Part (18) Sendiri

42 6 10
                                    

"Pada akhirnya kita akan ditinggalkan, orang yang selalu ada pun akan pergi. Tugas kita hanya merelakan, karena melepaskan jauh lebih melegakan dibanding memaksa."

(Diary Asma)

Jangan lupa vote, komen dan share jika kalian menyukai cerita ini 👍

Happy reading ❤️

Asma menangis sendiri di taman belakang sekolah, tidak ada satu pun temannya yang mau berteman dengannya lagi. Ia dicap sebagai pelakor, padahal kenyataannya tidak seperti itu. Ia hanya korban fitnah, padahal waktu kejadian itu tidak ada siapapun di sana. Namun kenapa bisa foto itu menyebar? Dan siapa yang menyebarkan?

Tidak ada satupun teman yang mau membelanya, bahkan kekasihnya sendiri lebih memilih bersama orang lain daripada dirinya. "Cobaan apa lagi ini Tuhan? Aku lelah, jangan kau tambahkan terus cobaan ke hidupku ini."

Jam pelajaran sudah mulai hampir 20 menit yang lalu, tetapi Asma masih tetap di bangku taman sekolah. Ia hanya ingin menyendiri, gadis itu lelah jika harus mendapat cacian dari teman-temannya.

"Asma." Asma langsung menoleh ketika mendengar namanya disebut.

"Bagas," cicit gadis itu.

"Maafin aku, Ma. Aku--"

"Stop! Aku lagi pengen sendiri, aku lagi nggak mau denger masalah itu lagi. Lebih baik kamu pergi aja! Daripada nanti Nisa lihat, malah nanti dia makin salah paham. Aku nggak mau dicap cewek perebut pacar sahabatnya sendiri!" sela Asma cepat.

"Tapi, Ma. Aku beneran minta maaf, gara-gara aku ini semua terjadi."

Asma menghembuskan napasnya pelan, ia kemudian berdiri dan meninggalkan Bagas sendiri di sana tanpa mengatakan sepatah kata pun.

"Aku emang bukan sahabat yang baik untuk kamu, Ma. Harusnya aku bantu permasalahan kamu, bukan malah nambah masalah," batin Bagas, ia hanya bisa menatap punggung Asma yang semakin jauh darinya. Ia tak berniat mengejar atau menahannya, ia juga menghargai keputusan gadis itu.

***

Bel pulang berbunyi menggelegar ke seluruh ruangan di sekolah. Asma berjalan pelan, ia harus memastikan guru sudah keluar dari kelasnya. Tidak mungkin ia datang didetik-detik jam terakhir, bisa-bisa ia malah dihukum lagi.

Saat memasuki kelas, sudah tidak ada siapapun di sana. Asma segera mengambil tas dan membawa setumpuk buku paket di lacinya. Ia melirik sebentar bangku kosong di depannya, bangku yang dulu ditempati Afnan.

"Kenapa takdir nggak pernah berpihak ke aku? Kenapa saat kebahagiaan datang, duka selalu mengikut di belakangnya? Aku juga mau bahagia," ucap gadis itu lirih.

Ia bergegas keluar dari kelas, percuma juga ia menyesali semuanya. Takdir ini sudah tak dapat diubah lagi, gadis itu selalu meyakinkan di dalam hatinya. Skenario-Nya lebih indah, dibanding rencananya.

Baru saja kakinya menapak lantai koridor, bau busuk langsung menyergap hidungnya. Saat ia mendongak, telur busuk sudah bersarang di atas kepalanya. "Gimana? Wangi, kan?"

"Iyah, bau-bau pelakor," ucap Dinda sinis.

Asma menatap 3 orang di depannya. Ada Dinda, orang yang selama ini ia anggap baik. Dilla, teman kelasnya yang sangat membenci hubungannya dengan Afnan. Dan masih ada satu orang lagi yang tidak pernah Asma sangka sebelumnya, Nisa sahabat dekatnya. "Aku kira kamu orang baik, Din. Ternyata kamu sama aja kayak yang lain, busuk!"

"Di rumah nggak punya kaca? Lebih busukkan mana yang nikung sahabatnya sendiri?" balas Dinda, Dilla yang mendengarkannya pun tertawa meremehkan.

"Lebih busuk mana, yang diam-diam nyium pacar sahabatnya sendiri?" Dilla ikut bersuara, semakin membuat Asma geram.

"Busukkan mana yang nusuk sahabatnya sendiri?" Ucapan Nisa terdengar sangat dingin. Asma yang semula menatap dua temannya, kini menatap sahabatnya. Air matanya kembali menetes ketika mendengar ucapan sang sahabat.

"Aku nggak suka sama Bagas, Nis. Kamu cuman salah paham," jelas Asma. Gadis itu hendak meraih tangan Nisa, tetapi dengan keras Nisa menepis tangan Asma.

"Udah ada bukti masih aja ngelak! Namanya maling itu nggak pernah ngaku, kalau dia ngaku udah penuh tuh penjara." Dinda dan Dilla tertawa, sedangkan Nisa hanya menatap Asma dalam. Sebenarnya dalam hati kecilnya ia tak mau melakukan ini semua ke Asma, tetapi ia juga kesal dengan apa yang dilakukan Asma padanya. Sakit masih mendominasi rasa di hatinya.

"Nis, tolong kamu percaya sama aku. Aku nggak mungkin nusuk kamu dari belakang," ujar Asma, ia terduduk bersimpuh menatap sahabatnya sudah tak mau lagi menatap wajahnya.

"Di sini bau banget, ya?" Dinda menyela ucapan Asma, ia tak mau nanti jika lama-lama di sini Nisa nanti malah terpengaruh ucapan Asma.

"Iyah, nih. Bau-bau pelakor!" Mereka bertiga meninggalkan Asma sendiri, Nisa sangat ingin membantu sahabatnya. Tetapi rasa kecewa dan sakit hati itu masih ia rasakan, apa ia salah jika bersikap demikian?

Asma terduduk menangis di lantai koridor yang sepi, sudah tidak ada siswa atau guru yang ada di sana. Karena bel sudah berbunyi sejak 30 menit yang lalu. Tanpa gadis itu sadari, ada seseorang yang mengintipnya dari balik tembok. "Maaf aku nggak bisa bantu kamu sekarang, Ma. Aku akan cari bukti biar kamu terbebas dari Dinda."

Orang itu terus memperhatikan Asma saat gadis itu mencoba berdiri dan mulai melanjutkan langkahnya untuk pulang. Ia juga kasihan melihat Asma seperti ini, tetapi ia harus menjalankan rencana ini sampai akhir.

"Aku akan cari bukti-bukti secepatnya, aku nggak kuat lihat kamu kayak gini terus," batin orang itu. Ia juga melanjutkan langkahnya saat melihat Asma yang sudah hampir sampai di gerbang pintu depan.

****
To be continued ....

Salam hangat ❤️

Dwi Nurmalasari

Ig : dwinurmalasary28

Diary Asma (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang