xii

77 11 9
                                    


"Bagaimana kau bisa datang dan pergi sesuka hatimu?"

Aku tidak tahu apa ada yang salah dengan nada bicaranya, namun bisa kurasakan bahwa beliau terlihat sangat marah.

Ibu panti berdiri di belakang pagar agak jauh dari tempatku, mengedarkan pandangan tajam yang mampu menusuk ulu hati.

Aku hanya bisa menunduk. Sejak awal hubunganku dengan beliau memang tidak baik.

Kudengar semak-semak yang diinjak kasar semakin dekat menyapa rungu. Kemudian presensinya berada tepat dihadapanku.

"Lukamu sudah sembuh, kan?"

Kepalaku terangkat. Kujawab pertanyaan itu dengan dua anggukan pasti.

"Rumah ini bukan tempat penampungan untuk gelandangan sepertimu, nak. Tolong pergi sejauh yang kau bisa, kalau perlu jangan kembali. Di sini bukan tempat meminta-minta makanan."

Tenggorokanku tercekat. Dadaku sesak seperti dihantam besi tumpul.

Orang yang saat ini berbicara dihadapanku adalah orang yang paling  ku segani di rumah itu. Tapi bagaimana bisa beliau memperlakukanku seperti ini? 

Mengusirku seperti binatang, menganggapku seperti sampah, bahkan limbah yang mestinya dibuang.

Harga diriku benar-benar diinjak.

Apa pantas orang tua berucap begitu?

Y.O.U | Kth √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang