Vier

766 100 15
                                    

Suara dering ponsel langsung menyeruak begitu saja ke telinga seseorang yang tengah tertidur pulas di ranjangnya yang empuk.

Mengusik petualangannya di alam mimpi dimana dia telah terlarut di dalamnya.

Sosok itu mengerang sambil menaikan selimutnya sampai menutupi seluruh tubuhnya tapi sayangnya usaha itu sia-sia karena suara ponselnya tak kunjung teredam dan mati.

Dia menurunkan selimutnya lalu tangannya meraba nakas dimana dia menaruh benda pipih itu.

Kamarnya yang dibiarkan gelap membuat cahaya dari layar ponsel begitu menusuknya karena silau.

Dengan dahi yang mengernyit dan matanya yang menyipit, Ralaya pun melihat siapa si pelaku yang menelponnya berkali-kali pukul dua pagi.

Kedua matanya langsung membulat saat dia melihat nama sosok yang sangat familiar terpampang disana. Karena telpon langsung mati saat dia akan mengangkat panggilannya, alhasil Ralaya menelpon balik dan buru-buru keluar dari kamarnya sedikit tergesa-gesa.

Dia membawa tungkainya berlari kecil ke arah pintu dengan ponsel yang di tempelkan di telinganya.

Saat suara berat itu terdengar disambungan telpon, saat itu juga Ralaya langsung membuka pintunya dan mendapati sosok si penelpon tengah berdiri dengan keadaan yang sedikit kacau sambil membawa guling.

Ralaya langsung memutus panggilannya dan membawa sosok itu masuk.

“Kenapa gak langsung masuk aja? Kamu kan tau pasword apartemenku,” kata gadis itu lalu menutup pintu dengan kakinya dan pintu apartemennya otomatis terkunci.

“Tapi kan ini udah lewat dari tengah malem, gak mungkin juga aku langsung nyelinap masuk,” gumam sosok dengan suara yang serak lalu menatap Ralaya yang tampak masih mengantuk.

Sial, dia merasa bersalah sekali.

Dev memang ragu-ragu saat datang kesini tapi dia membutuhkan Ralaya untuk membuatnya terlelap dan menuju alam mimpi. “Maaf udah ganggu tidur kamu, Bub.”

Ralaya menggelengkan kepalanya.  “Gapapa. Insomnia lagi?”

“Iya,” ucap cowok itu lemas lalu keduanya berjalan ke arah sofa.

Ralaya yang duduk dan Dev yang membaringkan tubuhnya dengan kepala yang berada di pangkuan gadis itu.

Tubuh tinggi Dev meringkuk sembari memeluk guling dan Ralaya yang mengusap-usap rambut cowok itu dengan lembut sambil sesekali mengusap pipinya.

Ralaya menatap wajah Dev yang tengah mencoba untuk tidur. Wajah tampan Dev kentara sekali raut lelahnya. Beberapa hari belakangan ini Dev juga mengeluhkan tentang begitu banyak tugas dan beberapa hafalan lainnya.

Fakta lain yang semakin menyulitkan karena kini Dev sudah tak mau mengonsumsi obatnya lagi.

Ya, Ralaya tahu jelas apa efek samping yang akan ditimbulkan jika mengonsumsi obat secara terus-menerus, dia juga ingin berhenti seperti Dev.

Tapi untuk saat ini dia masih belum bisa. Dia masih membutuhkan itu dan dia tak cukup berani melepaskan obatnya.

Alasan lainnya karena jika mereka berdua sama-sama kacau gara-gara lepas total dari obat, bukankah itu sama saja dengan saling menghancurkan?

Maka dari itu Ralaya mencoba untuk tetap 'waras' dan tetap bergantung pada obat.

Tapi terlepas dari keduanya yang punya sakit mental, Ralaya masih bisa menyelipkan rasa syukurnya. Yaitu tentang Dev sangat tahu bagaimana helping people with depression and selfharm seperti dirinya bahkan saat mereka masih SMA.

[II] With Ralaya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang