Delapan Belas

140 16 3
                                    

Dalam perjalanan pulang, Levon terus-menerus memandang ke arah Agni setiap kali ia ada kesempatan. Agni berusaha membaca sikap Levon yang sedikit berbeda saat ini. Seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan.

Hari ini adalah sebuah waktu yang panjang bagi Agni. Mempromosikan produk terbarunya sendirian karena ayahnya ingin menjadikan Agni sebagai sole creator IDS. Menghadapi perasaannya yang tegang karena khawatir dengan mimpi yang terasa nyata itu, ketakutan terbesarnya atas kehilangan sang adik. Kemudian berbicara dengan Leona. Fakta bahwa ia telah merubah jalan cerita yang awalnya sudah tertulis, dan perubahan yang terjadi karenanya. Seperti waktu kecelakaan yang menjadi lebih cepat, adiknya yang tidak ada disana dan alasan yang berbeda. Sepanjang hari, Levon berada di sampingnya.

Tanpa ia sadari, lelaki itu berada disampingnya, mendukungnya, tanpa berkata apapun. Awalnya ia berpikir Levon akan menjadi orang yang sombong, the overbearing CEO that people talk about. Seperti dalam sebuah cerita. Tapi nyatanya, lelaki yang ada di sampingnya ini adalah orang biasa. Ia bertanya ketika tidak tahu. Tidak mengambil sikap tanpa alasan. Berusaha keras untuk menghabiskan waktu dan mengenal Agni.

"Fokus ke jalan deh." Ucap Agni pada akhirnya. Ia ingin menghentikan sikap Levon yang sibuk menatapnya, sungguh sebuah hal yang tidak baik dilakukan saat menyetir.

"Aku memperhatikan jalan kok."

"Ya, tapi kamu melihat ke arahku tiap sebentar. It's dangerous." Kata Agni lagi.

Lelaki itu menghentikan mobilnya ke salah satu jalan yang kosong. Jalan menuju perumahan yang sepi.

"Kenapa berhenti?" Tanya Agni bingung.

"I can't help."

Agni menatap Levon yang serius menghadapnya. Berusaha menemukan arti dibalik kalimat yang lelaki itu ucapkan.

"Tiba-tiba aku berpikir kalau aku gak pengen lihat kamu menangis seperti teman kamu."

Agni terkekeh, "Kenapa kamu pikir begitu?"

"I don't know. Aku berpikir bagaimana jika kamu bisa terus tertawa. Bagaimana jika ketika kamu menangis, aku yang akan menenangkan kamu."

"That's very sweet, Levon." Balas Agni. Ia masih tidak memahami kontek pembicaraan yang diucapkan Levon.

"I want you to be happy, always."

"Semua orang ada waktu dimana mereka akan menangis. Kalau aku menangis, aku lebih prefer ada seseorang yang menemani aku menangis. Instead of telling me everything's will be fine. Karena aku tahu sesuatu terjadi dengan alasan."

"Okay, aku akan menemani kamu kalau menangis."

"Oh, tapi aku gak bilang orang itu adalah kamu." Jawab Agni lagi.

Levon memegang erat tangan Agni, "Sepertinya aku benar-benar jatuh hati sama kamu."

Agni tersenyum. Dalam kehidupannya ini dan masa depan yang ia alami, ini adalah pertama kalinya ia mendapatkan pernyataan cinta yang tulus. Ia melihat raut wajah Levon yang jujur padanya. Berbeda dengan raut wajah Elang dalam bayangannya yang disadari adalah sebuah paksaan. Akting. Kebohongan.

Seperti perempuan muda pada umumnya yang mendapatkan pernyataan cinta, jantungnya berdegup dengan cepat. Ia berdebar dan tersanjung dengan Levon.

"Lalu?" Keduanya saling bertatapan.

"Can we have a story together?"

Bisakah kita membangun cerita bersama adalah kalimat yang tidak pernah dibaca dan didengar oleh Agni. Mendengarnya dari bibir Levon membuatnya merasa... bahagia. Ia tidak tahu definisi bahagia yang sebenarnya, akan tetapi, ada sesuatu yang membuatnya merasa percaya dengan kalimat yang diucapkan Levon. Ia tahu ada kepercayaan diantara mereka.

It's too far to call it love, it is too shallow to call it dating. We called it a relationship.

***

Agni, pemeran utama [discontinue]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang