Bagian Dua

76 9 4
                                    

Aku mendesah berat melihat jadwal belajarku. Terlalu padat. Tetapi, aku tetap ingin belajar di dua kursus bimbingan ini. Efeknya aku tak mendapat waktu yang cukup untuk sekedar bersantai.

Di satu sisi, aku ingin tetap belajar di kursus.

Tapi, di sisi lainnya aku tidak ingin menjadi orang maniak belajar yang melewati masa mudanya hanya dengan buku setebal dosa di setiap harinya.

Dilema.

Di tengah dilema yang melanda, ponselku berdering. Nama seseorang terpampang disana. Aku tersenyum. Dia menelpon di saat yang tepat.

"Halo?"

"Mikaaaaaa! Kenapa sih lo gak masuk hari ini?!" Keluhku membuat gadis bernama lengkap Samika Oditi itu terkekeh. "Hehehe. Kangen, ya?"

"Gak juga sih."

"Hilih! Pasti kangen nih! Kangen berat, kan? Wajar, sih. Gue kan cantik."

Sip. Ini dia sisi paling menyebalkan Mika. Narsisnya melebihi batas wajar.

Yah. Walau aku pun tak tahu apa batas wajar kenarsisan seseorang itu ada atau tidak.

"Serius deh, Mik. Lo kenapa gak masuk?"

"Liburan ke Maldives. Lo lupa, ya? Kan gue udah cerita." Balas Mika membuatku jadi teringat obrolan kami beberapa minggu yang lalu. Seorang Samika Oditi memang anak orang kaya. Keluarga Oditi punya lahan sawit berhektar-hektar yang diwariskan kepada Ayah Samika berhubung Ayahnya adalah putra tunggal.

Samika itu hedon. Banget. Tapi, terkadang, saking gilanya sikap Mika ketika aku bersamanya, aku jadi lupa kalau dia anak holang kaya.

Oke. Balik ke permasalahan utama.

"Mika, gue lagi dilema nih."

"Oh. Dilema tentang gimana caranya move on dari kondisi siscon akut lo itu?"

Aku berdecak. "Anjir banget ya lo, Mik." Ia lagi-lagi terkekeh membuatku mau tak mau mendengus. "Mik, serius deh. Ini penting banget."

"Yaudah. Apaan?"

"Gue mending tetep ikut dua kursus walau padat banget jadwalnya atau---"

"What the hell you asking for?! Hellooo, Cailyn Allegra tercinta! Gimanapun juga masih mending lo pikirin gimana caranya keluar dari bayang-bayang hubungan asmara lo sama your dearest brother Valerian daripada bahas kursus. Lagian lo ngapain ikut kursus, sih? Udah pinter juga. Mau saingan sama Einstein lo?" Mika jadi sewot sendiri. Aku memanyunkan bibir. "Gue kan belom bisa saingin Zahir."

"Kesel banget deh ngomong sama orang pinter kayak lo."

"Heh yang ranking tiga tolong ngaca, ya."

"Wow! Gue cantik banget! Makasih udah saranin gue buat ngaca!"

Aku menarik senyum tipis. Mencoba menahan kesal yang sudah sampai ke ubun-ubun. Syukur teman. Kalau tidak mungkin gadis itu sudah ku tenggelamkan.

"Duh. Lo gak bisa kasih saran ke gue tentang jadwal les, gitu?" Tanyaku lagi mendesaknya yang justru dijawabnya dengan malas. "Gue cuma mau nanggepin kalo lo mau bahas gimana caranya keluar dari perasaan gak sehat yang lo punya ke Vale. Selain itu, gue gak mau bahas."

"Tapi---"

"Oh, iya. Gue udah punya oleh-oleh yang bagus buat lo dan Vale. Sampai jumpa minggu depan! Kalo kangen chat gue, ya!"

Sambungan telpon dimatikan sepihak oleh Mika. Aku hanya bisa mendengus. Padahal Mika itu temanku. Masa aku tidak bisa konsultasi perihal jadwal belajar dan lesku padanya?

....gimana caranya keluar dari perasaan gak sehat yang lo punya ke Vale

...perasaan gak sehat...

Ah. Kata-kata Mika berhasil membuatku kepikiran.

Perasaan gak sehat, ya?

Aku tersenyum tipis. Ya. Perasaanku pada Zahir memang tidak sehat. Kami memang sudah sepantasnya saling menjaga dan saling menyayangi, dalam cakupan kakak-adik.

Bukan lawan jenis.

Aku sanggup menjaga diriku. Tapi, Zahir berkeinginan untuk menjagaku atas rasa bersalahnya. Awalnya, aku pikir aku akan risih dan merasa lemah. Tapi, aku justru jatuh dalam sebuah perasaan. Seolah-olah, anganku berkhayal.

Jadi, seperti ini rasanya seorang putri diselamatkan oleh pangeran berkuda putih?

Perlakuannya padaku, bentuk perhatiannya padaku, serta bagaimana ia menjagaku dengan begitu kerennya membuatku jatuh dalam perasaan yang tidak sehat. Perasaan yang seharusnya tidak pernah dan tidak boleh ku miliki.

Menghela nafas, ku raih laci meja belajarku dan ku buka kuncinya. Ku ambil buku diary yang diam-diam selalu ku sembunyikan. Buku diary satu ini memuat segala keluh kesahku tentang rasa yang tak sepantasnya ada.

Buku diary ini adalah teman curhatku yang setidaknya akan selalu mendengar dan menerima segala curhatanku.

Tanpa berkomentar dan tanpa menilai seberapa salah perasaanku ini pada kembaranku.

*

Say hi to Samika Oditi♡

Say hi to Samika Oditi♡

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
White FlagTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang