Jika ada hari dimana aku merasakan malas akut maka dapat dipastikan pada hari itu aku sakit.
Seperti hari ini.
Pagi tadi, kepalaku terasa berputar-putar. Badanku panas. Wajahku merah padam. Kondisi itu jelas cukup untuk membuat Zahir khawatir. Ia memintaku untuk tetap tinggal di rumah. Begitu pun dengan Ayah dan Bunda. Tapi, aku menolak keras.
Penolakanku bukan tanpa alasan. Hari ini ada ujian praktek olahraga. Kalau hari ini aku tidak masuk, otomatis aku tidak ujian. Jika aku tidak ujian, maka mau tidak mau aku harus meluangkan waktu saat pulang sekolah di hari lain untuk meminta kesempatan ujian susulan. Tolong garis bawahi hal ini. Siapapun yang meminta kesempatan ujian susulan di mata pelajaran penjas khususnya ujian praktek tak akan mendapat nilai lebih dari standar KKM.
Jelas aku tidak menginginkan itu. Posisiku sekarang ada di nomor dua umum. Zahir di posisi pertama dan Mika di posisi ketiga. Kalau nilaiku ada yang pas-pasan KKM, bisa-bisa aku terhempas dari juara dua umum dan berujung pada Mika yang menertawaiku.
Ditertawakan oleh Mika adalah hal terburuk yang tak pernah ingin ku lihat. Apalagi jika alasannya adalah karena hengkangnya aku dari dua besar juara umum.
Double kill itu namanya.
Maka saat ini, dengan kondisi wajah pucat pasi dan guruku yang menggigit jari jempolnya melihat sikap keras kepalaku, serta Zahir yang menatapku dengan memelototiku tanpa menyadari matanya itu cipit, aku berlari.
Bukan lari dari kenyataan seperti kalian, tentu saja. Tapi, lari dalam artian sebenarnya.
Aku bisa merasakan kepalaku terasa begitu berat. Pandanganku pun perlahan-lahan mulai mengabur. Setelah ini aku mungkin pingsan. Tapi, aku tidak peduli.
Sedikit lagi. Tinggal sedikit lagi.
Priiit!
Suara peluit itu langsung dikumandangkan oleh guruku begitu aku melewati garis. Langsung ku hentikan lariku, berjalan menuju tepi lapangan. Zahir langsung membantuku duduk. Sedangkan Dera menggelengkan kepalanya takjub. "Jadi, ini kekuatan sesungguhnya dari seekor gorila. Sakit gitu tetep bisa dapat posisi satu?"
"Gini-gini gue strong, ya. Gak kayak mereka. Sehat aja lemah banget larinya. Centil. Keliatan gak pernah lari." Balasku masih saja sempat mencibir. Disampingku, Zahir menepuk jidatnya sendiri. Pusing melihatku yang walau sakit tapi masih bisa berdebat dengan Dera.
Beberapa menit berlalu dan siswi-siswi lainnya sampai. Kini giliran para siswa yang berlari. Guru kami memang seperti itu. Mengambil nilai dengan perlombaan kecil-kecilan. Hadiahnya adalah nilai 98 untuk peringkat pertama. Laki-laki dan perempuan selalu dipisah perlombaannya. Itu pula alasan kenapa guru olahraga kami yang cantik itu tak bisa memberi nilai di atas KKM untuk yang meminta susulan.
Ah, Samika Oditi tidak hadir. Mampus deh dia susulan. Siapa suruh jalan-jalan ketika hari sekolah. Awas saja kalau dia tidak membawakan oleh-oleh yang bagus.
Aku mengalihkan pandangan ke sekitar. Menatap siswi lainnya. Sibuk bergosip dan curhat tentang orang yang disukainya. Tidak, aku bukanlah seorang penyendiri yang akan iri melihat keakraban orang di sekitar. Toh aku punya Mika yang menjadi sahabatku. Begitupun Dera walau ia sangat menjengkelkan dan jangan lupakan kembaranku yang sangat aku sayangi, Zahir.
Aku hanya kepikiran. Andai, andai saja aku curhat-curhatan mengenai orang yang ku suka pada orang selain Mika. Andai ada orang lain yang tahu aku menyukai seorang Valerian Zahir, saudara kembarku sendiri. Akan seperti apa pandangan mereka terhadapku?
Mendesah berat, aku tersenyum kecil. Samika saja sibuk mencibirku atas perasaanku. Aku tahu sebagian besar adalah candaan. Tapi, aku yakin, ia pun merasa aku ini aneh. Apalagi orang lain yang tidak benar-benar dekat denganku. Bisa-bisa aku jadi bahan gosip seantero sekolah.
"Cailyn Allegra, kamu bikin Ibu khawatir!" Seruan itu membuatku mendongak, menatap guru olahragaku itu. Ah. Guru itu tampak sangat khawatir. Aku hanya bisa nyengir, "Maaf, Bu."
Guru tersebut berkacak pinggang. "Lain kali jangan begini lagi. Kesehatan kamu lebih penting." Omelnya yang hanya ku balas dengan senyuman. Ia mengambil ponsel, mengetikkan sesuatu disana. Setelahnya ia kembali menatapku. "Kamu bereskan buku-bukumu setelah masuk kelas nanti. Tidak usah ganti baju. Kamu Ibu pulangkan. Ibu sudah telpon orangtuamu. Mereka sedang menuju kesini."
"Tapi, Bu--"
"Ibu gak yakin kamu bisa belajar dalam kondisi seperti itu. Daripada kamu hanya berdiam diri di UKS, lebih baik kamu pulang ke rumah sekalian." Potongnya yang lagi-lagi membuatku tersenyum. Aku suka Bu Rika. Soalnya dia benar-benar menaruh perhatian pada siswa-siswinya. Aku mengangguk menurut.
Setelah membereskan barangku di kelas, Zahir mengantarkanku ke gerbang hingga akhirnya aku di jemput Bunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
White Flag
Teen FictionFlying my white flag, I surrender. * Mungkin bagi kamu, Aku itu bagai udara. Aku ada di setiap detiknya untukmu. Selalu berada di dekatmu. Kamu pun membutuhkanku untuk hidup. Namun, kamu tak akan pernah menyadarinya. Menyadari tentang perasaanku. S...