Bagian Delapan Belas

50 4 0
                                    

"Cailyn, tumben lama pulangnya." Ucap Bunda menatapku penuh arti. Setelahnya, ia menatap Geo yang berada tepat di belakangku. "Nak Geo, makasih udah mau antar anak Bunda. Mau mampir sebentar?"

Geo menggeleng sopan sambil tersenyum. "Enggak usah, Tante. Nanti saya malah ganggu."

"Ganggu darimananya? Udah ayo, masuk. Kita makan malam bareng, ya. Kebetulan Bunda masak banyak."

Keduanya berjalan lebih dulu dibanding aku. Aku menutup pintu, memutar bola mata malas. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu terakhir aku mencibir Bunda.

Kebetulan atau kebetulan? Sejak kapan Bunda suka masak banyak kecuali tahu bakal ada tamu?

Bunda, Bunda. Bunda sama sekali tak pandai berbohong.

Aku melangkah menuju kamarku yang berada di lantai dua. Dapat ku dengar teriakan Bunda memanggilku.

"Cailyyyyn! Mau kemana kamu?!"

"Mandi, Bunda! Badan Cailyn lengket banget!"

"Oh iya, ya! Gak mungkin ada calon suami malah gak mandi! Udah bau, jorok pula! Bagus, bagus! Anak Bunda pinter!"

Aku tercengang. Tak menyangka Bunda bisa berkata seperti itu. Dapat ku bayangkan bagaimana wajah Geo senyam-senyum dengan tingkah malu-malu kucing walau tetap terkesan cool saat ini.

Tanpa berniat membalas guyonan dari Bunda, aku kembali melangkahkan kaki ke kamarku. Di ujung tangga, aku bertubrukan dengan seseorang.

Zahir.

"Lyn? Kenapa?" Tanya Zahir melihatku antara heran dan khawatir karena aku tampak penuh emosi. Aku yakin itu jelas tergambar pada ekspresiku saat ini. Tapi, bodohnya, aku tetap memaksakan senyum. "Aku baik-baik aja. Bantu Bunda siapin makan malam, gih. Aku mau mandi dulu."

Ia hendak bertanya. Aku tahu itu. Tetapi, aku langsung melesat pergi menuju kamarku. Segera aku meraih handuk dan masuk ke kamar mandi.

Pikiranku kacau.

Bukan karena acara jalan-jalanku dengan Geofrey tak sebaik apa yang aku ekspektasikan. Hanya saja, bagaimanapun pemuda itu mencoba membuatku tersenyum, apa yang bisa ku beri hanyalah senyum palsu yang aku usahakan terlihat senyata mungkin. Aku tertawa. Namun, tawa itu pun penuh kepalsuan.

Kasihan. Sungguh. Aku kasihan pada Geo yang menyukai orang menyedihkan sepertiku. Ia berusaha membuatku tersenyum. Berusaha untuk membahagiakanku, berusaha agar bisa pantas bersamaku padahal akulah yang tak pantas untuknya.

Bagaimanapun juga, aku hanya seorang gadis yang memiliki perasaan tak seharusnya pada saudara kembarnya sendiri. Apapun yang Geo lakukan tak akan berpengaruh untuk menggantikan posisi Zahir di hatiku.

Aku gadis bodoh dengan perasaan yang bodoh. Tak seharusnya Geo menjadi korban pelampiasanku. Ia berhak untuk mencari gadis lain yang akan mencintainya setulus hati.

Tapi, bagaimana caraku menyampaikan itu padanya?

Aku sudah terlalu banyak melukai perasaannya hari ini. Bukankah akan sangat biadab jika aku mencoba menolak lamarannya padahal kami baru pulang jalan-jalan bersama? Ditambah lagi sebelum mengajaknya jalan-jalan aku malah terang-terangan menunjukkan ketidaksukaanku padanya.

Gadis biadab. Aku gadis biadab.

Tok tok tok!

"Cailyn! Cepetan! Kamu lagi mandi atau semedi, sih?"

Seruan Bunda membuatku tersadar. Astaga. Belakangan ini aku selalu merenung di kamar mandi. Ku harap aku tak akan memulai kebiasaan melamun di kamar mandi. Bisa-bisa aku kesurupan karena kebiasaan baru yang tak kuharapkan ini.

"Sebentar, Bunda! Udah mau selesai!"

Teriakku dari dalam. Bisa kubayangkan bagaimana ekspresi Bunda saat ini. Pasti ia sedang menggelengkan kepalanya takjub.

"Cepat, ya! Kasihan Geo nunggunya kelamaan!"

Mendesah berat, aku tak membalas. Dan untuk pertama kalinya, aku menyelesaikan mandiku kurang dari lima menit.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 21, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

White FlagTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang