Sekarang kurang lebih pukul tiga pagi.
Dan saat ini aku terbangun dalam kondisi menahan hasrat ingin buang air kecil.
Aku melangkah malas menuju kamar mandi karena kondisiku yang setengah mengantuk.
Blub blub blub
Suara dispenser membuatku sempat tersentak. Menghela nafas gusar, aku membatin. Aku paling tidak suka situasi seperti ini. Gelap, sepi, dan suara-suara aneh menyapa. Sebenarnya bisa saja sih aku menghidupkan lampu. Tapi, aku terlalu malas. Di sisi lain, aku lumayan takut dengan gelap yang ku hadapi saat ini.
Jangan bilang aku aneh. Aku cuma labil.
Suara air menyapa pendengaran. Loh? Apa Bunda lupa mematikan keran?
Atau.... argh! Tidak, tidak, tidak! Aku benci makhluk halus! Lagipula, tidak pernah ada kejadian aneh-aneh disini. Awas saja kalau muncul! Akan ku buat ia mati untuk kedua kalinya dengan kebarbaranku!
Suara air itu kemudian berhenti tepat ketika aku ada di depan pintu kamar mandi. Aku cukup merinding, tetapi sudah berancang-ancang untuk memberi pukulan dan tendangan.
Cklek!
Deg
Mampus aku. Ada yang menahan tendanganku. Perlahan ku buka mataku yang memicing.
"Kamu ngapain?" Tanya kembaranku. Aku mengerjap, menatap tangannya yang menahan tendanganku. Baru saja aku hendak bergerak tapi aku malah nyaris terjatuh andai saja Zahir tidak sigap menahanku. Ia menghela nafas. "Jangan aneh-aneh, Lyn."
Aku cuma bisa nyengir. "Maaf." Cicitku.
Ia memperbaiki posisi kami karena jelas posisi ia yang menangkapku seperti ini bisa membuat siapapun salah paham. Walau hati kecilku menjerit, ingin posisi itu bertahan lebih lama.
Kapan lagi aku bisa punya adegan romantis dengan orang yang selama ini ku cintai?
"Aku mau pipis." Ucapku dengan wajah memerah malu walau samar. Ia mengangguk. "Kalau begitu, akan ku tunggu."
"Hm?"
"Ada hal yang ingin ku bicarakan denganmu hari ini. Tapi, karena tiba-tiba mereka menginap, aku tidak bisa membahasnya."
"Apa ini harus dibicarakan berdua saja?"
Zahir mengangguk. Khayalku melambung jauh. Tapi, itu tak lama karena Zahir berhasil menarikku kembali sadar.
"Lyn? Kok diam?"
Tertawa garing, aku menggeleng. Segera aku masuk ke dalam kamar mandi. Aku tidak langsung melaksanakan apa yang membuatku datang ke kamar mandi ini. Justru, aku sibuk melamun sambil memegangi dadaku.
Hal yang harus dibicarakan tapi hanya berdua saja.
Pernyataan cinta?
Batinku menjerit. Tapi, segera ku enyahkan pikiran itu. Kembalilah ke realitas, Cailyn. Selamanya anganku tentang Zahir takkan berubah menjadi nyata. Bahkan jika ia memiliki perasaan yang sama denganku sekalipun, kami takkan bisa bersatu. Kami sedarah. Selamanya akan tetap begitu.
Tapi, andai kata ia mengetahui perasaanku yang benar-benar salah ini... akan seperti apa reaksinya?
Jika ia memiliki perasaan yang sama, barang sedikit saja, akankah ia meminta untuk berjuang bersama? Atau justru ia akan meminta untuk melupakan perasaan ini?
Dan jika ia tak memiliki perasaan yang sama, akankah ia mengucilkanku? Membenciku? Menjauhiku?
Tersenyum kecut, tanpa sadar air mataku mengalir. Aku ingin sekali mengutarakan perasaanku ini. Tak peduli jika ia menolak sekalipun, aku ingin mengutarakannya. Tak apa. Setidaknya itu akan jadi tamparan keras yang cukup untuk menyadarkanku akan posisiku. Itu akan cukup untuk membuatku berusaha untuk berpaling karena ketika ia menolak, ia otomatis memintaku mencari orang lain yang tepat untuk menerima perasaanku.
Ah. Aku iri pada mereka yang menyatakan perasaannya pada orang yang disuka. Terlebih pada para gadis yang pernah menyatakan perasaannya pada kembaranku. Aku iri karena jelas aku tak bisa seperti itu.
Apalagi jika itu akan membuat jarak diantara kami. Aku tak mau ia menjauh hanya karena ketololanku menyatakan perasaan ini.
Mungkin memang lebih baik begini. Mencintainya dalam diam. Meski itu berlangsung selamanya, setidaknya kami akan tetap sedekat sekarang. Itu lebih baik. Akan lebih menyakitkan jika kami yang sedekat nadi ini tiba-tiba sejauh mentari.
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu itu membuat lamunanku buyar. Terlebih, ketika Zahir bicara setelahnya.
"Lyn, kamu lagi pipis atau pup? Masih lama?"
Mengerjap, aku tersadar.
Aku lupa kalau Zahir menungguku untuk membahas sesuatu berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
White Flag
Teen FictionFlying my white flag, I surrender. * Mungkin bagi kamu, Aku itu bagai udara. Aku ada di setiap detiknya untukmu. Selalu berada di dekatmu. Kamu pun membutuhkanku untuk hidup. Namun, kamu tak akan pernah menyadarinya. Menyadari tentang perasaanku. S...