Bagian Dua Belas

23 5 0
                                    

Keluargaku menyambut Dera dan Mika dengan segudang makanan. Baik itu ketika makan siang ketika pulang sekolah tadi maupun makan malam yang sedang kami nikmati sekarang.

Baguslah. Menu favoritku yang lama aku rindukan jadi muncul di depan mata dan tentunya ku makan dengan lahap.

"Lyn, jangan rakus gitu." Bunda berujar. Ayah mengangguk setuju, menimpali. "Makan sesuatu secara berlebihan gak baik, loh."

Dera menelan makanannya dan bicara. "Namanya juga kingkong, Bun, Yah. Ya gitu deh rakusnya."

Aku melotot. Ku lihat Ayah-Bunda dan sialnya mereka terkekeh.

"Jangan gitu. Udah lama juga Lyn gak makan udang." Zahir kini ikut pembicaraan. Aku menatap Zahir dengan tatapan memuja. Kembaranku ini memang pantas aku dambakan!

Waktu bergulir. Santapan yang tadi memenuhi meja makan ludes. Bunda tersenyum. "Setelah ini sikat gigi dulu baru tidur."

"Iya, Bunda."

"Tidurnya juga jangan kemalaman. Ini udah jam sepuluh. Setengah jam lagi harus tidur."

Lagi, kami menjawab serentak. "Iya, Bunda."

Segera kami memasuki kamar. Zahir dan Dera di kamar Zahir. Aku dan Mika jelas berada di kamarku. Tadinya, Bunda sudah menawarkan untuk memakai kamar tamu. Tapi, mereka menolak. Ingin curhat-curhatan dulu, katanya.

Sesampainya di kamar langsung aku duduk di kasur dan meraih guling tercinta. Ku tatap Mika yang duduk dihadapanku. "Jadi, mau cerita apa, Mbak? Masalah jodoh-jodohan atau oleh-oleh Maldives?"

Ia menimpukku dengan bantal ditangannya. "Ingat ae ya lo masalah oleh-oleh!" Ketusnya sebal. Aku terkekeh, "Iya, dong! Mana nih oleh-olehnya?"

"Lupa. Gue---"

"Lo udah janji bawa oleh-oleh, Mik." Ucapku dengan nada dingin dan tatapan membunuh. Ia memutar bola matanya malas. "Dengerin orang selesai ngomong, njir. Gue lupa bawa di tas! Bukan lupa beli!"

"Awas aja bo--"

"Ih! Dah dibilangin, juga! Udah! Diem! Dengerin gue cerita!"

Oke bosque. Aku kicep.

Melihatku diam, ia memulai ceritanya. "Sebenernya gue pacaran udah tiga bulan. Terus---"

"Lo gak ngasih tahu gue padahal lo udah pacaran tiga bulan? Wow sekali Anda." Potongku membuatnya manyun. "Kan gue gak mau bikin lo nekat lakuin aneh-aneh. Secara juga gue dan lo sama-sama jomblo sejak lahir. Denger kabar gue pacaran bisa aja bikin lo frustasi terus nekat nembak kembaran lo sendiri."

Ia bicara dengan nada memelas dan penuh rasa bersalah. Tapi, kenapa aku mendengarnya seperti sindiran halus, ya?

"Oke. Skip. Terus masalah antara lo dan pacar lo apa?"

"Dia ngaku ke gue kalo dia sebenernya suka sama orang lain."

Mengerjap, tiba-tiba aku merasa iba. Aku menepuk pundaknya, mengusapnya lembut. "Itu karma karena lo pacaran tanpa sepengetahuan gue." Ucapku membuatnya ngenes sendiri.

Iya. Aku memang iba. Tapi, keinginan mewujudkan kejahilanku untuk mengusilinya selalu lebih berkuasa dibanding rasa ibaku pada kisah percintaannya. Toh dia juga sering meledek tentang perasaanku pada Zahir. Imbang, kan?

"Cailyn, ih! Gue serius, nih!"

Aku masih nyengir. Mika menunduk, menatap arah lain dan bergumam. "Tapi, bisa dibilang ini karma gue."

"Hah? Karma?" Ulangku yang mendengar gumaman itu tak terlalu jelas. Tak memberi penjelasan lebih, ia lanjut bicara. "Gue yakin setelah ini dia bakal putusin gue. Tapi, gimana ya? Gue rasa gue gak sanggup. Gak peduli ini memang karma gue atau bukan, rasanya gue udah kejebak sama dia gimanapun sifat dia."

"Emang sifat dia gimana?" Tanyaku. Menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ia berucap. "Dia itu... mungkin punya kepribadian ganda."

"Kok bisa?"

"Gue tahu dari pembantunya, sih. Menurut gue, ada hubungannya sama cewek yang dia taksir. Karena cewek yang dia taksir ini bener-bener dekat jaraknya tapi rasanya gak bakal tergapai. Mau ketemu si cewek ini pun katanya dia belum pernah tatap muka. Tapi, rasa ingin memilikinya tinggi. Dia kerahin seluruh usaha buat dapat identitas si cewek ini walau susah-susah gampang."

"Dan sekarang udah ketemu identitasnya?" Merespon pertanyaanku ini, Mika menggeleng. "Gue yakin kalo dia udah dapat info atau mungkin punya peluang buat ketemu, dia bakal putusin gue saat itu juga."

Tak tahu harus merespon apa, aku hanya bisa diam. Kini Mika sendiri menghela nafas. "Udah, ah. Gak ngerti gue sama cinta-cintaan ini. Rasanya terlalu aneh. Gue mau baca diary lo aja."

Awalnya, aku membiarkannya. Tapi, begitu ia memegang kunci, kini aku paham diary mana yang ia maksud.

"MIKA GILA LO, YA?! YANG ITU GAK BAKAL GUE KASIH!"

"IH TAPI PERCUMA GUE TAU ADA HAL 'MENARIK' DALAM LACI INI TAPI GAK GUE BUKA!"

"AAAA GAK MAO MIKA GUE GAK MAU KASIH LIAT ISINYA!"

"LO KOK JAHAT BANGET, SI?! TOH GUE TAHU GARIS BESAR ISINYA APAAN!"

Cklek

Pintu terbuka itu membuat kami menegang seketika. Takut, kami menolehkan kepala. "Bu-bunda?"

"TIDUR INI UDAH MALEM WOI!"

White FlagTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang