Setelah mengeluarkan mie instan dan telur di kantong plastik, aku menatanya dengan rapi di lemari pendingin. Saat pekerjaanku sudah selesai, aku buru-buru meninggalkan dapur dan ingin pergi tidur.
Namun saat aku berjalan melewati beberapa kamar yang dikhususkan untuk perempuan, samar-samar aku mendengar sebuah percakapan. Suara itu aku mengenalnya, kemudian suara berat lainnya menimpali. Aku juga kenal suara itu.
Yeora dan Seokjin.
Aku tahu mungkin tindakanku lancang. Menguping pembicaraan orang di luar pintu memang tindakan tercela.
Kendati ini tentang Yeora, aku tidak bisa abai begitu saja. Perempuan itu sudah menjadi segalanya bagiku. Entah sejak kapan tepatnya.
"Aku sudah siapkan air hangat," Kedua mataku membola. Itu suara si pria.
"Terima kasih."
"Kau terlihat kelelahan Yeora,"
"Ini hari Sabtu, tentu saja banyak pelanggan. Mereka terus datang bergerombol, sampai kupikir antrean itu tidak akan habis."
"Kau tidak harus bekerja seperti ini Yeora. Omongan ibu panti, jangan terlalu dimasukkan hati."
"Tapi ini bukan hanya soal V."
Telingaku semakin tajam karena mereka menyebut namaku.
"Aku sering membawa beberapa anak jalanan untuk menetap di sini. Kau tahu kenapa? Karena mereka dilahirkan tidak beruntung. Sudah sebesar itu tapi masih terlunta-lunta di jalan. Seokjin, meskipun aku tak bisa merubah dunia, setidaknya hanya itu yang bisa kulakukan. Mereka itu pintar, berbakat, namun di sia-sia kan. Mungkin dulu aku hanya membawa mereka tanpa berpikir panjang. Tapi sekarang mereka adalah tanggung jawabku. V juga tanggung jawabku. Karena aku sudah membawa dia masuk ke dunia kita."
"Yeora-ku memang berhati peri."
"Jangan peluk, aku berkeringat!"
Dan pemandangan itu terjadi. Di mana kedua mataku menangkap Yeora dan punggung Seokjin sedang bercumbu di atas kasur. Melalui celah pintu, mereka saling melumat satu sama lain dan memejamkan mata. Semakin lama semakin panas.
Panas.
Hatiku lebih panas.