Bagian Satu

161 13 17
                                    

Sebutkan padaku kisah cinta paling menyedihkan.

Romeo dan Juliet?

Anohana?

Entah kenapa aku tak ikut menangis ketika mendengar kisah mereka.

Mungkin itu karena,
kisah cintaku sama menyedihkannya dengan mereka.

.
.

*

"Cailyn?"

Suara berat yang memanggil namaku itu menengahi kegaduhan yang sedang terjadi. Mereka yang saat ini tengah mengelilingiku sontak membeku. Diam. Membisu. Persis seperti arca dalam buku sejarahku.

Terdengar helaan nafas darinya. Ia meraih pundak gadis yang berada tepat dihadapanku, memutar tubuh gadis itu agar menghadap ke arahnya. Aku dapat melihat gadis itu mencoba menyembunyikan gunting yang tadi ia todongkan padaku.

Menghela nafas, aku mencibir.

Bodoh sekali. Sudah jelas tadi ia mengacungkannya padaku. Ia pikir laki-laki dihadapannya itu buta, apa?

Gadis itu tampak menggaruk tengkuk yang tak gatal, melihat ke arah lain, dan walau aku tak bisa melihat wajahnya, aku yakin ia sedang tersenyum kikuk. Telunjuknya terarah ke langit. "Hari ini... cerah, ya?"

Bodoh.

"Jangan bertingkah seperti orang bodoh, Indah." Respon laki-laki itu datar. Indah menghela nafas. Mengeratkan kepalan tangannya. "Adik lo yang---"

"Kalau sudah ku tolak, terima nasib aja. Kenapa harus ganggu kembaranku segala?" Potong saudara kembarku itu menatapnya jengah. "Aku paling benci dengan orang sepertimu." Tambahnya, membuatku terkekeh dalam hati.

Mampus kau.

Kini pandangan laki-laki itu tertuju padaku. Ia tampak mengulurkan tangannya, sama seperti biasa ketika hal semacam ini terjadi. "Ayo, Lyn."

Tentu aku langsung menyingkirkan tangan kedua gadis yang memegangiku. Tidak sesulit tadi, karena begitu melihat saudaraku itu tanpa sadar mereka langsung mengendurkan pegangan mereka.

Segera ku genggam tangannya. Kami langkahkan kaki meninggalkan gudang sekolah dengan ketiga gadis yang masih melongo sepeninggal kami.

.
.

*

"Habis selamatin tuan putri, Bos?" Ledek salah satu teman kami di kelas. Namanya Dera. Aku memutar bola mataku malas. Memilih untuk langsung duduk di bangku ku. Sedangkan saudara kembarku itu menggeleng. "Dia bukan tuan putri. Toh tenaganya kayak gorila gitu. Gak perlu diselamatin sebenarnya."

Aku melotot. Mereka tertawa.

Sialan.

"Siapa ya yang suruh aku diam aja kalo lagi diserang fansnya?" Sindirku membuatnya meringis. "Ya kalau kamu melawan nanti kejadian yang enggak-enggak. Kalau aku selalu datang pas kamu diganggu, mereka kan jadi gak bakal berani macam-macam."

Memutar bola mata malas, aku tak menanggapi.

Gak berani macam-macam, katanya? Lalu yang tadi itu apa? Sirkus? Latihan drama?

Entah sudah berapa kali hal ini terjadi padaku dan aku hanya bisa memilih untuk diam. Tapi bukannya mereda, aksi bully ini malah semakin menjadi.

White FlagTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang