Neunundzwanzig

746 110 95
                                    

Rio tak peduli kalau kelasnya masih tersisa tiga puluh menit lagi.

Rio tak peduli dengan klakson mobil atau motor yang begitu nyaring hingga memekakan telinga akibat dirinya yang kebut-kebutan di jalan.

Rio tak peduli dengan tatapan sinis dan makian penghuni apartemen saat dia berlarian di lorong hingga membuat beberapa orang terhuyung karena yang ada di otaknya kini hanyalah sang adik yang sedang membutuhkannya.

Setelah menekan beberapa digit angka yang ada di dekat pintu, Rio langsung membukanya dengan kasar.

Mata elangnya langsung menyisir ke setiap sudut apartemen dengan rongga dada yang naik turun dan napasnya yang terengah.

Sampai akhirnya ketakutan dan kekhawatiran Rio langsung terbukti saat melihat Ralaya yang tengah menangis dengan beberapa luka sayatan di lengannya. Darah merah segarnya bahkan masih menetes dan juga ada pisau dapur disana.

Adiknya selfharm lagi?

Tapi kenapa?

Apa yang terjadi?

Apa yang sudah Rio lewatkan?

"Adek," panggil Rio sambil memegang bahu Ralaya. "Hey, sini liat gue. Lo kenapa?"

Ralaya langsung mendongak dengan air mata yang masih mengalir. Matanya begitu sembab dan perih gara-gara terlalu banyak menangis dari semalam. Bahkan kepalanya sudah terasa berat dan pening.

"Kakak," ucap Ralaya putus asa dan Rio segera memeluknya. Merelakan kemejanya kotor terkena darah.

Satu tangan Rio mengusap punggung Ralaya untuk menenangkan sementara satu tangannya lagi menjauhkan pisau dapur dari jangkauannya.

Meminimalisir takut-takut terjadi hal fatal lainnya.

"Iya, adek. Kakak disini," ucap Rio lembut penuh afeksi. "Lo kenapa? Bokap lo ada dateng kesini? Atau nyokap lo yang dateng kesini?"

Ralaya menggelengkan kepalanya.

"Trus kenapa hmm? Kenapa adek selfharm lagi?" tanya Rio lagi pelan-pelan. "Si Dev juga mana lagi sih anjir, dia—"

"He doesn't love me anymore, Kak," lirih Ralaya pilu lalu tangisnya kembali pecah. "Gue gamau, gamau kayak gini. Gue gabisa."

Dahi Rio mengernyit bingung tak mengerti.

Siapa yang dimaksud adiknya ini? Apakah Dev?

Tapi mana mungkin? Rio tahu betul bagaimana bucinnya Dev pada adiknya ini.

Bahkan menurut Rio, Dev itu sangat posesif. Itu artinya Dev sangat mencintai Ralaya, kan?

Rio dibiarkan kebingungan selama beberapa detik sampai akhirnya racauan Ralaya memberikan titik terang untuknya.

"Gue mau Dev, Kak. Dia gak boleh sama Sara. Gue gamau."

Usapan di punggung Ralaya terhenti, berganti dengan tangannya yang mengepal menahan kesal. Sorot matanya yang sedaritadi sendu karena khawatir, kini berubah nyalang dengan rahang yang mengeras.

Rio sudah menduga kalau nama Sara akan menimbulkan hal buruk bagi Ralaya dan Dev tapi dia tak menduga kalau Dev akan meninggalkan adiknya yang berharga begitu saja demi Sara.

Baiklah, Rio akan merealisasikan sumpahnya waktu itu. Dia takkan memberikan Ralaya pada Dev lagi.

Dia juga takkan membantu Dev kalaupun suatu saat nanti cowok itu meminta bantuan Rio agar Ralaya kembali.

"Ssshh ... udah ya adek, jangan nangis lagi. Badan lo sampe gemeteran kayak gini," ucap Rio sambil meringis pelan. Memikirkan kira-kira sudah berapa lama Ralaya menangis. "Kita obatin dulu lukanya, ya? Nanti infeksi."

[II] With Ralaya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang