Riuh tepuk tangan dari beberapa pengunjung cafe, terdengar gaduh dalam telinga.
Aku membuka mata dan membungkukkan badan di atas panggung untuk berpamitan bahwa permainan biola ku telah usai.
Setelahnya, pandanganku jadi tertuju pada satu wanita yang masih bertepuk tangan paling heboh di ujung ruangan. Ia bahkan mengangung-agungkan namaku sampai telingaku memanas.
Setiap hari, setelah aku tampil untuk menghibur pengunjung cafe, ia selalu tak pernah absen menungguiku bekerja sampai selesai. Bertepuk tangan paling heboh dan tersenyum paling lebar.
Padahal aku sudah menyuruhnya untuk menunggu di panti saja. Karena udara malam tak cocok untuk wanita. Selain itu aku juga tak tega bila terus-terusan membiarkannya menungguiku manggung sampai jam satu dini hari di dalam cafe sendirian.
"Lihat apa mereka? Wanita jaman sekarang, tidak bisa melihat pria tampan sedetik saja. Rasanya, ingin ku congkel bola mata mereka satu per satu,"
Aku tersenyum geli saat mendapatinya mengomel begitu.
Setelah turun dari panggung, aku menghampiri meja Hyojo. Mengambil duduk berhadapan dengannya yang masih memasang wajah masam. Dalam ekor mataku, beberapa gadis memang terang-terangan memperhatikan meja kita.
"Besok-besok jika kita sudah menikah, jangan pernah berpikir untuk melepaskan cincin itu di jarimu. Awas saja!"
Aku meraih tangannya yang masih terkepal di atas meja. Merangkumnya dengan ku usap penuh kasih. Bisa kurasakan bagaimana genggaman tangan itu mulai melemah, sudah tidak setegang sebelumnya.
Hyojo selalu terlihat menggemaskan jika sedang cemburu. Sifatnya yang posesif selalu berhasil menjadikanku pria paling dibutuhkannya.
Ia menghembuskan napas berat, kemudian memberikan segelas cokelat dingin padaku.
"Aku sudah bilang pada waitersnya untuk menambahkan ekstra gula. Akhir-akhir ini kau susah tidur kan? Aku membaca beberapa artikel di internet. Katanya, sulit tidur disebabkan karena tubuh kekurangan asupan gula."
Hatiku menghangat mendengarnya. Kuraih gelas itu dan meminumnya beberapa teguk, kemudian mengulurkan tangan untuk mengusap kepalanya sebagai gestur terima kasih.
Hyojo sudah tumbuh seperti gadis-gadis pada umumnya. Rambutnya memang dibiarkan panjang ikal sampai punggung. Kulitnya jauh lebih putih. Tubuhnya berkembang dengan baik.
Melihatnya begini, membuatku teringat saat-saat di mana ia menyatakan cintanya padaku di usianya yang masih dua belas tahun. Aku menertawakannya. Benar-benar mengelak dan tak pernah menganggapnya serius.
Bocah tau apa soal hati?
Aku yang sudah berumur saja masih belum mengerti. Apalagi Hyojo?
Namun, saat Yeora pergi meninggalkanku pagi itu, Hyojo lah yang sudah menyelamatkanku dari kegalauan hati. Hyojo lah yang mengulurkan tangannya dengan ribuan harapan padaku yang sudah berputus asa akan Yeora.
Hyojo bilang, bahwa aku layak bahagia.
Hyojo bilang, bahwa aku rupawan.
Katanya, aku orang pandai.
Aku orang baik.
Hyojo bilang, bahwa aku spesial.
Sejak saat itu, hidupku hanya berporos pada Hyojo. Aku sudah tidak lagi menganggapnya adik kecil yang terus merengek minta diperhatikan. Melainkan gadis ayu yang baru-baru ini, sudah ku lamar dan akan melangsungkan pernikahan bulan depan.
"V, manajer Min mengatakan padaku bahwa kau akan mengisi acara di sebuah birthday party milik pengusaha tekstil terkemuka. Bagaimana? Kau akan menerimanya?"
Hyojo menatapku serius. Garis wajahnya menegang menunggu jawabanku. Seketika, atmosfer kita berdua jadi terasa mencekam.
Aku tahu perihal pesta ulang tahun itu. Sebelum Manajer Min menghubungi Hyojo, ia sudah lebih dulu memberitahuku.
Perusahaan tekstil itu milik Park Jimin, suami dari Park Yeora. Dan yang sedang berulang tahun adalah putri kedua mereka yang genap berusia lima tahun.
"V?"
Aku mengangguk mantap menjawabnya.
Aku harus datang kan? Sudah lama sekali tidak bertemu dengannya. Aku ingin tahu seperti apa Yeora sekarang.