4. Ultimatum

31 3 0
                                    


Entah sudah sudah berapa mi Alice selalu dibuat terpukau oleh hal-hal kecil yang terjadi di SMA Angkasa Jaya. Wajah polos bagai anak kecil yang baru memasuki dunia hiburan masing-masing, kali ini kembali ia perlihatkan. Bagaimana tidak? Ia merasakan dompetnya mulai terkikis melihat harga makanan yang ditawarkan di kantin. 

Seluruh makanan yang ada dalam daftar menu pun sudah bukan makanan untuk siswa. Lebih cocok untuk hidangan restoran bintang 5.

Aah iya, Alice sepertinya lupa dimana ia bersekolah.

"Alice, kamu pilih mana?" Anna dengan sabar menunggunya yang sejak tadi memilih menu. 

Nyatanya, jiwa Alice meringis untuk mengeluarkan uang. Ia memilih diam. Sudahlah, ia tidak nafsu makan. Melihat harganya membuatnya putus asa, betapa kerasnya mendapatkan uang. Jiwa pelitnya mulai bangkit lagi.

"Oh iya, kau tidak punya kartunya 'kan?" sela Azka sambil meminum choco drink yang baru saja ia pesan.

Wajah yang Alice tenggelamkan diantara kedua tangannya mulai mempelihatkan garis berkerut pada dahinya, "kartu apa lagi mak, kita masih main ya?" tanyanya.

"Ini dipakai buat beli makanan di sekolah. Satu poin dari kartu ini, minimal bisa dapat makanan yang paling murah disini," terang Azka seraya mengeluarkan kartu bewarna biru langit dengan lambang sekolah mereka dibagian tengahnya.

Alice melirik kartu tersebut, mengambilnya dengan lesu. Memperhatikan kartu biasa yang bisa menyelamatkan perutnya dari rasa lapar.

Matanya melirik selembar menu yang masih setia berada di meja ketiganya. Ia mulai melihat harga terendah dalam menu yang menuliskan angka 50 ribu. Kepalanya berdenyut tak karuan. Ia kembali menyesal kenapa selamat dari permainan tadi, harusnya ia dipulangkan saja ke kampung halaman tercinta.

"Tapi kita tidak bisa pakai kartu ini buat dua orang kalo bukan jadwalnya."

Ucapan Anna bagai mendatangkan segala jenis bintang-bintang yang memutari sekeliling kepala Alice, sekarang ia sungguh dilanda pusing berat.

Kalau bukan jadwalnya?

Bunuh saja Alice. Dipikir mau buang sampah, hingga diharuskan untuk mengikuti jadwal yang ada.

Azka melirik perempuan itu, mengetuk pelan meja yang menimbulkan getaran pada kepala Alice yang berbaring disana.

"Kau ingin pesan apa?"

"Kau mau membayarnya?"

"Tergantung."

Azka masih betah meneliti setiap gerakan perempuan itu. Alice yang cuek dan dingin itu, nyatanya bisa menunjukkan berbagai ekspresi jika sedang dalam mode lapar.

"Tidak jadi," balas Alice masih melirik menu makanan yang ada di atas meja. Andai saja ia orang kaya, mungkin ia akan dengan senang hati masuk ke sekolah ini.

Plak!

Azka menjitak keningnya cukup keras, bahkan ia juga mengaduh karena tak pernah menjitak kening seorang perempuan cukup keras. Tetapi, rasa sakit yang ia rasakan menghilang dengan ekspresi gemas Alice yang menyentuh keningnya seraya pupil mata yang berusaha menengok keadaan dahi yang menjadi korban sentilan dirinya.

"Jangan melamun, sampai perutmu berbunyi karena lapar pun kau tidak sadar, ya?" Azka tersenyum, menampilkan lesung pipi yang sangat dalam dengan mata bagai bulan sabit yang tengah terbit.

Alice hanya bisa menahan malu, ia tidak ingin mengakui bahwa memang cacing-cacing diperutnya sudah minta jatah.

Dasar cacing, tidak tahu diri sekali. Dirinya saja belum sarapan, apalagi harus memberikan mereka nutrisi, pikirnya.

Elite of Highschool ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang