"Jadi, mau bahas apa?" Tanyaku yang kini duduk berhadapan dengan Zahir di meja makan. Ia menghela nafas. Sedikit tampak gelisah. Aku jadi menarik kesimpulan sendiri. Apa yang membuatnya gelisah dan tak seperti biasanya selama seharian penuh semalam pasti ada kaitannya dengan apa yang ia ingin katakan saat ini.
Orang yang gelisah seperti ini... biasanya mau menyatakan perasaan, kan?!
Jiwa haluku menjerit. Aku menggigit bibir bawahku. Jelas tidak mungkin Zahir menembakku seperti apa yang jiwa haluku bisikkan. Tapi, kenapa ia tampak segelisah ini? Lalu, ia bilang ini harus dibahas hanya berdua. Astaga. Tolong jangan membuat batinku menjerit, Zahir. Sangat tidak lucu kalau aku sudah menghayal setinggi langit tapi ternyata kamu membahas hal yang tidak berkaitan dengan apa yang aku pikirkan.
Aish! Tapi, andai kata bahasan Zahir bukan tentang hal yang ku pikirkan pun bukan salahnya! Itu tetap salahku karena menghalu terlalu jauh!
Wahai diriku, tolong.
Tolong jangan membuat diriku sendiri sakit karena terhempas ke jurang realita yang menyakitkan setelah menghayal setinggi langit.
"Cailyn, aku mau kamu jangan bilang-bilang ke Ayah-Bunda tentang apa yang aku kasih tahu ini." Zahir berucap membuatku semakin salah sangka.
Wahai otakku, tolong.
Tolong gunakan akal sehat kali ini, wahai otakku yang berisi ilmu! Jangan dengarkan bisikan halu dari alam bawah sadarku! Tolong!
Zahir menatapku heran. Berdeham, ia berkata. "Erm. Kamu kenapa? Kok kayak gregetan gitu?"
GREGETAN LAH! GIMANA GA GREGETAN KALAU KATA-KATAMU MEMBUAT SISI HALUKU MENGGELEPAR?!
Ingin sekali ku teriakkan itu padanya. Tapi, apa daya. Aku jelas tak bisa. Akhirnya, aku memasang senyum. Menggeleng. "Gapapa. Lanjutin aja bahasannya. Aku janji ga kasih tahu Ayah-Bunda."
Ia tersenyum lega. "Jadi gini. Masih ingat tentang omongan Ayah-Bunda tentang Geo?"
"Geofrey Alexi?" Tanyaku diangguki Zahir. "Masih ingat nggak kalau rencananya kalian bakal dikenalin?"
Rencananya kami ingin mempertemukan kalian dulu.
Seminggu saja cukup.
Setelah itu keputusan ada di tangan kamu.
"Oh. Ketemu Geo selama seminggu?" Lagi, Zahir mengangguk. Ia tampak serius. "Kemarin waktu pagi aku gak sengaja dengar waktu lewat kamar Ayah-Bunda kalo hari ini Geo bakal datang temuin kamu."
Aku menghela nafas. "Itu yang bikin kamu gelisah sepanjang hari?" Tanyaku yang lagi-lagi dianggukinya. Tersenyum kecil, aku bingung harus bersikap. Juga bingung harus senang karena ia khawatir tentang pertemuanku dengan Geo atau justru sedih karena khayalku yang terlalu tinggi mengekspektasikan apa yang akan dibahas Zahir tak sesuai dengan kenyataan.
Zahir tampak menghela nafas. "Kamu kelihatannya sangat risih dengan Geo. Aku jadi khawatir. Sedikit banyak aku paham. Waktu itu dia bertingkah mencurigakan seperti orang aneh. Sangat wajar jika kamu merasa risih mendengar kamu dilamar oleh orang yang mencurigakan." Tanpa sadar, aku menggumam. "Aku juga aneh."
"Kamu tidak aneh, kok." Bantah Zahir membuatku tersenyum kecut. Andai dia tahu tentang perasaanku padanya, masihkah ia berkata bahwa aku tidak aneh?
Ada orang yang bilang, jodoh itu cerminan diri. Orang baik akan berjodoh dengan orang baik. Orang jahat akan berjodoh dengan orang jahat. Jadi, rasanya akan sangat tepat ketika aku si orang aneh yang menyukai kembaranku sendiri berjodoh dengan orang aneh yang tampak mencurigakan.
Hening menyapa. Aku bangkit dari duduk. "Aku balik ke kamar dulu. Kamu juga mendingan balik ke kamar. Besok kita sekolah, harus bangun cepat. Jangan sampai telat. Tentang Geo, aku gak masalah. Kalo kata Ayah-Bunda dia baik, berarti dia memang baik, kan? Kamu gak perlu khawatir."
Dapat ku lihat Zahir tersenyum. Ia tampak lega dan tanpa sadar ekspresi leganya itu membuat perasaanku ikut lega. Perasaan ini mungkin akan disebut perasaan antarkembaran. Dimana ketika yang satu sakit, yang satu lagi akan sakit. Yang satu senang, yang satunya lagi ikut senang. Tapi, aku lebih berharap bahwa perasaan ini karena perasaan yang spesial selayaknya yang dirasakan lawan jenis. Perasaan dimana ketika melihat pasangan kita bahagia kita pun ikut bahagia.
Aku memang tidak tahu diri. Aku tahu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
White Flag
Teen FictionFlying my white flag, I surrender. * Mungkin bagi kamu, Aku itu bagai udara. Aku ada di setiap detiknya untukmu. Selalu berada di dekatmu. Kamu pun membutuhkanku untuk hidup. Namun, kamu tak akan pernah menyadarinya. Menyadari tentang perasaanku. S...