BAB 01 : Sebulan yang Lalu

1.4K 65 0
                                    

Kilas Balik Sebulan yang Lalu.

Tepat di jalan raya saat lampu merah sedang menyala, mobil-mobil berbaris rapi di batas garis lurus berwarna putih di atas jalan beraspal. Cuaca yang terik membuat pemandangan di sekitar terang benderang. Beberapa pejalan kaki yang kelelahan, bersandar di bawah pohon perindang di samping trotoar.

Namun, suhu yang menyengat kulit serta polusi debu jalanan itu sama sekali tidak dirasakan oleh seorang ahli waris Sanders Group yakni Tuan Muda Ellen Sanders. Lelaki berusia 29 tahun yang gemar berpenampilan necis itu elok bersemayam sambil menyilangkan kaki di kabin limousine mewahnya. Jari lentiknya lincah menggeser layar gawai canggih produk masa kini. Sesekali senyum nakalnya menghiasi parasnya yang tampan. Bukan tanpa alasan lengkungan bibir itu terbit, melainkan karena sang tuan muda tengah asyik menyortir satu-persatu foto wanita yang muncul di layar gawai.

'Banyak sekali pemeran baru yang muncul di grup kencanku. Bocah Tengik, sebegitu legendaris kah aku? Hah!' kelakar Ellen pada dirinya sendiri.

Sengaja memperlihatkan kulit putih mulus dan seksi, para wanita itu juga dengan sukarela mengambil potret diri mereka sendiri dengan pose menggoda untuk dikirim ke grup kencan sang tuan muda.

Mereka melakukannya demi bisa berbincang, terlebih lagi berkencan dengan ahli waris perusahaan yang namanya sudah sangat terkenal seantero kota New York. Bahkan beberapa jam yang lalu, ada seorang selebgram papan atas yang menangis hanya karena ingin sang tuan muda sekadar menoleh padanya.

"Hhmm ... tidak ada yang menarik!" gerutu Ellen memalingkan wajahnya.

Bosan dengan pemandangan para wanita seksi itu, dia memilih untuk membuang gawainya ke bangku depan yang saling berhadapan di dalam kabin limousine. Lantas, pandangannya mengedar ke depan lalu tanpa sengaja menoleh ke kiri, tepatnya di sebuah restoran yang terletak di pinggir jalan.

Dari kejauhan mata jeli Ellen mendapati sosok gadis muda sedang bekerja mencuci piring di area dapur restoran yang sebagian dindingnya terbuat dari kaca. Memudahkan siapapun termasuk Ellen sendiri untuk melihatnya.

"Bagaimana bisa seorang wanita hidup hanya dengan mengandalkan gaji dari pekerjaan mencuci piring saja!" cibir Ellen lalu memalingkan pandangan sinisnya kembali lurus ke depan. Tidak mau membuang waktunya yang berharga.

Sekilas informasi tentang Tuan Muda Ellen Sanders. Dia adalah putra semata wayang dari pemilik perusahaan Sanders Group. Perusahaan multinasional yang berpusat di kota New York. Gurita bisnis perusahaan itu ada di dalam serta luar negeri.

Terlahir dari keluarga bergelimang harta, bahkan diyakini tidak akan habis sampai sepuluh turunan, membuat Ellen terbiasa mendapat apapun yang dia mau. Dia juga diperlakukan bak putra mahkota.

Setelah lulus dari Massachusetts Institute of Technology, Ellen dipercaya sang ayah untuk memangku jabatan tinggi di perusahaan. Sejak saat itu dia giat bekerja, membantu mengelola bisnis serta mengembangkan produk-produk. Buah pikir Ellen yang cemerlang ternyata berhasil meningkatkan mutu perusahaan dan membawa nama keluarganya semakin dielu-elukan.

Dengan penampilan eksekutif dan identitas mahal tersebut, tanpa bicara pun Ellen sudah bisa menaklukkan lawan jenisnya. Siapa yang tidak mengenal ahli waris Sanders Group itu? Pemilik sorot mata tajam, postur tubuh proporsional dengan tinggi menjulang. Mungkin Ratu semut pun juga tahu kabar ketampanannya.

**

"Tuan Ellen, ada undangan gala dinner untuk Anda," kata seorang pria dengan nada bicara yang ringan namun tetap profesional, berpakaian formal dan umurnya sebaya dengan atasannya. Dia adalah Deniz Floyd-asisten pribadi Ellen Sanders.

"Undangan gala dinner?" Ellen menoleh kartu undangan yang masih dipegang Deniz lalu sang asisten meletakkan kartu undangan itu ke atas meja kerjanya.

"Ya, Tuan. Ini adalah acara amal perusahaan Maxwell Group," tambah Deniz dan seketika memancing aura kecut di paras Ellen.

"Terima kasih, Deniz. Kau boleh pergi sekarang."

Deniz tidak menyahut, tetapi mengangguk hormat lalu pergi meninggalkan ruangan kerja atasannya.

Ceklek!

Derit pintu menguar sebentar saat ditutup rapat. Suasana menjadi hening sekarang. Duduk seraya menggoyang kursi pimpinan, Ellen melirik kartu undangan yang tadi diletakkan Deniz di atas meja kerjanya. Dia hanya sekadar melirik sebab tidak berniat sama sekali menyentuhnya.

"Hah! Aku terpaksa akan melihat Si Berengsek itu di sana!" Ellen gusar.

Sementara itu di restoran Fisherman tempat Azzalea bekerja, beberapa pramusaji wanita tengah berkumpul di ruang makan yang disediakan khusus untuk karyawan restoran. Termasuk Azzalea juga ada di antara mereka.

Hal yang mereka bicarakan adalah tentang salah satu pekerja yang ditugaskan di acara gala dinner hotel Maxwell tidak dapat hadir pada saat acara berlangsung. Jadi, Halsey-teman pekerja yang absen itu meminta bantuan kepada rekannya-siapapun yang bisa menggantikan.

"Bagaimana, mau tidak?" desak Halsey sambil mengedarkan pandangannya ke arah teman-temannya.

"Aku tidak bisa Minggu malam ini karena shift kerjaku masuk siang," sahut yang lain.

"Kalau kau bagaimana?" Halsey bertanya pada Azzalea.

"Hhmm ... kalau aku?" Azzalea sedikit bingung menentukan jawaban karena sebelumnya dia sudah punya rencana lain.

"Mau ikut tidak Minggu malam ini?"

"Kau saja yang ikut Azzalea. Kau tidak lembur dan juga bekerja di shift pagi. Jadi kau senggang malam harinya," timpal seseorang di samping Azzalea.

Azzalea melipat bibirnya hingga tinggal segaris. Ditatap dengan sorot mata menuntut oleh teman-temannya membuat gadis itu tidak punya pilihan selain mengiyakan.

"Baiklah, aku ikut. Shift kerjaku memang masuk pagi. Jadi sore hari, aku sudah pulang."

"Kalau begitu, aku akan memberitahu temanku agar mendaftarkan kita kepada panitia penyelenggara acara gala dinner Hotel Maxwell." Kali ini Halsey terlihat senang.

"Walaupun bekerja cuma satu hari, tetapi kudengar gaji karyawan seperti kita di sana cukup besar." Yang lain menambahkan.

"Tentu saja!" pungkas Halsey, "karena Hotel Maxwell adalah hotel besar. Siapapun berbondong-bondong agar dapat diterima bekerja di sana."

Azzalea tersenyum tipis menyimak percakapan rekan kerjanya. Dia memang bersahaja, tidak terlalu banyak bicara dan juga sederhana. Dia bahkan sudah bisa gembira hanya dengan melihat orang lain bahagia.

'Azzalea, Azzalea, engkau laksana kapas dan hatimu sehalus sutera.'

Sekilas informasi tentang Azzalea. Gadis muda itu berusia 22 tahun dengan rambut panjang sepunggung berwarna jerami. Pipinya bersemu kemerahan dan auranya tenang. Sejak kecil hingga berumur 17 tahun, dia dibesarkan di sebuah panti asuhan.

Mengenyam pendidikan seadanya. Itu pun adalah suatu keberuntungan bagi Azzalea yang mendapat beasiswa sebagai murid teladan serta kurang mampu. Hidup di panti asuhan sejak kecil membuatnya menjadi pribadi yang rendah hati dan suka menolong. Gemar berbagi dengan anak-anak lain sesama penghuni panti.

Azzalea juga tidak banyak bergaul dengan orang-orang di luar lingkungan tempat dia dibesarkan. Jumlah temannya terbatas dan pengalaman hidupnya minim. Setelah memilih untuk keluar dari panti asuhan demi belajar hidup mandiri, Azzalea muda tinggal di sebuah apartemen yang sangat sederhana dengan biaya murah.

Dia mencoba melamar pekerjaan di beberapa toko yang ada di pusat kota New York, tetapi hanya restoran Fisherman ini yang mau mempekerjakannya. Azzalea pun ditempatkan di bagian kebersihan, lebih tepatnya sebagai pencuci piring. Profesi itu dia lakoni dengan hati ikhlas dan tetap bersyukur. Berpikir setidaknya dia tidak menganggur dan juga dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Jikalau sedang libur, Azzalea suka datang ke panti asuhan tempat tinggalnya dulu. Membawa camilan ringan untuk diberikan kepada anak-anak lain sebab baginya mereka semua adalah keluarganya.

***

BERSAMBUNG...

Umpan Sang Penguasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang