Bruk!
"Jangan pikir karena lo kembaran Zahir gue bakal baik, ya!"
Aku meringis. Punggungku rasanya sakit setelah menubruk dinding karena dilempar oleh orang yang kini sedang menyudutkanku. Ia tersenyum puas melihat reaksiku. Meraih daguku, ia memandangku seolah sedang menilai sesuatu. "Lo lumayan cakep. Tapi, kenapa masih jomblo?"
Seorang laki-laki disampingnya membalas. "Wah, lo gak tahu? Dia kan paling dibenci sama anak cewek. Kalo sekali aja lo ketahuan deket sama nih anak, hancur deh reputasi lo di mata cewek satu sekolahan."
"Alasan mereka benci nih cewek juga gak jelas. Cuma karena ini cewek kembarannya jadi lampiasin ke dia?"
Mendengar itu justru membuat temannya tadi tergelak dan menepuk jidatnya sendiri. "Lo sendiri ini ngapain? Karena cewek lo terang-terangan bandingin lo sama Zahir dan bilang dia lebih baik, lo ngelabrak nih cewek!"
Aku memutar bola mata malas. Bahasan bodoh macam apa ini?
Laki-laki dihadapanku tak lagi membalas perkataan temannya. Kini ia fokus menatapku. "Gue punya penawaran. Lo mau gak jadi selingkuhan gue? Biar pacar gue sadar kembaran cowok yang dia banggakan itu juga lebih baik dibanding dia. Kalo lo mau, gue gak bakal kasar sama lo. Tapi---"
"Kalau gue nolak, lo mau apa?" Potongku jengah.
Cih! Ini nih efek karena aku tak pernah melakukan perlawanan pada orang-orang yang membullyku. Mereka menganggapku lemah, tak berdaya, dan hanya bergantung pada Zahir.
Ia menatapku tak percaya. "Wow! Dibaikin ngelunjak!"
"Gue gak ngelunjak. Gue cuma nanya." Balasku santai tanpa ekspresi. Tanpa menunggu balasan darinya, aku memilih untuk menendang dadanya kuat hingga ia tersungkur. Perlahan aku bangkit dari posisiku. Sakit akibat dilempar ke dinding tadi masih terasa sehingga aku meringis.
Ia mengepalkan tangan kuat. Sedangkan temannya hanya cengo. Melongo selayaknya orang bodoh.
"Lo tahu siapa gue?" Tanyanya membuatku menghela nafas. "Lo Ravindra Okto, anak basket. Pacar lo namanya Indah. Itu aja sih yang gue tahu."
"Gue pernah tawuran sama sekolah sebelah. Ikut geng preman juga. Lo gak tahu?"
Ucapannya yang pongah ku balas dengan menggedikkan bahu dan ekspresi yang jelas menunjukkan bahwa aku tak peduli. Ia terbahak, berkacak pinggang. "Pantes tingkah lo sok begini. Sekarang, setelah tahu gue anggota preman dan ikut tawuran, apa lo---"
Menaikkan alis, aku memotong ucapan penuh kesombongannya yang tak bermutu itu. "Lo bangga sama hal gituan? Idih. Kayaknya keledai lebih pinter deh daripada lo."
"Lo---"
"Apa? Marah? Mau ngancem? Mau main fisik? Ayo, sini! Gue ladenin!"
Ia menggeram. Tanpa terelakkan, kami adu jotos disana. Aku malu mengatakan ini tapi kata-kata Dera tentang tenagaku sekuat gorila dan kata-kata Zahir mengenai aku yang sebenarnya tak perlu diselamatkan benar adanya. Aku menyeringai. Sudah lama aku tidak meladeni tinju seseorang seperti ini.
Kalau kalian pikir aku tidak memikirkan kondisi dan image-ku yang merupakan murid teladan kesayangan guru, kalian salah. Saat ini sudah lebih satu jam setelah pulang sekolah. Guru-guru sudah berpulangan. Zahir pun sudah di rumah karena hari ini tak ada latihan basket. Kenapa aku masih disini? Karena memang hari ini jadwalku ke tempat kursus. Sudah menjadi kebiasaan bagiku pergi sendiri langsung dari sekolah ke les.
Yah. Setengah jam lagi les akan dimulai. Waktu makan siangku yang berharga tersita karena cecunguk goblok satu ini.
Baiklah. Mari kita selesaikan dengan satu tendangan terakhir.
"GYAH!"
Ia menjerit begitu kakiku menyentuh organ vitalnya keras dan tak berperasaan. Ya. Aku menendang 'itu'-nya dan tentunya dengan sekuat tenaga. Teman Ravindra yang ku ketahui bernama Dhio ini tampak ngilu, memegangi miliknya sendiri.
Aku tersenyum menang. Baru saja aku berbalik, dapat ku rasakan seseorang menarikku dari sisi lain tembok tempatku dibanting tadi dan tempat aku berdiri. Tak lama setelah ditarik, dapat ku dengar suara bata menubruk dinding.
Orang yang menarikku dan masih memegangi lenganku menghela nafas lega, "Syukur deh masih sempat."
Perlahan, aku menoleh untuk melihat siapa orang yang menyelamatkanku dari batu bata yang kemungkinan dilempar oleh Dhio tadi.
Ia tersenyum. Sedangkan aku yang menatapnya seketika tercekat dengan sosok yang ku lihat.
Geofrey.
KAMU SEDANG MEMBACA
White Flag
Teen FictionFlying my white flag, I surrender. * Mungkin bagi kamu, Aku itu bagai udara. Aku ada di setiap detiknya untukmu. Selalu berada di dekatmu. Kamu pun membutuhkanku untuk hidup. Namun, kamu tak akan pernah menyadarinya. Menyadari tentang perasaanku. S...