Bagian Delapan

27 6 0
                                    

"Sayang, kamu gapapa?"

Pertanyaan cemas Ayahku berhasil membuatku membeku. Ah, apa terlihat dengan sangat jelas kalau aku sedang memikirkan sesuatu? Mau bagaimana lagi? Aku tak pandai berpura-pura tenang.

Bunda ikut menimpali, "Kamu sampai keringatan gitu. Masih sakit? Kamu sakit karena apa, sih? Mau ke dokter?"

Aku menggeleng dan memaksakan senyum. "Memang masih pusing. Tapi gapapa, kok. Lyn keringatan juga karena kepanasan."

Jemari orang yang duduk disampingku menyentuh leherku, membuatku tersentak. Zahir menghela nafas. "Ini keringat dingin, Lyn."

Aku tak berani menatapnya. Tetapi, kini Zahir menyentuh daguku, membuat wajahku tertoleh padanya. Kini, ia menatapku dalam. Membuatku terhipnotis dengan manik hitam legamnya.

"Lyn, kalau kamu lupa biar aku ingetin. Kita ini kembaran." Ucapnya menggantung membuat hatiku mencelos. Aku tahu arah bahasan ini bukan tentang perasaan tak wajarku untuknya. Tapi, kata-kata itu jelas membuatku tertohok.

"Iya, aku bakal cerita." Aku membalas, mengerti apa yang dia mau. Ia tersenyum, melepaskan jemarinya dari daguku.

"Lyn tadi lihat ada mobil parkir depan rumah kita. Terus Lyn dapat sms gini."

Ku tunjukkan pada mereka pesan singkat itu. Ayah dan Bunda saling berpandangan. "Cek dulu, Bun." Ayah berujar.

Aku mengernyit, mereka tampak tidak seterkejut yang ku bayangkan. Apa ada sesuatu?

Bunda meraih ponsel yang tergeletak di meja. Sebuah kebiasaan bagi kami untuk meletakkan ponsel masing-masing di meja agar tidak dimainkan diam-diam ketika sedang makan bersama seperti ini.

Jemari Bunda menari di layar ponsel. Bunda merespon setelahnya. "Eh, bener Yah. Ini dia."

Dia? Batinku mengulang dalam hati. Aku dan Zahir saling menukar pandangan, mencoba menerka ada apa dibalik semua ini. Kini Bunda kembali memainkan ponselnya. Membuka galeri foto.

"Mobil yang kamu lihat seperti ini, tidak?" Tanya Bunda menunjukkan foto Ayah, Bunda, dan beberapa orang lainnya di depan beberapa mobil. Bunda zoom salah satu mobil. Aku mencoba mengingat.

"Iya, Bun. Yang ini."

Ayah dan Bunda saling tatap.

"Sekarang aja, Bun?" Tanya Ayah dibalas anggukan oleh Bunda. "Iya, Yah. Ayah yang ngomong, ya?"

Ayah tampak menghela nafas. Aku dan Zahir semakin bingung. Apalagi ketika Ayah menatapku serius.

"Putri Ayah, Cailyn."

"I-iya, Yah?"

"Ayah sama Bunda punya rekan. Namanya Pak Edwin Alexi. Dia punya seorang putra, usianya tidak jauh dari kalian. Hanya selisih dua tahun. Namanya Geofrey Alexi."

Entah kenapa, aku mulai bisa menebak arah percakapan ini.

"Ayah sama Bunda jodohin aku ke anak Pak Edwin itu, ya?" Tebakku membuat kedua orangtuaku hanya bisa tersenyum. "Tidak seperti itu. Gimana ngomongnya, ya? Kami tidak ada kesepakatan seperti ingin membuat perjodohan, sebenarnya. Tapi, Geo tiba-tiba minta dipertemukan dengan kami. Ternyata dia ingin melamar kamu."

Aku mengerjap. "Ingin melamar? Kenapa?" Tanyaku benar-benar heran. Aku tidak pernah mengenal orang bernama Geofrey ini sebelumnya. Terus dia tiba-tiba tanpa alasan melamarku? Yang benar saja. Pernikahan bukan hal sesepele itu.

"Dia bilang dia suka kamu sejak lama. Secret admirer. Tapi, dia takut kamu dimiliki orang lain nantinya. Jadi, dia ingin melamarmu." Ayah menjawab. Bunda berdeham. "Kami bilang kamu yang akan menentukan jawabannya. Dia bilang dia akan menunggu. Tapi, dia butuh kepastian. Salah Ayah dan Bunda yang tidak langsung bertanya padamu. Kami takut kamu menjawab tanpa mempertimbangkan lebih dulu."

"Aku gak mau, Bunda." Ucapku memelas. "Aku bahkan gak kenal sama dia. Kalau dia orang aneh gimana? Kalau dia jahat gimana? Cailyn gak mau."

"Dia bukan orang jahat. Keluarga Alexi bukan orang jahat. Ayah jamin itu."

"Tapi, Cailyn sedikit pun gak kenal sama dia." Aku mencoba mengelak. Ayah dan Bunda tersenyum. "Makanya rencananya kami ingin mempertemukan kalian dulu. Seminggu saja cukup. Setelah itu keputusan ada di tangan kamu. Ya?"

Aku menghela nafas berat.

Entah kenapa, aku rasa akan terjadi hal buruk setelah ini.

White FlagTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang