Chapter 11

1.2K 115 13
                                    

Matanya masih tertutup. Selang infus menempel ditangannya. Sudah satu jam lebih dia belum sadar dari pingsannya. Masih beruntung dokter berkata kalau kandungannya tidak terjadi apa-apa. Plan hanya shock sehingga tidak sadarkan diri.

Disebelahnya, Mean hanya memandangi wajah Plan. Ia menyesal telah membawanya untuk ke rumah orangtua Plan. Sungguh Mean sangat merasa bersalah. Dia tidak ingin melihat orang yang disayanginya seperti ini. Jadi tidak salah jika dia melakukan sesuatu untuk membuat orang yang menyakitinya jera dan tahu kalau seorang Mean tidak pernah main-main dengan kata-katanya.

Dia melihat Yim yang tertidur di sofa kamar perawatan. Setelah dia melihat ke arah Plan sebentar sebelum keluar dari kamar tersebut.

Mean berjalan menuju pintu kamar dan keluar dari ruangan tersebut. Ketika sudah berada di luar, dia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. Dia menekan beberapa digit telepon yang menghubungkannya dengan sang asisten.

"Hallo" ucap orang di seberang sana saat mengangkat teleponnya.

"Aku tidak mau berbasa-basi. Cari tahu tentang keluarga dari Plan Rathaavit. Cari sampai mendalam. Kutunggu laporanmu besok pagi di emailku. Mengerti?" perintah Mean pada sang asisten.

"Ya Bos." Mean mematikan teleponnya dengan asistennya.

Saat dia sudah selesai menelepon, Mean kembali masuk ke dalam kamar perawatan Plan. Dia kembali duduk di kursi disamping Plan.

"Cepatlah sadar. Kau tidak tahu secemas apa aku hm." ucap Mean sembari menggenggam tangan Plan dan menciumnya.

Tidak lama, Mean merasakan pergerakan di jari Plan. Seketika dia mendongakkan kepalanya tepat ke wajah Plan.

Plan membuka matanya perlahan. Silau cahaya lampu yang menyambutnya untuk pertama kali. Dia menyipitkan matanya saat cahaya lampu tersebut memaksa untuk masuk. Dia membiarkan sebentar. Setelahnya dia melihat ke arah samping kiri dan kanan. Tepat di sebelah kanan, dia kaget saat melihat Mean yang tengah tersenyum padanya.

Ia bingung. Plan bingung sedang berada dimana. Seingatnya dia sedang berada di rumah orangtuanya.

"Kau sudah sadar Plan? Sebentar aku panggilkan dokter." Plan hanya menganggukkan kepalanya saja untuk menjawab Mean. Dia masih tidak kuat untuk menjawabnya.

Mean menekan tombol hijau di dekat ranjang Plan. Selang beberapa menit kemudian, seorang dokter laki-laki masuk ke kamar rawat tersebut.

Saat sudah di samping Plan, dokter tersebut memeriksa Plan. Dia memasangkan benda dingin ke telinganya dan juga benda dingin tersebut dia tempelkan di dada Plan juga perutnya.

"Ah syukurlah keduanya sehat. Walaupun Tuan Plan masih perlu banyak istirahat. Jadi kami sarankan untuk menginap disini dahulu. Besok baru anda boleh pulang." Jelas dokter tersebut dengan ramah. Mean tersenyum dan menjawab terimakasih. Plan pun tersenyum saat mendengar kalau keadaan bayinya sehat.

Setelah memeriksa Plan, dokter tersebut meninggalkan ruangan Plan.

"Untung kalian baik-baik saja." Ucap tulus Mean sembari mengelus kepala Plan.

"Emm ya terimakasih. Dimana Yim?"

"Dia sedang tidur disana." Jawab Mean dengan menunjuk arah sofa. Plan mengikuti arah telunjuk Mean dan tersenyum setelahnya.

"Apa dia melihat kejadian tadi?" tanya Plan.

"Jangan kau pikirkan kejadian tadi. Kata dokter kau tidak boleh strees dan berpikir terlalu keras." Jelas Mean mengikuti saran yang diberikan oleh dokter kepadanya.

"Aku pergi membeli makanan sebentar. Kau sedari tadi belum makan." Ya, mereka belum makan karena Mean menunggu Plan untuk sadar. Setelah meminta izin pada Plan, Mean keluar untuk mencari makanan.

Being A Mother (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang