Part (8) Siapa pelakunya?

68 13 18
                                    

"Orang menangis bukan karena mereka lemah. Tapi, mereka menangis karena telah berusaha kuat dalam waktu yang lama."

(Diary Asma)

Jangan lupa vote, komen dan share jika kamu menyukai cerita ini 👍

Happy reading ❤️

"Eh, kamu tau enggak? Nisa sama Bagas kecelakaan," ucap seorang gadis yang duduk di belakang Dinda.

"Loh, kok bisa?" tanya gadis satunya lagi.

"Iyah, katanya ada yang nyabotase mobil Nisa. Padahal Nisa tuh orang baik, tapi ada aja yang iri sama dia," tutur gadis itu masih tak menyangka.

"Iyah, benar katamu. Dia itu ramah banget sama semua orang, aku aja enggak percaya kalau ada orang yang iri sama dia. Karena yang aku tau, dari kelas sepuluh sampe sebelas baru kali ini ada kejadian kayak gini." Gadis yang mendengar itu tampak mengangguk menyetujui apa yang dikatakan temannya.

Ucapan mereka berdua terpotong ketika melihat kedatangan Asma dan Afnan. Setelahnya mereka tidak melanjutkan obrolan mereka. Dan kembali melanjutkan langkahnya ke kelas masing-masing.

"Kenapa bukan si Asma yang celaka, sih! Padahal Nisa sama Asma kan mau ke toko buku, kok jadinya yang celaka si Nisa sama Bagas?" batin seseorang, ia menatap cemburu Afnan yang bersikap hangat ke Asma.

Ia tersenyum meremehkan, kemudian gadis itu kembali berucap tanpa suara, "Mungkin kemarin kamu bisa selamat dari maut, tapi jangan harap aku bakalan tinggal diam saat lihat kamu bahagia. Aku akan selalu berusaha buat kamu menderita, karena siapa pun yang mengganggu milikku maka mereka akan hancur. Camkan itu!"

****

Nisa dan Bagas kembali bersekolah setelah hampir tiga hari mereka dirawat di rumah sakit. Keduanya hanya mengalami beberapa luka dan syok saja setelah kejadian itu.

Kecelakaan yang mereka alami sedang diselidiki oleh pihak yang berwajib, karena ada sesuatu yang janggal dari kejadian ini. Ayah Nisa membawanya ke jalur hukum, sebab ia tak terima dengan apa yang dialami sang putri.

"Asma," panggil gadis itu ketika melihat sahabatnya yang sedang membaca buku di kursi panjang depan kelas.

"Ya ampun, Nisa!" Mereka berdua lagi-lagi berpelukan, memang kedua gadis itu jika bertemu pasti selalu berpelukan. Dan sepertinya pertemuan mereka tidak sempurna tanpa pelukan.

"Gimana keadaan kamu? Udah enakkan?" tanya Asma lagi yang langsung diangguki sang sahabat.

"Udah, kok. Agak pusing dikit, aja," balasnya. Nisa mengajak sahabatnya itu masuk ke kelasnya, Asma pun hanya mengangguk dan mereka kemudian berjalan beriringan seraya berbincang-bincang.

Sedangkan di belakang mereka, Bagas berjalan mengikuti kedua gadis itu. Lelaki bertubuh tinggi besar itu berjalan agak terpincang-pincang, karena luka di lututnya yang masih basah.

Afnan melihat Bagas dari kejauhan, ia yang baru saja keluar dari kamar mandi pun segera menghampiri lelaki itu. "Gimana luka lo?"

"Lo bisa lihat sendiri, kan?" balas lelaki itu malas sambil memutar bola matanya jengah. Sudah tahu masih pincang seperti ini, masih saja bertanya. Dasar.

"Oh."

"Woi, bantuin ngapa!" Afnan yang sudah berjalan duluan sontak menoleh ketika mendengar ucapan Bagas. Ia terdiam beberapa saat, menatap sang sahabat dalam.

Tanpa mengatakan apa pun, Afnan berjalan meninggalkan Bagas sendiri. "Woi!!" teriak Bagas emosi, sahabatnya itu bukannya membantu malah meninggalkannya sendiri.

"Dasar teman lucnut!"

"Bodo amat," ujar Afnan yang sudah jauh di depan sana, tetapi masih didengar Bagas.

Bagas semakin emosi mendengar balasan Afnan, lelaki itu melempar sepatunya ke arah sang sahabat. Tetapi keberuntungan masih berpihak di Afnan, sepatu Bagas malah mengenai guru laki-laki berbadan kurus yang baru saja muncul dari lorong kelas sepuluh.

Bagas langsung berbalik badan seraya menahan napasnya, sudah bisa dipastikan ia akan berakhir di mana jika membuat masalah dengan Pak Siswanto. Kepalanya kembali berdenyut nyeri, ia menyesali perbuatannya sendiri yang bodoh itu. Harusnya tadi ia tak melempar sepatu ke Afnan.

"Kenapa harus kena Pak Wanto, sih! Emang dasar si Afnan lucnut!" decak Bagas, lelaki itu menyengir seraya berbalik badan. Lelaki itu melihat wajah gurunya yang sudah memerah padam menahan amarah.

"Bagas!" pekik Pak Wanto murks, ia berjalan cepat menghampiri siswanya seraya membawa sepatu yang mengenai kepalanya tadi.

"Ampun, Pak. Saya enggak sengaja tadi, Pak." Bagas menangkupkan kedua tangannya, ia memohon ampun agar bisa terbebas dari hukuman yang sudah siap menunggunya.

Afnan memutar bola matanya, ia malas berurusan dengan guru berbadan kurus itu. Lebih baik sekarang ia masuk ke kelas dan mengikuti kegiatan belajar mengajar yang sebentar lagi dimulai.

Membiarkan Bagas yang berseteru dengan Pak Wanto, salahnya sendiri siapa suruh membuat masalah dengan guru itu. Sekarang ia kena batunya sendiri, kan? Mampus!

"Ayok ikut saya ke ruang BK! Kamu itu sekolah untuk diajarkan sopan santun, bukan malah bersikap semena-mena kepada guru!" ucap Pak Wanto.

"Tapi--"

"Enggak ada tapi-tapian! Ayok cepat ikut saya! Atau mau saya tambahin lagi hukumannya?" Bagas gelagapan, ia tak mau berurusan lebih lama dengan guru killer itu. Padahal ia baru saja sembuh, baru datang saja sudah dapat hadiah penyambutan seperti ini.

"Pelan-pelan, Pak. Kaki saya masih sakit, saya kemarin habis kecelakaan, Pak." Guru berbadan kurus itu menatap ke arah kaki anak muridnya sejenak, lalu mengangguk.

"Jangan banyak alasan kamu, ya! Nanti saya tambahi lagi hukuman kamu!"

"Ya ampun, saya enggak bakalan lari, Pak. Saya jalan aja udah susah banget, boro-boro bisa lari," protes Bagas ke gurunya.

"Eh, berani kamu protes ke saya! Mau saya jemur di lapangan?" tegur Pak Wanto, guru itu berjalan meninggalkan Bagas sendiri.

"Ya enggak lah, Pak. Saya mana berani sama Bapak. Ngelihat Bapak aja, udah merinding." Bagas kembali terkekeh, kemudian berjalan tertatih mengikuti langkah sang guru.

"Sudah jangan banyak bicara kamu! Ayok, ikut saya."

"Iyah sabar, Pak!"

****

To be continued ....

Salam hangat ❤️

Dwi Nurmalasari

Ig : dwinurmalasary28

Diary Asma (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang