Lucu

23 5 0
                                    

Saat itu sudah berlalu beberapa hari setelah kejadian lambai tangan di kantin.

Hari ini mata pelajaran terakhir Bahasa Indonesia. Tugas menumpuk, karena Bu Sae Ron sedang ada urusan. Katanya sih sebentar tapi, sudah 30 menit berlalu.

Akhirnya, tugas-tugas ini selesai. Seisi kelas mulai berhamburan dari tempat duduk masing-masing.

"Eh, kelompoknya gimana nih?" Ucap spontan kami jika ada tugas berkelompok yang mengharuskan membeli bahan atau membuat sesuatu.

"Tema puisinya tentuin dulu lah baru bisa buat" kata Na Ra

Kami terbagi menjadi dua kelompok, masing-masing beranggotakan 4 orang. Pas dengan jumlah kami yang berdelapan.

Aku kebagian kelompok dengan Min Dae, Ji Ri, dan Ryu Hee. Kami berencana membuat puisi tema kehidupan yang nantinya kesemuanya akan dikumpulkan dan dijadikan satu portofolio.

Sebagian kelompok masih saja bingung dengan prosedur membuat tugas ini. Sampai bel pulang sekolah berbunyi, kami pun berencana akan menemui Bu Sae Ron setelah selesai untuk bertanya soal ini.

"Bu Sae Ron di mana sih?" Tanya Na Ra

"Coba cari di ruang guru" balas Soo Ra

"Emang udah pulang?" Tanya Na Ra lagi

"Udahlah ya masa belum" balas Soo Ra lagi

Kami pun berjalan bersama ke ruang guru tapi, belum sampai di sana kami sudah bertemu Bu Sae Ron yang sepertinya baru tiba dan istirahat sebentar di ruang guru.

"Bu, mau tanya soal puisinya. Itu dijadiin satunya itu natanya gimana ya bu?" Tanya Na Ra mewakili.

"Itu kan dijadikan satu nah bisa lembar pertama pusi karyamu yang lembar kedua karyanya Soo Ra misal yang ketiga punya Ae Ra trus Hyo Rin" jelas Bu Sae Ron

"Oh jadi, ngga harus puisiku dijadiin sendiri puisiku gitu ya bu"

"Iya biar engga bosan juga biar kesannya beragam"

Aku hanya menyimak dan mengangguk menyetujui. Sambil mataku melihat-lihat sekitar karena saat perjalanan ke sini tadi, aku tidak sengaja melihat ke arah lapangan yang habis di gunakan untuk latihan baris- berbaris yang tentunya ada Park Jimin.

Aku terus mengamatinya sampai di sini, di depan Bu Sae Ron. Dia berjalan hendak kembali ke kelasnya melewati taman. Saat ia sampai di dekat kami yang bergerombol, dia berhenti bingung karena melihat Bu Sae Ron.

Bu Sae Ron tidak melihatnya karena membelakanginya, tapi aku bisa melihatnya. Betapa lucunya dia saat bimbang ingin bersalaman atau lanjut berjalan kembali ke kelasnya.

Mungkin karena melihat kami yang banyak makanya dia malu dan berjalan kembali menuju kelasnya.

Aku yang menoticenya tertawa "Hey itu, ngapain itu mau ke sini malu ya?" ucapku pelan. Walau pun dia tak mendengar mungkin tapi aku spontan mengucapkannya.

"Siapa? Oh Jimin" ucap Ryu Hee

"Jung Kyung ih ngga fokus malah liatin Jiminnn terus" omel Ji Ri

"Ya maaf habisnya keliatan"

"Keliatan apa memang sengaja ngelihat, hmm" tebak Hyo Rin yang memang benar adanya.

Aku hanya menyengir lebar sambil menggaruk belakang kepalaku yang entah kenapa tiba-tiba gatal.














Selesai pelajaran kami pun diperbolehkan untuk pulang ke rumah.

Kami pun pulang setelah membuat jadwal untuk kerja kelompok besok. Aku pulang lebih awal hari ini, karena jemputanku sudah menunggu.

Aku segera naik dan beranjak meninggalkan kerumunan orang-orang di depan gerbang samping ini. Namun, begitu sampai di gerbang depan kami sudah di hadang macet yang cukup panjang.

Aku menghembuskan nafasku kasar. Padahal hari ini tugas sedang banyak-banyaknya dari guru kenapa malah macet, menyebalkan. Kualihkan pandanganku ke arah jendela menghadap gerbang depan.

Mataku membulat sebab melihat sosok pria di sana, siapa lagi kalau bukan Jimin. Satu-satunya pria yang dapat membuatku tersenyum hanya dengan mendengar namanya saja.

Susah payah kuteguk ludahku. Tidak habis pikir akan melihat Jimin dengann jarak sedekat ini. Ingin sekali kubuka jendela ini dan menyapanya tapi apa dayaku.

Sialnya jendela ini kurang gelap jadi dia bisa saja melihatku dari sana. Tapi tidak mungkin juga dia lihat, toh dia sedang asik dengan ponsel di genggamanya sambil duduk lesehan di depan gerbang seperti gembel saja tapi yang ini gembel tampan.

Merasa tidak ada yang akan melihat, kuputuskan untuk terus memandanginya sambil menunggu macet reda. Ternyata, dari jarak sedekat ini Jimin jadi lebih tampan.

Kulitnya yang mulus tanpa cela dan garis rahangnya yang keras sungguh tidak bisa diabaikan.

Namun, cukup lama memandanginya sepertinya ada yang aneh. Di sebelahnya, ada orang yang sialnya sepertinya daritadi juga terus memandangiku yang sedang memandanginya dengan senyum idiot yang siapapun akan takut melihatku jika seperti itu.

Sejenak aku bersitatap dengannya, aku kenal dia. Choi Yeo Dam,dia temannya Jimin saat masi duduk di kelas 10. Dari mana aku tahu? Tentu saja, jangan remehkan kekuatan gadis yang sedang jatuh cinta dengan seseorang, pasti dia akan mencari tahu segala hal tentang pria pujaanya itu sampai ke akar-akarnya.

Kualihkan pandanganku karena sudah tidak kuat menahan malu akibat tertangkap basah sedang fangirling dengan wajah tampan Park Jimin.

Aku hanya bisa tersenyum kikuk sambil bergantian menatap jalan raya di sebelah, Yeo Dam, dan Jimin sialan yang makin tampan saat dia mendongak ke atas, mengibaskan rambutnya sambil menutup matanya.

Apa-apaan tadi!

Mataku membelalak kaget melihat itu. Meneguk ludah susah payah akibat ulah kurang ajar Jimin yang membuatku menahan napas cukup lama.

Untung saja mobil-mobil ini berjalan di saat yang setengah tepat. Tepat bagi kesehatan jantungku yang tidak akan kuat jika masih diam di sana, tidak tepat karena Jimin entah kenapa menjadi semakin tampan ditambah lagi aku belum pernah melihat ada orang frustasi, kalah bermain game yang setampan dirinya tadi.

Aku seperti melihat malaikat yang turun tepat di hadapanku. Ah, sudahlah aku sudah gila. Lebih baik aku pulang dan mengerjakan setumpuk tugas di rumah.

Anggap saja yang tadi sebagai penyemangat untukku nugas di rumah. Terima kasih Jimin kau penyemangatku. Senyumku tak henti-hentinya merekah sampai di rumah.

"Kyung.., kamu kenapa senyum-senyum?" Tanya ibuku bingung.

"Oh, eomma itu tugasnya ada cerita bagusnya ada pangeranya aku lagi bayangin hehe" jawabku kikuk.

Ibuku hanya mengangkat alis sambil berlalu meninggalkanku menuju ruang keluarga. Aku tersenyum mengamati langkah ibuku sampai akhirnya, kutundukkan kepalaku ke meja "Aish, bisa gila aku gara-gara Park Jimin" gumamku sambil menghentakan kakiku acak, frustasi.


















Annyeong~💕

Gimana readers?
Masih setia nunggu Not Bad kan hehe..

Jangan lupa vote dan commentnyaya.. supaya aku semakin semangat nulis Not Bad nya..

Salam hangat #author😆

To be continued

NOT BAD [PJM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang