Aku Ayu Biru Haqiqi.
Selalu mengimpikan mempunyai suami seorang pria muda, tampan dan berwibawa. Seperti Bosku di perusahaan tempat aku bekerja. Selama 1 tahun aku sudah memimpikan saat aku bisa memikat hatinya. Dan memang gayung bersambut, aku tiba...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rambutku pagi ini tidak mau di ajak berkompromi. Karena semalam aku keramas, akhirnya pagi ini rambutku mengembang seperti sarang burung. Rasanya pingin potong abis rambutku kalau terus begini. Aku sudah putus asa, karena rambutku yang keriwil ini membuat suasana hatiku tidak membaik. Apalagi aku masih mengantuk, karena Abyan mengajakku berangkat kerja sangat pagi sekali, sampai kantor pun masih pukul 7 pagi, padahal jam kerjaku sama jam 9. Alhasil aku duduk di depan meja pantry. Minta di buatkan kopi oleh Karjo. Sedangkan Abyan sudah pergi entah kemana, katanya akan menemui investor. Ah dia membuat hidupku penuh dengan nano-nano. Tadi pagi saja dia sudah membangunkanku tepat di depan pintu kamar. Dia sudah segar beraroma sabun, sedangkan aku masih penuh iler dan kotoran mata. Hadeh, timpang sekali memang.
"Mbak Biru tumben pagi banget?"
Karjo meletakkan satu cangkir kopi panas mengepul di depanku. Aku hanya tersenyum kecut mendengar celetukan Karjo.
"Lagi rajin berangkat kerja, biar dapat bonus akhir tahun," jawabku asal sambil menyesap kopi yang masih terasa panas.
"Lah bukannya Mbak Biru, udah mau jadi istrinya Pak Bos ya?"
Aku tersedak mendengar ucapan Karjo. Asem. Rasa kopinya yang masih panas malah membuat tenggorokanku seperti terbakar. Karjo nampak bersalah saat menatapku, lalu dia buru-buru mengulurkan satu gelas air mineral kepadaku.
"Maaf Mbak."
Aku meneguk air putih itu sampai habis, lalu menatap Karjo dengan sebal.
"Kamu dapat gosip darimana?"
Karjo menggaruk tengkuknya dan menyeringai lebar "Itu, dari Pak Angga. Kemarin beliau bilang, kalau saya harus menuruti apa yang di perintahkan Mbak. Soalnya Mbak kan udah mau jadi calon Mamanya gitu."
Mataku melebar mendengar ucapan Karjo. Dasar ya si calon anak tiri tuh memang ember. Dia ini membuatku tidak bisa berkutik, aku harus menegurnya.
*****
"Mom?"
Aku makin melotot ke arah Angga yang sepertinya terkejut mendapatiku ada di dalam ruangannya. Aku memang meminta ijin kepada Mbak Esti, selaku sekertarisnya untuk mengijinkanku masuk ke dalam ruangannya. Angga kini sudah berdiri dari duduknya dan melangkah mendekatiku.
"Pak, jangan panggil Mom, saya belum jadi Mama anda."
jawabanku yang ketus malah membuat Angga kini tersenyum. Ah sungguh sangat manis memang senyum itu. Tapi sayang senyum itu bukan milikku. Angga menyuruhku duduk di sofa putih yang ada di dalam ruangan kantornya ini.
"Kenapa? Papa ada salah sama Mom?"
Tuh kan... memang dasar anak bandel. Aku hanya menggelengkan kepala dan kini menatapnya dengan galak. Kalau memang harus menjadi mama tirinya, aku akan menjadi mama tiri yang galak.
"Kamu itu yang nyebarin gosip nggak bener, kenapa sampai Karjo juga tahu kalau aku mau jadi Mama kamu."
Ah aku ngelunjak ini kayaknya. Kok aku kamu-kamu in bos aku coba? Duh otakku memang udah keriting ini. Angga kini malah terkekeh mendengar ucapanku. Dia bahkan kini menatapku dengan senyum jenakanya itu.
"Kan memang sebentar lagi Mom jadi Mama aku. Jadi nggak ada salahnya mengumumkan kepada semua orang. Ini kabar bahagia."
Aku hanya mendengus sebal mendengar jawabannya yang lugas itu.
"Kenapa senang banget aku mau jadi Mama tiri kamu?" Kali ini Angga tampak serius menatapku, meski senyum masih menghiasi wajahnya.
"Karena aku bahagia, Papa akhirnya menemukan tambatan hatinya. Papa itu butuh orang yang menyayanginya, seperti beliau menyayangiku sejak dulu. Aku akan menikah, dan tidak tega meninggalkan Papa seorang diri. Maka, aku sangat senang karena ada Mom yang akan mendampingi Papa."
Aku masih diam mendengar ucapannya. Memangnya aku akan menerima Papanya?
"Kenapa Mom tampaknya masih ragu?"
Pertanyaan itu kali ini membuat aku menghembuskan nafas dengan lelah.
"Kamu kan tahu umurku berapa, dan Papa kamu berapa?"
Wuah, aku pasti mendapatkan rekor menjadi karyawan paling kurang ajar of the year. Aku jadi merasa tidak enak ber aku kamu sama Angga.
Angga kini kembali mengulum senyumnya "Mom, apalah arti sebuah umur? Bukankah kedewasaan seseorang tidak ditentukan oleh umur? Mom pasti tahu itu. Jadi terimalah Papa. Dia pasti akan membahagiakan Mom."
Aku kembali menghela nafas, susah kalau seperti ini.
"Tapi aku dan Papa kamu itu beda server. Ibarat towernya terpisah dan tidak ada sinyal yang akan saling bertemu. Gimana bisa coba aku hidup bersamanya?"
Mendengar jawabanku kini Angga menatapku lekat "Percaya Mom, kalian itu sama servernya."
*****
Gila.
Aku hanya terus mengatakan itu dalam hati. Kenapa bisa sama servernya? Kalau sekarang saja aku sudah kembali sangat kucel. Rambutku aku gelung dengan pita rambut yang aku temukan di kantong celana jinsku. Sepatu ketsku sudah berwarna coklat karena sudah satu minggu tidak aku cuci, bahkan kemeja kedodoranku sudah tampak menenggelamkanku. Sedangkan si pria yang mengaku sebentar lagi akan menjadi suamiku itu masih wangi, rapi dan sepertinya seharian ini dia benar-benar tidak mengacak-acak rambutnya. Bahkan sikap tubuhnya yang selalu tegap membuatku terheran-heran.
Abyan memang menjemputku di kantor seperti biasa, tapi dia tidak segera membawaku pulang. Sekarang aku malah tertahan di sini. Balroom hotel mewah, aku di suruh menemaninya untuk memenuhi undangan makan malam kliennya. Dan aku merasa paling gembel di sini. Entah kenapa Abyan tidak malu sedikitpun mengajakku ke sini. Sejak tadi tangannya terus menggandengku. Membuat aku sedikit kikuk. Padahal tatapan mata tiap orang pasti mengernyit atau merasa heran.
"Jadi, ini calon istri anda?"
Pertanyaan dari seorang pria paruh baya yang ada di depan kami membuat Abyan langsung menganggukkan kepala.
"Iya. Namanya Ayu. Calon istri saya."
Jawaban yang tegas itu hanya membuat aku terdiam. Pria di depan kami menatapku lekat, lalu tersenyum.
"Rupanya selera anda memang berbeda ya?"
Eh maksudnya apa tuh? Aku langsung melotot ke arahnya. Tapi pria itu sudah mengalihkan tatapan ke Abyan. Terdengar tawa renyah di sampingku.
"Memang berbeda. Karena saya memilih dengan hati, bukan dengan mata."
Mampus. Jawaban yang hebat. Aku bahkan sempat menoleh ke arah Abyan yang masih menatap lawan bicaranya dengan tenang. Aku salut dengan ketenangan Abyan.
"Baiklah, kalau semua sudah selesai, saya pamit untuk pulang."
Akhirnya acara ini berakhir. Aku dan Abyan beranjak berdiri, kami bersalaman dengan pria tadi yang aku bahkan tidak mau menghafal namanya. Abyan langsung merangkul bahuku begitu kami keluar dari hotel ini.
"Maaf. " Bisiknya saat membawaku ke depan mobilnya yang ada di parkiran hotel. Aku hanya menganggukkan kepala dan masuk ke dalam mobilnya. Bahkan tidak berbicara sedikitpun saat kami sama-sama sudah di dalam mobil.
"Kamu pasti tidak nyaman ya?"
Dia yang memulai berbicara. Dan aku akhirnya menatapnya. "Bang, kayaknya aku memang nggak bisa mendampingi Abang. Jadinya kan malu-maluin kayak tadi. Dikira Abang bawa anaknya tadi." Abyan malah tersenyum mendengar ucapanku. Dia mengulurkan tangan untuk mengusap kepalaku.
"Kenapa? Padahal saya juga baik-baik saja. Mau kamu seperti apa, saya tetap tidak akan malu. Karena kamu itu sudah membuat saya nyaman. Jadi maafkan saya yang sudah membuat kamu seperti tadi."
Ucapannya membuat aku menghela nafas. "Jadi aku tetep nggak boleh nolak Abang?"
Dia menoleh ke arahku dan tersenyum lagi "Kamu enggak akan mungkin menolak saya. Percaya deh."
Aih kenapa dia sangat percaya diri sekali?
BERSAMBUNG
SI KRIWIL MULAI BERAKSI...HUHUHU RAMEIIN LAGI YUHUUU