“Hyunji!”.
Samar-samar aku melihat seseorang datang kepadaku.
“Hyunji?”
Aku mengangkat kepalaku yang tertunduk, Junyeong.
Junyeong datang padaku, aku ingin sekali memberi tahunya tapi kata-kata itu terhenti di tenggorokan bersamaan dengan rasa sakit dalam hatiku.
Junyeong masih menatapku kebingungan kemudian merengkuhku ke dalam pelukannya. Seakan menyadari sesuatu yang terjadi padaku setelah melongokkan kepalanya ke arah kamar unitku.
Dan aku semakin terisak dalam rengkuhannua. Ini semakin membuatku merasa bersalah.
Bukankah keputusanku akan sangat menyakiti Junyeong sedangkan apa yang Junyeong lakukan selama ini? Bukankah aku terlalu kejam dan terlalu egois?
Aku masih dalam rengkuhannya ketika Junyeong berbisik untuk mengajakku ke suatu tempat.
Aku mengangguk, aku sedang tidak ingin pulang.
Junyeong membantuku berdiri dan aku terhuyung. Kakiku sudah tak kuasa lagi setelah kupaksa menaiki tangga hingga lantai17.
“Naiklah”. Junyeong menawarkan punggungnya.
“Tidak Junyeong aku sanggup berjalan”. Kekeuhku.
Junyeong memapahku hingga di depan tangga dan aku terhuyung lagi. Junyeong tidak bisa membiarkanku seperti ini, ia segera menarik tanganku untuk segera menaiki punggungnya. Junyeong berjongkok di depanku, perlahan aku mulai menaiki punggungnya.
Junyeong mulai menuruni tangga dengan menggendongku. Kutenggelamkan wajahku dibalik punggungnya tidak ada pembicaraan diantara kami hingga sampai di depan mobilnya. Aku baru saja tersadar, hari ini adalah jadwalku dengan Junyeong untuk membicarakan kasus surat-surat yang sudah lama tidak lagi dikirimkan padaku.
Junyeong menurunkanku, aku perlahan masuk ke dalam mobil. Junyeong duduk di balik kemudi sedetik kemudian mobil yang ia bawa sudah membelah jalanan ibukota yang ramai.
Perjalanan ini terasa sangat jauh, aku tidak mengenal daerah ini. Sepertinya kita sampai di perbatasan kota sebab pemandangan sekarang bukan lagi gedung-gedung tinggi melainkan pohon-pohon atau lebih tepatnya seperti hutan.
Junyeong menghentikan mobilnya di depan sebuah toko. Toko ini terlihat begitu antik, aku memerhatikan sekitar. Sesekali terlihat orang berlalu lalang namun itu tidak mengubah suasana sepi ini.Junyeong kembali.
“Kau masih menangis?”
Aku mengernyitkan dahi, bahkan sekarang aku sudah sedikit lega setidaknya aku tidak lagi mengingat kejadian di depan apartemenku. Tangan Junyeong meraih wajahku, mengusap air mataku sembari tersenyum.
“Apa yang perlu kau tangisi?”. Ujarnya sembari menyodorkan kotak tisu padaku.
“Ini dimana Junyeong? Kau ingin membawaku kemana?”. Tanyaku setelah membersihkan wajahku dengan tisu yang ia sodorkan.
Aku menatap Junyeong karena dia tidak merespon pertanyaanku. Junyeong menggerak-gerakkan tangannya, aku mengernyitkan dahi.
“Ya! Kau benar-benar gila!”.
Bentakku saat memahami kode gerakan tangannya dan melemparinya dengan kotak tisu yang tadi ia berikan padaku.“Nah! Sekarang Hyunji sudah kembali pada ke-bar-baran. Aku suka”. Junyeong seakan terkejut dengan perkataanya sendiri. Suasana menjadi awkward hingga Junyeong kembali menjalankan mobilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BackStage || Zhong Chenle
FanfictionKalian tahu aku memiliki kartu AS keluarga Zhong Chenle? Dan aku yakin kalian akan merasa sangat iri denganku. Ah! ya satu hal lagi aku adalah teman masa kecil Chenle. . . . Itu terjadi karena aku sangat dekat dengan keluarganya. Mengapa? Bagaiman...