Sesuai dengan arahan murid laki-laki yang memperkenalkan dirinya sebagai 'Azka' pada Alice, dengan lelah menuju Aula Biru. Butuh tiga puluh menit baginya untuk mencapai tempat tersebut. Meski begitu, ia menyimpan perasaan dongkol setengah mati pada laki-laki yang sudah mengacaukan suasana kegembiraannya di pagi hari. Bisa-bisanya, orang itu mengerjainya dengan mengatakan untuk mengikuti jalan lurus tersebut, sedangkan yang berada di hadapannya adalah perempatan. Untung saja, ia dibantu oleh peta petunjuk dan rambu-rambu yang ada disekitar jalan.
Bertanya pada yang lain?
Alice masih memiliki harga diri tinggi untuk melakukan hal tidak berguna, menurutnya. Berbicara dengan orang sama saja memulai suatu hubungan tak kasat mata, entah itu pertemanan, relasi, ataupun hubungan lainnya. Alice tidak ingin hal tersebut.
Puas hati merapalkan segala umpatan untuk Azka. Saatnya menikmati memegahan Aula biru.
Aula dengan arsitektur bunga krisan yang menguncup adalah bangunan utama yang membuatnya merasa memasuki sebuah sekolah ajaib yang luar biasa.
Seperti namanya, Aula biru. Gedung dengan kontruksi layaknya bunga kuncup yang mekar akan bewarna biru laut ketika mendapatkan paparan cahaya matahari dan langit cerah yang mendukung keberadaannya. Seperti halnya penyerapan cahaya matarahi pada laut. Bangunan tersebut memiliki empat pintu masuk yang berada di empat sisi layaknya tata cara pakai kompas. Penggunaan pintu masuk dengan empat arah dipergunakan untuk mengurangi intensitas siswa yang masuk secara bergerombolan di satu pintu masuk saja.
Alice bisa mengerti hanya para arsitek ternama saja yang diizinkan untuk pengerjaan bangunan dengan segala bentuk perhitungan tersebut. Lagi-lagi dirinya hanya bisa gigit jari.
"Ekhem!"
Alice segera menoleh ke belakang, mendapati seorang laki-laki berseragam rapi dan lengkap, memegang beberapa lembar kertas yang tidak diketahui apa isinya tengah melayangkan senyuman simpul padanya."Orang-orang disini sangat mudah tersenyum seperti orang orang gila," pikirnya.
Laki-laki tampan dengan rambut terang yang sedikit terkena sinar matahari tak membuat Alice sekalipun memujinya.
"Siswa baru?" tanya orang itu pada Alice.
Perempuan itu bingung harus bagaimana berekspresi. Laki-laki dihadapannya memancarkan aura kuat yang menghangatkan, ia takut jika itu adalah salah seorang kakak kelas. Apalagi dihadiahkan tatapan datar tanpa ekspresi dari seorang perempuan yang ada di belakang laki-laki tersebut, membuat Alice ingin melarikan diri saja.
"Iya."
"Silahkan masuk, kebetulan para panitia masih butuh prepare."
Otak Alice berpikir keras.
Panitia.
Fix, ini kakak kelas dan juga salah satu bagian dari kepanitian penyambutan siswa baru. Untung saja ia tidak berlaku tidak sopan pada mereka.
Selamat, pikirnya.
"Iya Kak," balasnya memberikan sebuah senyuman tipis yang nyaris tak bisa dilihat, kemudian pergi meninggalkan dua orang yang telah ia labeli dengan kata 'senior'.
"Dia orang yang dimaksud oleh mereka?" tanya perempuan yang berhasil membuat mental Alice terguncang tadinya.
"Hm," gumam si laki-laki membenarkan ucapan perempuan disebelahnya. Matanya setia menangkap punggung kecil Alice yang nampak menghindar setiap bersenggolan dengan orang lain.
"Lama tidak bertemu, Alice."Laki-laki itu tersenyum tipis sebelum akhirnya memasuki Aula biru dari pintu masuk yang sama dengan yang dimasuki Alice.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elite of Highschool ✔
Fiksi RemajaAlice, siswa SMA kelas 10 di sebuah sekolah elit di negeri yang ia tinggali. Saking elitnya, bahkan peraturan yang ada disana sedikit konyol dengan adanya 7 Elite Sekolah yang memonopoli peraturan yang ada. Di sisi lain, ada Azka, seorang laki - la...