Ketika mataku terbuka, dapat ku dengar kebisingan di ruang bawah.
Apa sedang ada tamu?
Aku meregangkan tubuhku. Baru saja aku berniat turun dari tempat tidur, suara ketukan pintu membuat aku urung melakukan niat itu. Sejurus kemudian, kepala Zahir menyembul dari balik pintu. "Loh? Lyn? Kamu gak tidur?"
Mengerjap, aku menjawab. "Baru bangun. Kepingin minum. Kenapa?"
"Ini, Dera lagi di rumah. Niatnya sih mau jenguk kamu. Jangan-jangan kamu kebangun karena dia berisik banget dibawah, ya?"
Ingin sekali aku mengiyakan perkataan saudara kembarku itu. Tapi, sebuah suara berbunyi begitu nyaring seiring dengan langkah seseorang yang tampaknya berlari menuju kamar ini membuatku urung mengatakannya.
"TUAN PUTRI UDAH BANGUN?!"
Dera sialan muncul membuka pintu yang tadinya hanya dibuka sedikit saja menjadi terbuka lebar sambil tersenyum lebar.
Terdengar suara Bunda berseru dari bawah. "Dera! Nanti kita cerita-cerita lagi ya, Nak!"
"Siap, Bunda!"
Kini ia masuk ke kamarku. Mengambil kursi yang memang ada di meja belajarku dan menaruhnya di dekat kasurku. Ia duduk disana, berbalik menatap Zahir dan melambai-lambai. "Ayo, sini! Jangan malu-malu! Anggap aja rumah sendiri!"
Anjir. Ini kan memang rumah kami.
Aku tak menyuarakan kekesalanku. Tenggorokanku cukup sakit. Seret. Ucapanku yang bilang aku ingin minum tadi tidak sepenuhnya bohong.
Entah insting seorang kembaran atau bagaimana, Zahir memilih turun ke lantai bawah untuk mengambilkan minum. Meninggalkan kami berdua disini.
Ku ulangi sekali lagi.
Meninggalkan kami berdua. Cewek dan cowok. Berdua. Dalam kamar.
Astaga, Zahir. Bisakah kau memperhatikan situasi runyam ini?
Ah, tidak juga. Zahir adalah saudara kembarku yang polos. Dia pasti tak berpikiran sampai sejauh itu.
"Sayang banget sama kembarannya, ya." Ucap Dera tiba-tiba membuatku sedikit tersentak. Aku mengangguk. "Memang. Kami sering main-main berdua aja sih dari kecil, makanya---"
"Makanya lo jatuh cinta?"
Aku melotot. Ia menyunggingkan senyum.
"Lo pikir gue gak tahu?" Ia bertanya. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. "Ngomongin apa, sih?"
Dera terkekeh. Pemuda itu tak membalas dan meraih buku bersampul merah. Buku diary samaranku. Aku menghela nafas, menatapnya jengah. "Jangan kebiasaan deh lihatin barang orang sembarangan!"
Ia menaikkan sebelah alis. "Loh? Tapi, kan ini aku yang beliin?"
Aku mengerjap. Memproses maksud perkataannya.
Ini pasti bukan dari Zahir karena gak ada kucingnya.
Bukan dari Mika karena kayaknya bukan souvenir.
Oh. Dari Dera, ya?
Dera! Nanti kita cerita-cerita lagi ya, Nak!
Bunda. Pasti ada kaitannya dengan Bunda.
Melihat ekspresiku membuatnya tertawa. "Syukur gue baik. Kalo gak habis deh Bunda penasaran. Mungkin dia juga bakal curiga kalo gue gak iyain pertanyaan dia tentang buku ini."
"Lo kok bisa deket banget gitu sih ke Bunda?" Tanyaku heran dan sedikit jengkel. Bukannya apa. Hanya saja untuk ukuran orang yang baru dikenal dua tahun terakhir ia benar-benar sudah sangat akrab dengan Bunda. Bahkan sampai memanggil Bunda dengan sebutan Bunda. Mika yang sahabatku sejak SD saja tidak sampai segitunya.
Ia tampak seolah berpikir walau jelas ekspresinya itu pura-pura. "Hm. Pengen ambil hatinya, kali?"
"Serius, deh."
"Tenang, tenang. Gue gak bermaksud jadi Ayah baru kalian, kok."
Aku menatapnya sinis tapi tampaknya ia malah tak terpengaruh. Menggedikkan bahu, ia berucap. "Cuma mau dapatin anaknya. Kata orang yang berpengalaman, alangkah lebih baiknya kalau dekat sama orangtuanya dulu."
Memutar bola mata malas, aku nyinyir. "Ngarep lo ketinggian. Mana mau gue sama lo."
"Siapa bilang gue mau dapetin lo? Gue mau dapetin Zahir, kali."
Aku melongo.
Anjir. Homo anying.
Perasaan yang ia miliki ternyata jauh lebih aneh daripada aku. Hm. Atau sama saja, ya? Kan sama-sama menyukai orang yang tidak seharusnya disukai. Tapi---argh! Gak! Lebih normal aku lah kemana-mana. Aku masih demen sama lawan jenis. Lah dia? Sesama?
"Njir lo serius nanggepinnya?" Ia menggeleng takjub. "Jangan samain gue kayak lo lah. Cuma lo deh yang di rumah ini punya perasaan aneh ke orang yang gak seharusnya." Tambahnya.
Jleb banget bosque.
"Lo cenayang apa gimana?" Cibirku membuatnya tergelak. "Tuh, kan. Secara gak langsung lo bilang ke gue kalo lo memang mikir gue sejenis Reinhard dan Burhan."
Aku memutar bola mataku malas. Cukup melelahkan bicara dengan makhluk setengah alien seperti Dera Bhagawanta.
Aku memilih tak membalas. Hanya menatapnya malas. Tetapi, selayaknya seorang Dera yang ku kenal, ia tetap mencari topik pembicaraan.
"Cai, cai."
"Gue berasa nama gue disamain sama capcay." Balasku membuatnya terkekeh. Nih anak tuh ya. Kerjaannya ya cengengesan mulu.
"Gue gak mau lo salah kaprah. Ntar lo sebarin gosip gue suka sama ayang Zahir kan bahaya. Gebetan gue nanti makin gak peka."
"Gebetan?" Ulangku yang diangguki olehnya. "Iya, gebetan. Gini-gini gue punya. Gak kayak lo. Baper sama kembaran sendiri."
Anying.
"Siapa?" Tanyaku sedikit ketus. Ia menarik senyum sebelum akhirnya menyebut sebuah nama.
"Samika Oditi."
KAMU SEDANG MEMBACA
White Flag
Teen FictionFlying my white flag, I surrender. * Mungkin bagi kamu, Aku itu bagai udara. Aku ada di setiap detiknya untukmu. Selalu berada di dekatmu. Kamu pun membutuhkanku untuk hidup. Namun, kamu tak akan pernah menyadarinya. Menyadari tentang perasaanku. S...