Bagian Enam

28 5 0
                                    

"Cai! Inget, ya! Jangan kasih tahu siapa-siapa! Itu orangnya juga gak sadar sama perasaan gue!"

Aku hanya mengangguk mengiyakan sambil melambaikan tangan pada pemuda heboh yang sudah berada di gerbang rumah dan melajukan motornya. Zahir menatapku lekat sebelum akhirnya punggung tangannya menempel di keningku.

"Masih panas, ternyata." Gumamnya yang masih bisa terdengar olehku. Kini tangannya terulur untuk mengacak rambutku. "Ayo cepat masuk terus istirahat. Biar demamnya gak makin parah."

"Tapi, aku belum makan."

"Nanti aku bawain ke kamar kamu."

Menurut, aku segera masuk. Langkahku riang menuju kamar. Sesampainya di kamar, dapat ku dengar ponselku berdering. Segera ku raih ponsel itu.

Dera : Ingat. Jangan kasih tahu Mika. Kalo dia sampai tahu berarti itu dari lo

Dera : Kalo lo jaga rahasia ini, gue juga jaga rahasia lo dari semua orang

Aku mendengus. Ternyata motifnya membahas semua ini hanya ingin mengancamku? Dera sialan!

Ah. Tapi, aku masih bertanya-tanya. Bagaimana bisa dia tahu aku menyukai Zahir? Apa dia cenayang beneran?

"Cailyn," panggil Zahir membuatku menoleh. Pandanganku tertuju pada makanan dan segelas air di nampan yang ia pegang.

Ah, iya. Makan malam.

Segera aku membukakan pintu kamar. Kami berdua masuk beriringan ke dalam kamar. Ketika aku menarik kursi dan hendak duduk, ia menahan tanganku. "Di kasur aja. Aku suapin."

Aku tersenyum, mengangguk.

Kini ia duduk di tepi ranjangku. Persis seperti Bunda ketika menyuapiku tadi. Aku mengunyah makanan tersebut dan ia menyuapiku kembali setelah kunyahanku terhenti. Hening menyelimuti kami di lima menit pertama.

"Aku dengar dari Bunda, kamu kepengen liat aku turnamen besok. Bener?"

Aku mengangguk. "Tapi, Bunda gak bolehin. Jadi ya gitu deh. Aku yakin kamu juga mau larang aku, kan?" Ia tertawa renyah, mengangguk. "Tau aja. Istirahat yang bener di rumah. Jangan malah asik main hp."

Ini nih sifatnya Zahir. Bener-bener kayak Bunda. Tapi gapapa deh. Tandanya dia perhatian ke aku.

Makananku hampir habis. Tapi, hening masih berkuasa. Kami bergelut dengan pikiran kami masing-masing. Entah apa yang ia pikirkan, aku tak tahu. Kalau aku jelas memikirkan tentang perasaan tak wajar ini. Andai kami bukan saudara, pasti hubungan yang kami jalin akan indah.

Hm. Mungkin tidak juga. Aku baru ingat kalau saudara kembarku itu hatinya hampir tak bisa disentuh oleh gadis mana pun. Kalian masih ingat alasanku dibully, kan?

Ya. Valerian Zahir menolak semua gadis yang menyatakan perasaan padanya. Setidaknya sampai saat ini. Tidak tahu jika esok hari atau lusa akan ada yang mencuri perhatiannya. Aku bukan cenayang yang katanya bisa melihat masa depan. Andai pun aku bisa, aku tak ingin melihatnya. Karena aku yakin itu akan menyakitkan untuk hatiku. Membayangkannya mulai membagi perhatian pada gadis selain aku karena jatuh cinta membuat hatiku miris. Tapi, apa boleh buat? Setidaknya ia normal, tidak seperti aku. Suatu saat nanti aku pun harus menikah. Aku harus bisa berpaling dari perasaan tak normal ini.

Tapi, andai saja aku dan ia bukan saudara. Dapatkah aku menjadi gadis yang menarik perhatiannya?

"Cailyn,"

"Hm?"

"Kamu kenapa?" Tanyanya membuatku memiringkan kepala. "Kenapa apanya?"

"Ekspresi kamu murung gitu. Lagi mikirin sesuatu?"

Ya! Aku memikirkan sesuatu dan sesuatu yang aku pikirkan itu adalah kamu!

Ingin sekali aku menjawab seperti itu. Namun, tentu aku tak menyuarakannya. Bisa dianggap gila aku nanti. Kemudian dia akan menjauh sejauh-jauhnya dariku. Lebih baik aku merahasiakan perasaan ini sampai mati dan melihatnya berbahagia dengan gadis lain daripada harus mendapat pandangan jijik serta kecanggungan tak berujung darinya di sisa hidupku.

Ah, tidak! Tidak ada satupun yang lebih baik! Aku tak ingin kedua hal itu terjadi!

"Cailyn? Kamu kenapa?"

Pertanyaan itu kembali diulang Zahir sambil melambaikan tangannya di depan wajahku. Aku tersadar dari lamunanku, menggaruk tengkukku yang tak gatal. "Ah, maaf. Agak pusing."

Ia tersenyum kecil, "Kamu memang tidak diizinkan oleh Tuhan menonton turnamenku, ternyata. Istirahat dan cepatlah sembuh. Oke?"

Aku mengangguk, meminum segelas air putih yang ia berikan. Ia kini meraih nampan dan menaruh mangkuk serta gelas ke nampan tersebut diatasnya. Ketika ia hendak menutup pintu kamarku, aku menyerukan namanya.

"Zahir!"

"Ya?"

"Turnamen besok... kamu harus menang!"

Ia tersenyum dan mengangguk. "Kamu juga harus sembuh. Oke?"

Untuk sejenak, dalam suasana ini, aku ingin waktu terhenti dan menikmati momen-momen manis seperti ini selamanya.

White FlagTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang