18

337 13 0
                                    

Meisya mengelusi pipi tirus nya, sudah satu bulan, ya?

Terkekeh miris, bahkan sekarang dia dan Angkasa hampir tidak pernah menyapa. Sekedar bertatap mata saja tak mampu.

Dirumah pun dia semakin kehilangan semangatnya. Tidak ada lagi Meisya yang ceria.

Mengurung diri dikamar seharian.

Terus menangisi takdir yang terus-menerus mempermainkan nya.

Meisya mencengkeram erat wastafel kamar mandinya. Wajahnya pucat pasi. Kenangan bersama Angkasa kembali hadir.

Meisya berkali-kali membasuh wajahnya, ia memuntahkan semua isi perutnya. Nafasnya sesak, ia kembali memuntahkan cairan bening.

Perutnya seolah di aduk-aduk. Sudah berapa hari dia seperti ini?

Kurang tidur dan kurang makan menjadikan nya berpenyakitan seperti sekarang.

Meisya hampir menangis saat mual kian menjadi-jadi. Tenaganya sudah habis. Terduduk lemas dilantai, tangannya meremas perutnya agar berhenti mual.

Kepalanya berputar, pandangannya memburam.

Meisya berusaha berdiri, ia tidak ingin pingsan dikamar mandi seperti drama-drama yang lain.

Tetap bersikukuh untuk mencapai gagang pintu, tubuhnya hampir jatuh jika saja tidak ada yang menahan.

"Ma?"

Mia menuntun Meisya ke kasur, disodorkan nya air. Meisya tersenyum, "terimakasih."

Mia mengangguk, duduk disebelah Meisya dan bergumam, "maafin Mama. Kalo aja Mama bisa tegas sama hubungan Angkasa pasti kamu gak akan terluka."

Meisya memeluk hangat Mama mertuanya, "gapapa. Selagi ada Mama disamping aku, aku gapapa."

Mia mulai menangis, "maafin Mama." Balas memeluk erat menantu nya. "Tapi jangan tinggalin Angkasa, dia cuma lagi salah jalan aja."

Meisya tersenyum getir, "doain aku semoga masih kuat, ya?" 

Mia menunduk, tangannya mulai mengelus perut rata Meisya, "disini, dia tumbuh 'kan?"

Meisya tertegun, "apa maksud Mama?"

"Kamu gak ngerasa?"

Meisya menggeleng, tangannya mulai turun. Matanya berkaca-kaca, "kenapa harus hadir?"

***

Angkasa tersenyum manis saat Zahra mulai mau memakan masakan yang dihidangkan olehnya.

Zahra ingin Angkasa yang memasak, ngidam katanya.

Angkasa menunduk, netra nya bertubrukan dengan mata Zahra. "Enak?"

"Selalu enak."

Kedua nya terkekeh, tidak menyadari bahwa ada seseorang yang memperhatikan dari kejauhan.

Meisya menelan ludah, hatinya bilang 'tidak' namun kakinya terus melangkah.

Percakapan keduanya terhenti saat Meisya ada dihadapannya. Tangan mungil Meisya menarik-narik baju Angkasa, "mau juga."

Dahi Angkasa berkerut, "mau apa?"

"Ma-"

Ucapannya terhenti, matanya berkaca-kaca lagi. "Ma-"

Meisya kian sesegukan, mulutnya ingin berkata namun hatinya tidak mengizinkan.

"Apa?" Angkasa mulai menghapus jejak-jejak air mata Meisya, "mau apa?"

"Mau makan." Meisya menunduk, "tapi masakan elo."  Cicitnya pelan.

Angkasa tertawa, mencubit kedua pipi chubby Meisya, "lucunya."

"Sha-khit."

"Iya, jangan nangis dulu." Angkasa membawa jemari Meisya kedalam genggaman nya, "ayo."

Meisya mengangguk antusias.

"Gendong."

Angkasa langsung berjongkok didepan Meisya, Meisya tersenyum malu-malu. Meisya melompat girang ke punggung lebar suaminya.

Angkasa meninggalkan Zahra sendirian, Zahra berdecak, "dasar plin-plan."

*****

Haiii gaisss...balik lg sama penulis cantik yang satu ini. Vote juga yaaaaaaaa!

Terimakasih.

Salam sayang, kiss. Umuah

ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang