa?

Meisya terlalu banyak memberikan nya harapan.

Angkasa memiringkan kepalanya saat tangan Meisya mulai turun, gadis itu menutupi wajahnya yang sedang terisak. "Kalo kamu cape, bagi bebannya sama aku. Jangan nyerah, kita bisa pikul sama-sama." Meisya mengatakan nya walau dengan wajah yang tertutup tangan mungilnya, isakan masih terdengar.

"Jangan nyerah, perjalanan kamu masih panjang." Ia mengatakan dengan tersendat-sendat.

"Hmmm."

Meisya menubruk badan kekar Angkasa, aromanya yang harum membuat Meisya menyadarkan keningnya pada dada bidang milik sang suami.

"Gara-gara gue lo jadi ga sekolah." Ia berkata sambil mengelus rambut Meisya, menenangkan gadisnya yang masih menangis seolah beban yang ditanggung Angkasa menjadi miliknya.

Meisya mengangkat wajahnya memperlihatkan mata sembabnya, "Gapapa, sekolah ngeribetin soalnya."

"Lagian sekarang lo jadi suami gue, gue bakal ada buat lo."

Angkasa terkekeh, "Manisnya-manisnya-manisnya istri gue."

"Paitnya-paitnya-paitnya suami gue." Meisya berucap kemudian mengaduh saat merasakan jitakan dikeningnya. "Kdrt Sa." ia melenguh saat jitakan kedua mendarat sempurna dikeningnya, lagi.

********

Oi, saya lagi pkl ni.

Tapi mager gitu, apalah daya si anak rebahan ini.

Dahla--

ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang