Bagian Empat

55 8 0
                                    

"Bunda khawatir banget sama kamu, Lyn. Syukur Bu Rika baik. Bunda tadi juga kepikiran buat ke sekolah kamu dan jemput kamu. Eh, waktu Bunda siap-siap Bu Rika telpon Bunda."

Aku hanya tersenyum mendengar ocehan Bunda. Saat ini aku sedang terbaring di kasurku dengan kain basah yang menempel di kening. Bunda saat ini sedang mengambil termometer. Berniat mengukur suhu tubuhku. Tapi, tampaknya niatnya urung. Ia meraih buku bersampul merah dengan gambar hati. "Lyn, ini apa?"

Aku segera duduk. "Itu buku diary Cailyn, Bunda!" Bunda mengernyit, mengambil sebuah buku lainnya. "Jadi, kenapa ada dua?"

"Ah, itu.. itu yang satunya hadiah dari temen Cailyn." Bualanku membuatku jijik. Tidak ada orang yang memberiku hadiah selain Ayah, Bunda, Zahir dan Mika. Mika pun biasanya memberi souvenir yang ia jadikan oleh-oleh. Zahir biasanya memberi hadiah yang tak lain dan tak bukan akan berhubungan atau bergambar kucimg saking sayangnya ia pada kucing.

Apa? Dera? Idih. Seumur-umur aku mengenalnya, tak sekalipun ia memberikanku hadiah. Bahkan di hari ulangtahunku sekalipun. Alasannya ia lupa. Alasan lainnya katanya ia takut aku baper jika diberi hadiah olehnya.

Pede maksimal tuh anak.

Saking pedenya dia aku jadi gemas sendiri kepengen tenggelamkan dia di laut bareng Bu Susi Pudjiastuti yang menenggelamkan kapal-kapal yang menangkap ikan secara ilegal.

Bunda mengangguk-angguk. "Ini pasti bukan dari Zahir karena gak ada kucingnya. Bukan dari Mika karena kayaknya bukan souvenir. Oh. Dari Dera, ya?"

Maafkan aku Dera. Batinku sebelum aku mengangguk. "Iya, Bun." Bunda tersenyum senang. "Bagus deh kalian ada kemajuan."

Aku mengerjap. Eh?

Tak mau membahasnya lebih panjang, aku memilih untuk mengalihkan pembicaraan. "Bunda, besok Lyn mau---"

"Masih sakit. Gak boleh." Potong Bunda membuatku melongo. "Kalo besok sembuh?"

Bunda menggeleng tegas. Aku meringis.

"Sebentar aja, Bunda. Zahir besok ada turnamen basket. Masa iya aku gak nonton? Aku kembarannya loh, Bun." Bujukku yang masih ditanggapi Bunda dengan gelengan tegas. "Gak. Sekali enggak tetap enggak. Bunda yakin andai Zahir tahu kamu kekeuh lihat dia di turnamen padahal sakit dia juga bakal ngelarang kamu."

"Kalo besok aku sembuh?"

"Kamu tetap harus tinggal di rumah. Pemulihan."

"Tapi--"

"Mau Bunda tanya pendapat Zahir sekalian?"

Oke. Aku hanya bisa diam sekarang. Bunda benar. Zahir pun pasti akan melarangku. Kekhawatiran Bunda dan Zahir terhadapku sama besarnya. Berimbang. Sebelas dua belas.

Aku mengerucutkan bibir.

Bunda menghela nafas. Akhirnya mengambil termometer dan mengukur suhuku.

"Tinggi banget." Ucapnya. Ia mengusap pipiku dengan ekspresi khawatir. Aku hanya tersenyum. Mencoba memberitahu bahwa penyakitku tidak separah itu hingga seharusnya ia tak perlu khawatir berlebihan.

Kini Bunda mencium kedua pipiku, "Bunda ambilin makanan buat kamu dulu, ya. Tadi Bunda sebelum ke sekolah udah masakin bubur. Jadi harusnya sekarang udah matang."

Aku mengangguk. Tepat ketika Bunda menutup pintu, segera aku meraih kedua buku diary bersampul merah. Duh. Harusnya tidak ada yang tahu bahwa aku punya dua buku diary.

Begini. Aku ingin mencurahkan isi hatiku tentang perasaanku pada Zahir. Sebagai kamuflase, aku membeli dua buku yang sama. Niatnya sih biar gak terciduk curhat di buku diary perihal Zahir. Maka aku buat yang satunya sama sekali tidak membahas 'perasaan aneh' milikku terhadap Zahir. Jadi andai dibaca pun tak masalah. Yang penting buku diary utamanya jadi tak tersentuh.

Segera aku bolak-balik buku diary itu. Memastikan mana yang asli dan mana yang penyamaran. Lalu ku masukkan buku diary asli ke laci yang dapat dikunci dan membiarkan yang satunya tergeletak di meja belajar.

Langkah kaki Bunda dapat terdengar olehku. Segera aku kembali ke kasur, memposisikan diriku seperti tadi. Ku atur nafasku agar jantungku tak berdegup kencang. Duh. Padahal jaraknya tak sampai selangkah. Tapi jantungku berdegup dengan cepat. Apa ini efek dari melakukan sesuatu secara diam-diam?

Ceklek

Pintu dibuka. Bunda tersenyum menatapku. Pelan-pelan ia melangkah ke kasurku sebelum akhirnya duduk di tepian, meletakkan bubur tadi di meja belajar yang letaknya memang tepat disamping kasur. Ku posisikan diriku duduk.

"Bunda suapin, ya?"

Aku mengangguk. Setelah makananku habis, lima menit berselang aku disuruh tidur. Dan akhirnya aku terlelap, menggapai alam mimpi dan meraih segala angan yang tak dapat ku wujudkan di dunia nyata.

 Dan akhirnya aku terlelap, menggapai alam mimpi dan meraih segala angan yang tak dapat ku wujudkan di dunia nyata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
White FlagTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang