Enam

134 14 0
                                    




Jika di dalam novel akhir hidup Agni kemudian mati dalam kesepian dan depresi karena Elang yang sibuk dengan hidupnya sebagai seorang pengusaha muda, dan Leona merasa kehilangan dengan kepergian sahabatnya. Maka akhir yang ada di dalam memori Agni lebih dari itu.

Ketika ia menikah dengan Elang, ia merasa sudah mendapatkan segalanya. Walaupun ia memiliki keluarga yang sempurna dan latar belakang yang sama dengan Elang, ia tidak pernah benar-benar percaya diri. Impian Agni yang awalnya menjadi jurnalis sirna karena mengurus ayahnya yang sakit dan perusahaan yang menurun drastis. Sibuk dengan dunia kerja dan keluarganya, hubungan dirinya dan Elang berakhir menjadi sebuah formalitas belaka. Elang berusaha menjadi pasangan yang baik untuk Agni, namun tidak pernah benar-benar menyayangi Agni.

Ketika ayah dan ibunya meninggal, Agni mengeluarkan seluruh tenaga dan pikiran untuk mengembangkan usaha furniture keluarga mereka menjadi real estate yang terinspirasi scandinavian living. Tapi tetap menjadi seseorang yang tidak percaya diri melihat Leona yang hidup bahagia. Ditambah, Elang merupakan kekasih pertama dan satu-satunya yang ia miliki di hidupnya. Tidak sanggup menerima kenyataan dan beban karena sendirian, ia menghabiskan satu botol obat tidur dan meninggal dengan tenang.

Bayangan hidup yang dapat ia rasakan secara detail itu membuat Agni tidak bisa untuk tidak sinis dengan lelaki di hadapannya. Mimpi yang terasa nyata, dan melihat bagaimana sang penulis dengan mudah menuliskan kisah hidupnya yang menyedihkan membuatnya geram. Terkadang Agni masih bingung membedakan realita dan ilusi, apakah yang ia alami adalah sebuah mimpi atau dirinya yang menjalani masa depan. Ia tidak tahu. Yang pasti, ia tidak akan pernah bisa menerima Elang.

"Boleh minta kontak lo?" Tanya Elang sebelum mereka berpisah.

Agni tersenyum, "Sorry," lalu berjalan menjauh. Ia tidak ingin memiliki hubungan apapun dengan lelaki yang ada di hadapannya.

***

Setelah menunggu selama seminggu, Agni menerima kabar baiknya. Kor Corporation bersedia untuk memberikan support virtual reality dan investasi dengan jumlah yang ia minta. Sesuatu yang tidak mudah untuk didapatkan bagi sebuah perusahaan startup baru seperti Agni, tapi tidak sulit bagi Agni yang mendapatkan ilmu dan pengalaman di mimpinya.

Ia memutuskan untuk menyewa gedung kantor untuk seluruh pekerjanya dan menambah staf yang dibutuhkan. Aplikasi yang perusahaannya ciptakan sudah siap launch dengan konten yang siap direkam menggunakan teknologi untuk virtual reality. Sementara apartment yang ia sewa digunakan untuk studio rekaman dan nantinya untuk live streaming kelas. Ia memiliki plan untuk membuat konsep homeschool dengan aplikasi dan guru virtual, serta nantinya membuat pelatihan non-formal.

Meskipun di masa lalu ia merupakan pengusaha di bidang furniture dan real estate, ia merasa pendidikan merupakan pondasi utama dalam hidup. Dengan membangun bisnis di bidang pendidikan, ia membangun branding yang sophisticated sehingga nantinya ia bisa fokus dalam mengembangkan real estate dan furniture orangtuanya nanti. Sejujurnya, keluarganya tidak pernah memintanya untuk membantu usaha keluarga tersebut. Ia dan adiknya diberikan kebebasan untuk kuliah dengan jurusan yang mereka inginkan. Hanya saja, Agni yang sekarang memiliki ambisi untuk menggunakan ilmu yang ia miliki di dalam mimpinya untuk membangun kerajaan bisnis yang ia impikan.

"Kak, kita gak jadi pitching investor dari Sudjatmiko Group?" Agam penasaran. Mereka telah memenangkan perlombaan dan berhak atas kesempatan pitching, namun kakaknya memilih untuk pitching kerjasama dengan Kor Corporation.

"Gak sekarang. Kita bisa gunakan itu untuk nanti."

"Lalu, rencana lo untuk Kor Corporation apa?"

"Kita akan buat game yang membantu pembelajaran di Credible Mengajar dengan virtual reality. Game yang tetap seru dan bisa kita jual di seluruh instansi pendidikan dan bimbingan belajar. Selain mereka bisa balik modal, mereka juga develop produk yang menguntungkan."

Cowok ini menatap kakaknya tak berkedip, ia tidak percaya kakaknya telah memikirkan rencana yang jauh atas keputusan yang ia lakukan. Di usia kakaknya yang belum menyentuh dua puluh tahun, ia harus mengakui kakaknya sangat cerdas di dunia bisnis.

"Kenapa lo masuk jurusan ilmu politik sih?" Pertanyaan yang keluar dari dalam hati Agam terdalam.

"Entah, kenapa ya?" Tanya Agni balik dengan tersenyum, tidak berniat menjawab pertanyaan adiknya.

"Udah daripada banyak nanya, besok kita pulang ke Bandung." Putus Agni.

"Ngapain?"

"Emangnya lo gak penasaran kabar orangtua lo sendiri. Udah hampir tiga bulan lo disini dan gak ada hubungin mereka." Jawab Agni meninggalkan adiknya yang tertegun. Sepertinya berpisah selama dua tahun kakaknya di kampus sendirian memberikan kesempatan untuk kakaknya tahu dengan banyak hal. Satu yang pasti, ia lebih senang kakaknya seperti ini dibandingkan menjadi Agni yang selalu diam di kamar dan mengikuti Leona.

***

"Dad, gimana kabar perusahaan?" Perempuan ini memulai pembicaraannya. Ayahnya yang menikmati kopi dan korannya sore ini terdiam sejenak sebelum membalas, "Baik."

"Tumben kamu tanya tentang kerjaan."

Ia kemudian tertawa kecil, "Aku penasaran aja. Dan aku juga punya ide sih yang pengen aku ajukan."

"Oh iya?" Adam yang merupakan pengusaha yang merintis usahanya sejak muda ini menaikkan alis kaget dengan ucapan anak perempuannya. Meskipun sejak kecil Agni telah mengikuti dirinya bekerja dan bahkan membantunya, semenjak kuliah Agni fokus dengan dunia kuliahnya yang tidak berhubungan dengan bisnis.

Di hadapannya, si anak perempuan tersenyum melihat ayahnya. Ia tidak bisa membayangkan ayahnya yang terluka, sakit-sakitan dan meninggal setelah kepergian Agam. Hanya setelah kedua orangtuanya meninggal Agni benar-benar menghabiskan seluruh hidupnya di dunia bisnis dan mengantarkan bisnis mereka menjadi perusahaan internasional.

"Selama ini kita kan fokus dengan furniture kayu jati yang identik dengan tradisional dan mahal. Gimana kalau kita bikin brand baru dibawah Allison yang fokus dengan design scandinavian yang modern dan cocok untuk keluarga muda."

"Bikin brand baru?"

"Iya, scandinavian style dalam waktu dekat akan menjadi furniture yang dibutuhkan orang-orang. Jika kita membangun brand yang identik dengan scandinavian style aku percaya orang-orang akan pilih brand kita. Kuantitas yang kita jual akan jauh lebih tinggi dari Jati Furniture yang bahannya mahal. Gimana menurut dad?" Agni menyelesaikan pitching ide nya dengan cepat.

Adam berpikir dalam diam, sebagai seorang anak designer kayu jati di masanya, ia sudah cukup ambisius dengan menciptakan bisnis di ranah furniture. Ia tidak menyangka anak perempuannya memiliki bayangan yang lebih jauh di dunia bisnis. Selama ini ia bahagia dengan keuntungan yang cukup besar dan bisa membantu banyak orang, belum lagi dengan hubungan baik yang ia bangun dengan banyak perusahaan yang menghargai ayahnya yang merupakan designer ternama.

"Kalau kamu yang pegang proyeknya, kamu mau?" Tanya Adam pada anak sulungnya. Ia berpikir jika memang Agni memiliki minat dalam bisnis, maka anaknya yang harus memegang proyek tersebut.

"Tentunya daddy akan bantu." Tambahnya lagi, khawatir memberikan tekanan kepada anaknya.

"Pastinya, dad." Jawab Agni percaya diri. Dengan ini, ia tidak harus takut dengan ekonomi yang turun tahun depan.

***

Agni, pemeran utama [discontinue]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang