xxi (End)

205 4 3
                                    


Hyojo side

Aku jadi ingat perkataan Guru Song saat mengajar di depan kelas ketika aku masih duduk di bangku sekolah menengah. Beliau pernah mengatakan bahwa, jadilah wanita berkualitas agar dicari lelaki. Sebab kodrat wanita hanyalah menunggu dan dicintai.

Tapi jika ku pikirkan kembali, semua yang dikatakan memang benar adanya. Malapetaka bagiku yang memilih untuk  memberanikan diri tetap mencintai V yang jelas-jelas hanya menaruh hati pada Yeora.

Aku menyadarinya sejak lama tentu saja.

Caranya memperlakukanku dengan Yeora sungguh berbeda. Gestur tubuhnya, tatapan matanya, bahkan kelopak matanya akan berkedip cepat  saat ia tengah gugup atau sedang berbicara dengan Yeora.

V memang tak pernah mengatakan apapun, tapi matanya menjelaskan segalanya.

Aku menghembuskan napas berat seiring dengan tetesan air hujan yang meluruh membasahi luar jendela mobil. Aku sudah seperti ini sejak keluar dari pesta yang sudah membuat mood-ku berantakan.

Aku bahkan tak memakan atau meminum apapun dari sana setelah memberikan undangan pernikahanku pada Yeora. Wanita itu tampak bahagia dan berjanji akan datang. Namun hati kecilku berteriak bahwa ketidakhadiran Yeora sangat kuinginkan.

Kurasakan sebuah sentuhan hangat merangkum pergelangan tanganku yang dingin. Kemudian aku melihat bagaimana tangan besar itu bersinggungan dengan milikku yang mungil.

"Kenapa, V?"

Aku mengalihkan pandangan, menatapnya yang fokus menyetir. Cahaya minim dari dalam mobil membuatku tak mampu melihat keseluruhan wajahnya dengan jelas.

V berpaling dan bertanya 'mengapa' tanpa suara. Aku bisa menangkap pesannya dari bola mata itu, bahwa ia sedang menghawatirkanku. Mungkin diamku sedikit mengusiknya.

"Aku baik-baik saja." Ku genggam tangannya. Ku pandangi bagaimana benda melingkar itu tersemat di jari manisnya dan juga milikku. Sebuah lambang yang mengikat hubungan kami.

"V?"

Aku kembali menatapnya, "Setelah kita resmi menikah nanti, aku ingin melanjutkan sekolahku? Aku tertarik dengan pendidikan inklusi. Bagaimana menurutmu?"

Ia menatapku sejenak, lalu tersenyum teduh dan mengangguk setuju seperti biasanya.

"V?"

Aku menarik napas berat, tak sampai hati bila harus mendengar jawabannya yang mungkin tak selaras dengan yang kuinginkan.

"Apa kau benar-benar mencintaiku?"

Aku menunduk tak berani menatap wajahnya. Sepenuhnya sadar dengan ucapanku karena sesungguhnya pertanyaan itu berasal dari lubuk hatiku. Entahlah, aku hanya ingin bertanya begitu karena aku mulai ragu dengannya.

Keraguan itu mulai muncul saat V menyetujui untuk menghadiri pesta ulang tahun anak Yeora. Jujur aku sedikit kecewa. Hal itu terus mengganggu pikiranku tanpa berhenti bahkan sampai hari ini tiba.

Sudah kubilang, V mungkin bisa menutupi kebohongannya dengan segala tindak-tanduknya. Tapi matanya menjelaskan semuanya. Aku tahu, V masih menyimpan rasa itu. Kusimpulkan demikian karena hari ini juga  kutemukan jawabannya.

Mobil yang kutumpangi langsung bergerak cepat pada sisi kiri dan berhenti di tepian jalan, sedangkan hujan jadi semakin lebat.

V menarik daguku untuk diarahkan padanya. Sorot mata itu terlihat bingung. Ia mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu dari sana.

Ada apa Hyojo?

Aku menggeleng pelan setelah membaca pesannya pada layar ponsel.

V sedikit menarik pergelangan tanganku untuk mengalihkan perhatianku, membuat tubuhku sedikit agak condong padanya. Aku kembali mendongak menatapnya walau kurasa tenggorokanku sudah sangat kering.

V memindai kedua mataku bergantian seakan menginginkan penjelasan lebih.

"Aku hanya merasa bahwa hari ini kau tidak seperti biasanya. Kau berbeda, aku—"

"—Aku pikir kau masih belum melupakan Yeora, V. Kau belum sepenuhnya melupakannya. Kau—"

Aku tak mengerti mengapa ucapanku semakin berbelit. Mataku rasanya perih, sedangkan wajah V sudah sepenuhnya mengabur dalam pandanganku. Segera kusembunyikan kembali wajahku sebelum air mata ini  benar-benar tumpah.

"—maafkan aku. Aku tak seharusnya mengatakan hal seperti ini disaat pernikahan kita sudah tinggal menghitung hari. Aku hanya takut, V. Takut kalau kau tiba-tiba berubah pikiran. Takut kau pergi meninggalkanku dan berlari pada Yeora. Takut jika kau mungkin sudah tak mencintaiku lagi. V? Kumohon jangan pergi. Aku sudah terbiasa denganmu. Aku tak mungkin dengan yang lain. Harus kau orangnya."

Napasku tercekat. Aku menangis.

"Maaf aku sempat meragukanmu. Aku hanya—"

Kedua mataku seketika membesar saat V menarik kepalaku hingga tak ada jarak di antara kami. Aku hanya bisa melihat kelopak matanya yang terkatup serta bulu matanya yang lebat dan panjang.

Kurasakan bibir lembutnya menempel pada milikku. Permukaannya terasa lembab dan basah. Ranumnya mulai bergerak malu-malu setelah menempel agak lama. Melumat bibirku pelan sekali.

Seketika hatiku menghangat. Air mataku meleleh semakin deras.

Ini ciuman pertamaku bersama V. Setelah belasan tahun kami tinggal bersama. Setelah ribuan malam kuhabiskan dengannya yang berbaring dengan selimut yang sama.

Ia tak pernah keberatan dengan itu. Walau ibu panti selalu memarahinya sebab riskan apabila pria dan wanita dewasa tidur dalam satu ranjang. Namun kami tak pernah melakukan apapun selain kecupan singkat di dahi dan pelukan malam yang menenangkan.

Aku meremat kemejanya saat V semakin mendorong kepalanya hingga membuatku menutup pandangan. Selanjutnya meletakkan kedua lenganku pada masing-masing bahunya, berusaha rileks menerima lumatannya untuk kubalas sebisaku.

AC mobil bahkan tak berfungsi dengan baik saat aku merasakan bagaimana tengkuk V basah dan mulai berkeringat.  Suhu dalam mobil seketika meningkat, walau cuaca di luar sedang dingin karena hujan.

Detik ini juga aku merasa bahwa keraguanku meluap. Digantikan dengan cinta V yang menggebu-gebu seiring  dengan ciumannya yang semakin kasar dan menuntut.

[]

Y.O.U | Kth √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang