Bagian Tujuh

28 6 0
                                    

Hari ini aku benar-benar sendirian dari rumah mulai pagi. Ini masih jam satu siang. Turnamen basket yang Zahir ikuti berakhir pukul lima petang nanti. Itu artinya Bunda dan Zahir akan tiba di rumah pukul enam mengingat waktu tempuh tempat turnamen dan rumah memakan waktu satu jam.

Aku bosan. Sangat bosan.

Tadinya, aku berniat untuk menelpon Mika. Sayangnya nomor gadis itu sedang sibuk. Tak dapat dihubungi. Mungkin sedang menghubungi orang lain.

Ku langkahkan kakiku dengan malas menuju dapur. Bunda sudah menyiapkan bubur cepat saji jadi aku tinggal memanaskan air dengan dispenser untuk membuatnya. Obat juga tersedia di meja belajarku. Sengaja agar aku tidak beralasan lupa minum obat pada Bunda.

Bunda dan Zahir benar-benar paham betul akan kebiasaan burukku itu. Kebiasaan buruk apa? Kebiasaan buruk untuk memberi seribu satu alasan agar tidak minum obat tentunya.

Aku menatap dispenser dengan jengah. Berharap jika ditatap seperti itu ia akan mengerjakan tugasnya untuk memanaskan air lebih cepat. Tentu saja itu tak akan terjadi semengerikan apapun tatapanku pada dispenser yang tak bersalah itu. Sepuluh menit berlalu, akhirnya air di dispenser itu sudah selesai dipanaskan. Ku ambil bubur instan yang terbungkus wadah plastik kuning. Walau malas, rasa lapar ini terlalu mengerikan untuk diabaikan.

Buburku sudah jadi. Segelas air hangat pun sudah ditanganku. Segera aku menaiki tangga, berjalan menuju kamarku.

Makanan ku cerna sambil menikmati tayangan yang ada di youtube. Aku membuka video-video orang bermain playdoh dibentuk menjadi aneka ragam rupa. Katakanlah seleraku kekanakan. Aku tak peduli. Melihat mainan playdoh dibentuk-bentuk memberi sebuah nilai ketentraman sendiri untukku.

Setelah selesai, aku menaruh wadah bubur dan gelas yang isinya telah ludes masuk ke pencernaan itu di meja belajar. Menatap sekeliling kamar, aku berpikir apa yang hendak kulakukan saat ini hingga akhirnya pandanganku terarah ke balkon.

Tidak ada salahnya menghirup udara segar saat ini.

Aku membuka pintu yang membatasi kamarku dan balkon. Ada sebuah meja dan kursi disana yang sengaja dibuat agar aku bisa bersantai di kamarku. Kata Ayah alasan lain dibuatnya balkon itu di kamarku agar aku bisa melihat-lihat pemandangan dan menyalurkan hobi menggambarku.

Udara sepoi-sepoi menyapaku. Aku sibuk bergelut dengan pikiranku sendiri hingga akhirnya suara mobil menyita perhatianku.

Apa Bunda dan Zahir sudah pulang? Atau itu Ayah?

Memicingkan mata, aku meneliti mobil itu.

Itu bukan mobil kami.

Tapi, kenapa mobil itu berhenti tepat di depan gerbang?

Aku memerhatikan dari atas sini dengan waspada. Tampaknya jendela mobil tersebut terbuka. Samar, ku lihat seorang laki-laki disana. Pandangannya tertuju padaku. Aku refleks menegang, takut kalau-kalau ia punya niatan jahat. Ia tidak keluar dari mobilnya itu. Justru ia tampaknya tersenyum sebelum akhirnya melambaikan tangan padaku seakan menyapa. Setelahnya, ia melajukan mobilnya pergi.

Mengernyit, aku mengikuti pergerakan mobil tersebut dengan indra pengelihatanku sebelum akhirnya mobil itu tak lagi tampak.

Orang itu... apa niatnya?

Maling? Pencuri?

Ah. Mana ada pencuri atau maling yang memantau dengan mobil mewah dan menyapa calon korbannya seperti itu. Jelas itu akan menimbulkan kecurigaan.

Hm. Atau barangkali mungkin?

Aku bergidik ngeri, memilih untuk segera masuk dan mengunci pintu balkon tersebut. Segera aku mengunci semua pintu di rumah ini. Setelah memastikan semuanya terkunci, aku kembali ke kamar.

Ting!

Sebuah notifikasi masuk ke ponselku. Pesan dari nomor tak dikenal. Aku meneguk ludahku sendiri. Otakku langsung menghubungkan pesan yang belum ku buka ini dengan kejadian tadi.

Apa mungkin orang di mobil tadi berniat menerorku?

Tanganku gemetar. Takut. Walau begitu, aku tetap membuka pesan tersebut untuk melihat apa maunya.

+62××-××××-××××

Selamat! Anda mendapat grandprize mobil di acara gebyar-gebyar aselole!

Anying.

Penipuan, toh.

Tanpa sadar ku hela nafas lega. Kesal juga sih karena pesan semacam ini masuk disaat yang tidak tepat. Ah, tidak juga. Kapanpun aku melihat pesan semacam ini pasti aku merasa kesal. Tapi, gimana ya? Rasanya karena tadi aku sedang tegang karena takut diteror dan mendapat pesan semacam ini rasa kesalku jadi berlipat-lipat.

Baru saja akan ku letakkan ponselku ke meja belajar. Tapi ponselku kembali berdenting.

Nomor tak dikenal lagi.

Astaga. Mau berapa kali oknum-oknum penipu ini mengirimi pesan?

Ku buka pesan tersebut namun setelahnya aku menyesal.

+62××-××××-××××

Kamu terlihat lebih cantik dibandingkan dengan yang ada di foto.

White FlagTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang