Bagian Sembilan

24 6 0
                                    

Aku membuka ponselku. Hari ini Hari Minggu. Tidak sekolah. Pikiranku melayang ke kejadian beberapa hari lalu saat seseorang melambaikan tangan ke arahku dari sebuah mobil sebelum akhirnya mengirimiku sebuah pesan.

Secret admirer, ya?

Dia selisih dua tahun. Apa mungkin dia pernah menjadi seniorku? Kapan? SD? SMP? SMA?

Tapi, kenapa rasanya aku sama sekali tak pernah mendengar namanya, ya?

Penasaran, ku ketikkan nama Geofrey Alexi di pencarian instagram. Aku tersenyum senang ketika menemukan akun tersebut. Apalagi melihat akun Ayah dan Bunda mengikuti akun tersebut.

Pasti ini Geofrey Alexi yang dimaksud.

Segera ku lihat foto-foto yang ada di akun itu. Ku perhatikan sosok dalam foto itu dan menyimpulkan sesuatu.

 Ku perhatikan sosok dalam foto itu dan menyimpulkan sesuatu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dia pasti bukan seniorku selama bersekolah.

Kenapa aku bisa mengambil kesimpulan seperti itu? Tentu karena aku jelas paham bagaimana wajahnya berpotensi untuk menjadi obrolan mayoritas anak gadis. Apalagi dia blasteran begini. Kelar sudah.

Jangan katakan tidak mungkin semua orang di sekolah bisa ku kenal atau ku dengar namanya. Coba perhatikan foto di instagram itu baik-baik. Bahkan jika ia tidak sepopuler most wanted lainnya yang memiliki jabatan kapten basket, ketua OSIS, atau lain sebagainya, aku yakin setidaknya ia pernah dibicarakan setengah populasi kaum hawa di sekolah.

Percayalah. Yang memiliki penampilan menarik selalu mendapat respon dari lingkungan sekitarnya, sadar atau tidak sadar. Entah itu digosipkan hal-hal baik atau buruk, mereka pasti pernah dibicarakan.

"Cailyn," panggil seseorang dibalik pintu kamarku membuat pikiranku mengenai Geofrey ambyar. "Masuk aja, Za."

Zahir masuk. Kembaranku itu melangkah santai dan mengambil posisi duduk disampingku. Kasurku besar, jadi kami muat duduk bersampingan seperti ini. Jangan tanyakan kondisi jantungku. Debarannya sungguh cepat, tak peduli seberapa sering kami duduk berdua bersampingan diatas kasur seperti saat ini.

Ia mengintip ponselku. "Dia orangnya?" Aku yang mengerti maksud pertanyaan itu mengangguk. "Iya. Dia orangnya. Gimana menurut kamu?"

"Aku gak bisa nilai orang dari penampilannya. Apalagi jika itu di sosial media. Kamu tahu betul tentang bagaimana maraknya pencitraan dan tipuan yang ada di sosial media. Apalagi dia Keluarga Alexi. Keluarga itu punya peranan besar. Ayah bekerja untuk perusahaan yang dimiliki keluarga tersebut."

"Jadi, kamu menilainya buruk?" Tanyaku.

"Tidak juga," ia membalas. "Hanya saja aku tak ingin memberi penilaian jika tidak langsung bertatap muka."

Menarik senyum, aku membatin. Ini hal lain yang aku sukai dari kembaranku.

Ia menatapku lembut. "Bagaimana denganmu? Maksudku, tentang lamaran ini. Apa pendapatmu?"

Menghela nafas, aku membalas. "Aku tak pernah membayangkan ini sebelumnya. Aku merasa gugup. Rasanya aku tidak siap."

"Masih lamaran. Belum pernikahan."

"Tetap saja. Apa yang terjadi setelah lamaran? Pernikahan. Aku belum siap. Aku masih terlalu muda untuk menikah. Ada banyak hal yang ingin ku kejar."

Perkataanku membuatnya mengangguk. Ia ikut menghela nafas. "Andai saja ia tidak sampai menjumpaimu dengan cara parkir di depan rumah waktu itu, mungkin Ayah dan Bunda juga berusaha menutupi ini darimu serapat mungkin."

Aku mengernyit. Melihat ekspresiku membuatnya memberikan penjelasannya.

"Ayah bekerja untuk perusahaan Keluarga Alexi. Kemudian Pak Edwin berkata putranya ingin menemui Ayah dan Bunda. Mau tidak mau mereka harus bertemu dengan Geo. Lalu, Geo mengatakan keinginannya. Coba tebak apa selanjutnya."

Tersenyum kecut, aku mencoba menebak. "Ayah dan Bunda mau tidak mau harus memberitahunya padaku."

"Sebenarnya mereka tidak mau. Tapi, karena kamu bilang dia sengaja parkir sebentar di depan rumah kita lalu mengirimmu pesan, mau tidak mau Ayah dan Bunda harus memberitahumu perihal lamaran itu."

"Kenapa?" Tanyaku heran. Zahir tergelak. "Dia nekat parkir di depan rumah kita. Bukan tidak mungkin jika setelahnya ia nekat menemuimu. Kamu jelaa tahu apa yang akan terjadi jika kamu bilang kamu tidak tahu apapun soal lamaran yang ia bicarakan. Pekerjaan Ayah bisa saja terancam walau Pak Edwin katanya baik."

Aku mengangguk mengerti. Kini aku memeluk kakiku sendiri, sedikit banyak merasa cemas. Jemari Zahir mengacak pelan surai hitamku. "Kamu pasti bisa hadapi ini dengan baik. Kapanpun kamu butuh, aku akan ada untuk menjadi tempat curhat atau pelindungmu."

Tersenyum, aku hanya bisa mengangguk. Dalam hati, aku jadi berandai.

Andai saja sosok Geofrey yang dibicarakan ini sedikit saja memiliki sikap seperti Zahir, maka aku mungkin akan mempertimbangkan untuk menerima lamarannya.

*

Say hi to Geo♡

Say hi to Geo♡

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
White FlagTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang