Vierzig

744 106 39
                                    

Kurang lebih selama satu jam, Dev hanya diam terpaku menatap Ralaya yang masih tak sadarkan diri di atas brankar. Seolah hanya dia berpaling ke arah lain, gadisnya akan hilang.

Tangannya menggenggam tangan kecil Ralaya lalu dia usap punggung tangan itu lembut. Sekalipun tengah pingsan, raut wajah gadisnya nampak sekali kelelahan. Ralaya telah melewati hari yang berat.

Tadi itu benar-benar diluar dugaannya. Dia pikir Sara maju menghampiri Ralaya untuk meminta maaf, tapi ternyata Sara malah menampar, memaki dan membuat gadisnya pingsan.

Ralaya pasti terkejut dan kesakitan. Atau mungkin itu mengingatkannya pada tingkah abusive papanya dulu.

Sialan, Dev tak dapat membayangkan bagaimana sakitnya jadi Ralaya.

"Liat tuh cewek yang lo bela mati-matian. Dia udah bikin adek gue jadi begini!" ketus Rio.

Dev tahu kalau cowok di sampingnya ini ikut khawatir tapi tak bisakah Rio diam dan berhenti menyudutkannya?

Semakin ditekan, rasa bersalah Dev pada Ralaya semakin besar.

Dia juga tak mau gadisnya seperti ini dan dia juga tak tahu kalau Sara akan berbuat sampai sejauh ini, termasuk dengan teror yang menyuruh Ralaya bunuh diri.

Baru saja Dev akan menjawab, pintu di ruang unit kesehatan terbuka dengan sosok River yang perlahan menjalan mendekat.

Raut wajah cowok itu tak terbaca. Ada marah, sedih, kesal—semuanya campur aduk.

Rupanya River ikut terluka juga dengan kejadian ini.

"Gimana cewek gatel itu? Seret dia kesini buat minta maaf sama adek gue!"

"Masih di ruangan bokap nangis-nangis."

"Ck. Drama," decak Rio dengan kesal. "Pasti dia minta dikasihani."

"Bokap udah suruh orangtuanya kesini sih, cuma ya—"

"Suruh bokap lo drop out dia sekarang juga," sambung Dev.

"Jangan," gumam Ralaya pelan sambil balas menggenggam tangan Dev dengan sisa tenaganya yang tak seberapa.

Dev dan semuanya langsung tersentak kaget dan menatap Ralaya dengan khawatir.

Gadis itu terlihat pucat dan lemah.

"Bub, are you oke? Masih ada yang sakit?"

Ralaya menggelengkan kepalanya. "Jangan drop out Sara."

"Setelah apa yang udah dia lakuin sama lo dan lo masih aja belain dia?!" ucap Rio tak percaya lalu dia mengusap wajahnya gusar. "Anjir, gue bisa mati muda kalo ngadepin lo yang kayak gini terus. Please, dek! Jangan terlalu baik."

"D—dia cuma kesepian, Kak."

"Persetan sama kesepian. Kalo saat itu kamu lagi down dan bener-bener bunuh diri gimana, Bub?!" sambung Dev tak kalah emosi. Manik hazelnya menatap Ralaya dengan serius dan tanpa sadar ikut meninggikan nada bicaranya. "Apa rasa khawatir kita bertiga masih kurang buat kamu? Dengan kamu yang kayak gini terus, itu sama aja bikin usaha kita buat tolong kamu jadi sia-sia!"

Mata Ralaya mulai berkaca-kaca.
"Dev—"

Manik hazel Dev melunak dan menatap Ralaya yang hampir menangis.

Dia menghela napas lelah. Rasa bersalah itu kembali datang.

Dev mengecup punggung tangan Ralaya lembut. "Bub, apapun kemungkinan buruk yang bakal Sara terima gak ada urusannya sama kamu cause she deserve it. Paham?"

[II] With Ralaya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang